Terkisah dalam Al-Muntaqo’
min Akhbaril Ashmu’i, buah pena Dhiya’ Al-Maqdisi, bahwa ada seorang
Arab Badui masuk Islam pada masa Sayyidina ‘Umar bin Khoththob ra. Sang
Kholifah lalu mengajarinya sholat. Beliau berkata, “Sholat zhuhur 4 roka’at,
‘Ashr juga 4, Maghrib 3 roka’at, ‘Isya’ 4 roka’at lagi, dan Shubuh 2 roka’at.”
Akan tetapi saking tidak
akrabnya dengan angka-angka, Si Arabi ini rupanya sangat kesulitan untuk
menghafal jumlah-jumlah tersebut, sehingga ‘Umar mengulanginya lagi, dan tetap
saja dia tidak hafal, bahkan terbalik-balik. Yang empat dibilang 3, dan yang
tiga dikira 4. Akhirnya sang Amirul Mukminin membentaknya, “Orang Arab Dusun,
biasanya cepat hafal syair. Coba ulang ucapanku!
Sesungguhnya
sholat itu empat disusul empat,
Kemudian
tiga dan setelahnya empat roka’at,
Lalu
sholat Shubuh dua, janganlah terlewat.”
Hanya sekali simak,
lelaki Badui itu langsung bisa mengulang lantunan syairnya.
“Sudahkah kau
menghafalnya sekarang?” tanya Sayyidina ‘Umar.
“Sudah, ya Amirul
Mukminin.”
“Kalau begitu, pulanglah
ke kampungmu dan ajarilah tetangga-tetanggamu!”
Kisah ini menjadi
peneguhan bahwa mengenali kecenderungan cara belajar murid ataupun sasaran
dakwah adalah hal asasi untuk seorang guru, juga bagi sepribadi da’i. Asal-muasal,
latar belakang, pergaulan, lingkungan kebudayaan, dan perkembangan zaman adalah
peningkah kejiwaan yang sukar dinafikan.
Maka bagaimanakah
mengajak orang agar tetap berkenan membaca, merenung, dan menggapai kedalaman
makna, di tengah zaman yang menuntut keserbasegeraan dan keserbaringanan?
Ah, tentu saja,
tantangan dakwah di zaman kita ini tak ada apa-apanya dibanding bagaimana
Rosululloh saw yang ummi harus menyampaikan Al-Qur’anul Karim yang disebut
‘perkataan berat’ kepada kaum jahiliyah yang enggan pada kebenaran. Namun,
hikmah yang diperintahkan untuk menjadi ujung tombak dakwah senantiasa harus
diasah ketajamannya melalui pengamatan yang saksama dan tafakkur yang mendalam.
Adalah Al-Qur’anul Karim
diturunkan dengan masa berlaku hingga hari kiamat. Ketakusangannya, demikian
menurut Dr. ‘Abdul Karim Zaidan dalam “Al-Mustafad min Qoshoshil Qur’an”,
justru terletak pada kesederhanaan petunjuknya sekaligus berlapis-lapisnya
makna dalam penjelasan melalui kisah-kisah yang tak lekang oleh zaman. Itulah
hakikat agama Islam, ujar beliau. Sederhana pesannya, sesederhana bahwa tiada
sesembahan yang haq selain Alloh, sekaligus sangat kaya dalam pemaknaannya,
melalui kisah-kisah yang sekilas juga tampak sederhana, namun sungguh dalam
lagi luas bagai lautan jika diselami keberartiannya bagi tiap pribadi.
Kembali kepada
pertanyaan kita, bagaimanakah mengajak orang agar tetap berkenan membaca,
merenung, dan menggapai kedalaman makna, di tengah zaman yang menuntut
keserbasegeraan dan keserbaseringan?
Tim Pro-U Media mencoba
menjawab semua itu ketika menghimpun catatan-catatan kecil perjalanan Salim A.
Fillah yang berserakan. Di dalam buku ini termuat kekisah ringan para ‘ulama,
dalam menjawab berbagai keadaan yang mereka hadapi. Di situlah kita insya Alloh
menemui kejernihan pemahaman mereka terhadap Al-Qur’an dan Sunnah, ketepatan
pilihan sikap, hingga kasih sayang kepada ummat.
Semuanya coba disuguhkan
dengan ringan, tersaji sepeminum kopi.
“Hikayat keteladanan
para ‘ulama dan duduk di majelis mereka lebih aku sukai daripada kebanyakan
persoalan fiqih, karena kisah-kisah tersebut berisi adab dan akhlak mereka
untuk diteladani,” demikian sederet warisan kekata Imam Abu Hanifah ra.
Adab dan akhlak.
Di tengah meruyaknya
semangat berilmu pada zaman kiwari ini, betapa hausnya kita akan teladan akhlak
dan adab. Sebab kita semakin terbiasa menjadi penyimak siaran pengetahuan dari
benda-benda mati beraliran listrik dan penangkap sinyal, tanpa berkesempatan
merasakan pergaulan dan khidmah ta’zhim secara langsung kepada para guru. Maka
hasil mengaji kita banyak yang menjadikan hati keras dan melahirkan sikap
galak. Satu sudut pandang yang kita peroleh lalu kita tahbiskan sebagai tolok
ukur kebenaran, sehingga segala yang masih serupa namun tak sama pun kita
hukumi berbeda lagi menyimpang.
