Pada
judul buku ini, mengandung dua kata yang perlu diketahui maknanya, yakni “rihlah”
dan “dakwah”. Dimana kata “rihlah” atau “ar-rohl”
yang bermakna sebagai pelana untuk tunggangan dalam perjalanan yang panjang dan
berat, sedangkan kata “dakwah” bermakna panggilan, undangan, seruan. Sehingga
perjalanan ini dilakukan dalam rangka memenuhi undangan Alloh swt.
Buku
ini berisi catatan-catatan kecil dari tempat-tempat yang dikunjungi Salim A.
Fillah dengan motif “kecemburuan”. Maksud “kecemburuan” ini adalah berawal dari
kisah burung Hud-hud yang senantiasa terbang ke arah Yaman, baik unggas ini
berasal dari Timur Tengah maupun Eropa. Ia punya ihtimam ―kepedulian dakwah― yang luar biasa dengan rihlah yang ia lakukan pada suatu tempat
yang makmur tetapi penguasanya tak kenal Alloh; negeri Saba’, berjarak 1.500
mil untuk sekali jalan. Ia lakukan itu demi sebuah kepedulian terhadap dakwah.
Pada konteks ini, Salim A. Fillah ingin menyampaikan bahwa ia berperan sebagai
Hud-hud dan kita adalah Sulaiman-Sulaiman yang diberi berita tentang laporan rihlah beliau, bahwa nun di sana ada
negeri yang berpeluang menjadi medan dakwah. Negeri Hongkong menjadi lahan
dakwah bagi Buruh Migran Indonesia (TKW). Sehingga perlunya kepedulian bagi
para da’i membekali bagaimana memahami Islam dan mengaplikasikannya pada
hal-hal yang barangkali terlihat sepele dan kecil-kecil. Jepang, sebuah negeri
yang mirip Saba’ dengan kemakmuran yang menakjubkan, sama-sama menyembah
Matahari, negeri dengan budaya menghargai waktu.
Barangkali,
Salim A. Fillah pula tertenagai dengan petuah indah Imam Asy-Syafi’i berikut,
“Tinggalkanlah
negerimu, hai saudaraku... Agar kau tahu begitu luasnya bumi Allah, alangkah
agung ciptaan-Nya, betapa beragam manusia. Dalam perjalanan kau kan dicekam
keterasingan, dihantui kesunyian. Tapi di situ kau kan rasa, betapa Dia
Penyerta nan setia. Dalam safarmu, ilmu membanjir selaut biru, pemahamanmu
berpijar bagai ledakan bintang beribu-ribu, hidupmu tak henti membaru.”
Sepenggal
kisah menginspirasi sekaligus sebentuk wasiat dakwah...
Adalah
Imam Abu Yazid Al-Busthami suatu malam mimpi berjumpa Kanjeng Nabi saw. Dalam jumpa
di mimpi benar itu beliau bersabda, “Besok engkau akan mengunjungi sebuah kota.
Sampaikan salam dariku pada Si Fulan yang tinggal di kota itu.”
Benar,
dengan semangat meluap Abu Yazid mendatangi kota tersebut. Tetapi dia segera
disergap ragu begitu mendengar penjelasan orang-orang bahwa sosok yang padanya
Rasulullah menitip salam itu ternyata seorang yang selalu menghabiskan waktunya
dari bakda ‘Isya’ hingga jelang Shubuh di kedai khamr. Ah, barangkali mimpi itu
keliru, pikirnya. Maka dia menghabiskan waktunya dengan beri’tikaf di Masjid
Jami’.
Tapi
malam berikutnya, Abu Yazid kembali didatangi Nabi saw. Bahkan kali ini beliau
menghardik, “Mengapa salamku belum kausampaikan?” Gemetarlah sang Imam ketika
bangun. Tapi pada siang itu begitu banyak orang yang meyakinkannya, “Tuan
Syaikh, sungguh tak patut orang mulia sepertimu mendatanginya di tempat maksiat
laknat. Dan sungguh kami tak mengenalnya, kecuali sebagai pelanggan kedai
mabuk-mabukan itu.”
Abu
Yazid kembali menenggelamkan diri beri’tikaf di Masjid. Dan malam itu di tengah
tidurnya, Rasulullah saw mengancam, “Jika besok salamku tak kausampaikan, kau
takkan berjumpa denganku di akhirat!” Keringat dingin membanjiri tubuh Abu
Yazid. Sungguh celaka kalau sampai terhalang dari jumpa Rasulullah, batinnya.
Malamnya,
dengan menguat-nguatkan tekad dan membetah-betahkan malu, dia mendatangi kedai
arak itu. Pelayan kedai menunjukkan tempat Si Fulan duduk, orang itu tampak
sedang bersenda-gurau dengan sekumpulan biang tuak yang kelihatan sudah mabuk
berat semua!
Abu
Yazid tertegun. Baru saja ia membalikkan badan hendak keluar kedai, terdengar
ada yang memanggil namanya, “Hai Abu Yazid!”
Ia
kaget sekali, ternyata yang memanggilnya adalah Si Fulan! Dari mana orang itu tahu
namanya?
Fulan
mengajaknya duduk dan memperkenalkannya dengan teman-teman minumnya. Setelah sejurus
meramahtamahi kumpulan pemabuk itu, Abu Yazid diajak menyingkir sedikit untuk
bicara bisik-bisik berdua.
“Kamu
bawa kiriman buatku, ya?” Fulan menagih.
Abu
Yazid mengangguk, “Salam dari Kanjeng Nabi saw.”
“’Alaika wa ‘alaihis salaam warahatullahi wa
barakaatuh,” mata Fulan berkaca-kaca.