Adab dan akhlak.
Betapa kaya kisah-kisah
para ‘ulama akan hal itu, sebab dengan ilmunya mereka telah menjadi insan-insan
yang paling takut kepada Alloh. Mereka telah menjadikan ilmu sebagai garam dan
adab sebagai tepungnya, hingga tersaji roti yang lembut, lezat, dan indah untuk
asupan ummat sepanjang zaman. Mereka telah mempermaklumkan, bahwa hampir-hampir
adab adalah dua pertiga agama. Mereka telah menghabiskan umurnya untuk melayani
guru dan ilmu dalam pengembaraan yang kaya, lalu Alloh mengaruniakan pesona
perilaku yang tak dapat dibeli dengan harta sepenuh bumi. Kesetiaan mereka
kepada keshohihan ilmu, sejalan dengan teguh hati mereka untuk mencintai ummat.
Kekukuhan mereka mengamalkan suatu pemahaman, seiring dengan keluasan pandangan
mereka untuk menenggang perbedaan.
Adalah Al-Imam
Shofiyuddin Muhammad bin ‘Abdurrohim Al-Hindi, seorang faqih madzhab Syafi’i di
jazirah anak benua, sering mendapat cibiran orang tersebab tulisan tangannya
yang jelek. “Isinya masya Alloh, tapi
tulisannya innalillah. Ilmunya
anugerah, tapi khoth-nya musibah,”
demikian kira-kira dikatakan orang jika membaca bukunya. Ya. Pada masa itu
—dalam pencetakan buku, pelatnya masih tetap harus dijiplak dari tulisan asli
penyusunnya.
“Suatu hari aku pergi ke
toko, lalu aku mendapatkan sebuah buku yang tulisannya sangat jelak. Aku sangat
yakin bahwa tulisan di buku itu jauh lebih jelek dari tulisanku,” demikian
beliau berkisah. “Lalu aku membelinya dengan harga mahal, untuk membantah
perkataan orang bahwa tulisanku adalah tulisan yang paling jelek. Tanpa
menyeksamai isinya terlebih dahulu, aku pun membawanya pulang ke rumah.”
“Sesampai di rumah, aku
pun membacanya,” pungkas beliau. “Ternyata buku itu adalah tulisanku yang
dulu.”
Daftar Isi
Teladan Salaf
untuk Para Mukallaf
[Makkah Sedalam Cinta | Dhiyafah | Imamul
Muttaqin #1 | Imamul Muttaqin #2 | Imamul Muttaqin #3 | Ayah dan Ibu Kekasihku
| Zam-Zam | Pada Suatu Titik | Uhud adalah Harimu | Luka Itu | Mengukur Cinta |
Beragama: Taat dan Adab | Bersalah karena Cinta | Kekasih | Sendirian |
Kenangan | Harimaumu | Dicintai | Salim Sedunia | Fitnah | Imigran | Menikahi
Ilmu | Cita, Cinta, dan Allah | Kekasih Tersembunyi | Yang Tak Hilang dari Masa
Lalu | Mewujudkan Sandiwara | Pendapat Ganjil | Lucu]
Belajar Bajik
dari Ulama Klasik
[Guru | Karya Pendahulu | Kurang Piknik dan ‘Aku
Tak Tahu’ | Pesona Madinah | Hammad | Harga Satu Huruf | Ribut | Makan | Di
Dekat ‘Ulama | Mu’allim Nabawi | Yang Kita Cela dan Surga | Bersama Sesama |
Omongan | Tulis-menulis | Sunnah Sedirham Surga | Menggoda Syaithan | Di
Manakah Kita? | Kekuatan di Pagi Hari | Minum]
Oratoria Para
Kesatria
[Sampai Al-Aqsa Merdeka | Memaafkan | Setia dan
Berlepas Diri | Puncak Sejarah dan Khittah Kopi | Pembawaan Islam | Pengaduan
#1 | Pengaduan #2 | Malcolm X]
Belantara
Cendekia Nusantara
[Imam Masjidil Haram | Menampar Diri di Sidogiri
| Pendapat ‘Ulama | Ikan Bawal Diasinin | Jajan | Sarapan #1 | Sarapan #2 |
Dalil | Tamunya ‘Ulama | Yang Dicari | Sedamai Disini | Kyai | Wajah-wajah |
Hasyim]
Bibliografi
Judul: Sunnah Sedirham Surga; Beribrah pada
Kekasih, Berteladan pada Pemegang Warisan
Penulis: Salim A. Fillah
Tebal: 268 hlm.
Dimensi: 14x19,5 cm
Cetakan: I, 2017
ISBN: 978-602-7820-68-5
Penerbit: Pro-U Media,
Yogyakarta
0 Komentar