“Begini,”
Fulan melanjutkan tanpa peduli pandangan mata Abu Yazid yang penuh tanda tanya,
bagaimana bisa Rasulullah mengirim salam untuk pelanggan pusat maksiat ini, “sudah
lama sekali aku tiap hari nongkrong
di sini. Kaulihat orang-orang mabuk itu?”
Abu
Yazid melirik mereka dan mengangguk. Fulan menepuk-nepuk bahunya.
“Kelompok
mereka itu tadinya ada sekitar 40 orang.. sekarang tinggal delapan. Nah, salam
dari kanjeng Nabi ini penanda tugasku berdakwah di sini sudah selesai. Yang tersisa
itu bagianmu. Kuamanahkan padamu.”
Fulan
pergi meninggalkan Abu Yazid bersama sekumpulan orang teler yang menjadi jatah
dakwahnya.
Laa haula wa laa quwwata
illabillah.
Daftar Isi
Bagian 1: Mayapada
Nusantara
[Pak Prabowo, Kami Memilih Anda, Tapi... | La Ma’daremmeng,
Karaeng Pattingalloang, dan Tuanta Salamaka | Siklus Paceklik dan Celah-celah
Berkah | Para Sultan Santri, Bagian I: Dari ‘Abdullah ke ‘Abdurrahman | Batik
Wahyu Tumurun | Juru Dakwah 9 Insan | Kagungan Dalem Masjid Gede Kauman
Yogyakarta | Masjid Jogokariyan | Parto Jokokaryo | Mereguk Pahala dari
Jemparingan | Risalah untuk Sang Pemanah | Bersebab Para Pemanah | Warna-warni
di kampung Ramadhan Jogokariyan | Hidangan Tuk Para Puasawan | Shalat Tarawih
di Masjid Jogokariyan | Gurindam I’tikaf | Setengah Abad Masjid Jogokariyan |
Berkawan Ala Imam Asy-Syafi’i | Guru Sejati Berendah Hati, Murid Nakal Bergaya
di Kursi | Stempel Resmi Pangeran Diponegoro | Babad Diponegoro | Ndalem pangeran
Diponegoro | Memakna Futuhat | Sederhana Itu... | Dari Ustadz ‘Abdullah Hadrami
hingga Pak Gopar | Cerita Tok Guru | Tersambung Karena ‘Amal | Bersebab Aqidah
| #DukungDakwahNusantara | Tata Kota tentang Hakikat Manusia | Sang Saudara Tua
| Mushhaf Al-Qur’an Tulisan Tangan | Haji: Manusia Berbahaya | Menuju
Kesantrian | Mas Gagah Negeri Baabullah | Sekisah tentang Janji | Pulang dengan
Gagah | Peradaban dan Nongki-nongki Canci | Jenggot Gagah | Ngopi di Bukit
Menoreh; Tentang Sebuah Mushalla | Ia Hanya Dunia | Ingkung | Darurat Dapur
Hangat]
Bagian 2: Berbagai Belahan Dunia
[Shinkansen; Tokyo-Osaka | Nasehat Sang Imam | Hati dan Iman
| Takkan Bosan | Asmaul Husna | Menyambung Syam-Indonesia | Brisbane, Australia
| Suwon, Korea Selatan | Gyeongbokgung | Air Mengalir | Di Bawah Pohon | Masjid
Fatih Camil | Merantau | Bersama yang Dicinta | Berjumpa Isma’il Haniyyah | Bebatas
Sang Kuasa | Ibn Batutta Mall | Masjid Sheikh Zayed ibn Sulthan Al-Nahyan |
Masihkah? | Masjid dan Pasar | Karenamu, Ya Rasulallah | Masjid Sultan Qabus,
Oman | Menara Bukhur, Oman | Bastion Pelabuhan Muscat, Oman | Halaman Masjid
Sultan Qabus, Oman | Interior Masjid Sultan Qabus, Oman | Dr. Yusuf Al-Qaradhawi
| Jejak Keimanan | Paris dan Kebangkitan yang Rendah Hati | Menyiapkan Diri |
Pak Iman S. Partoredjo dan Bunda Arum | Brisbane, Australia | Lake Burley
Griffin, Canberra | Lathaa’iful Ma’aarif | Richard The Lionheart | Nottingham
Castle | Katedral St. Albans | Sungai Thames | The Collegiate Church of St.
Peter | Oliver Cromwell | Istana Buckingham | Matematika | Begini Kiranya Rumah
Itu | Betapa Kita Kaya | Luasanne, Switzerland | Iman-Zentrum | Mbuletizmus
Ukhuwah | Angkutan | Nama Kota | Maket Perang Ahzab | Kopi | Kereta Api | Salju
dan Cinta | Goethe: Pencinta Muhammad, Qur’an, dan Islam | Sungai Rhine | Kölner
Dom Cologne Cathedral | Masjid Köhn | Istana Schönbrunn, Vienna | Frankfurt, The
Road To Mecca | Perdamaian dan Kemenangan | Tiga Jumpa di Vienna | Jam, dari
Al-Jazari ke Praha | Kezhaliman dan Kita | Bertamu pada Allah | Di Hadapan Roma
| Salju Bohemia | Dua Gagal, Bukan Sial | Mengapa Kamu Tidak Percaya? |
Jembatan; dari Praha ke Surabaya | Inggris; Sebuah Catatan Kecil | Siapa
Beriman?]
Bibliografi
Judul:
Rihlah Dakwah Salim A. Fillah; Melawat Berburu Hikmat
Penulis:
Salim A. Fillah
Tebal:
384 hlm.
Dimensi:
14x20 cm
Cetakan:
I, 2016
ISBN:
978-602-7820-50-0
Penerbit:
Pro-U Media, Yogyakarta
0 Komentar