Ketika
mengumandangkan Perjuangan Semesta, 2 Maret 1957, H.N. Sumual ―Panglima Tentara
dan Teritorium VII/Wirabuana ketika itu― menekankan, Permesta “tidak, ulangi,
tidak melepaskan diri dari Republik Indonesia!”
Dalam
Muqoddimah Piagam Permesta disebutkan,
“Kita
sebagai Patriot Indonesia menyadari sedalam-dalamnya keadaan Tanah Air
Indonesia setelah melalui masa Perjuangan/Revolusi selama 12 tahun, pada dewasa
ini sangat kritis dan mengkhawatirkan.
Untuk
mencegah keruntuhan dan kekacauan disebabkan pertentangan dan perpecahan antara
kita dengan kita, maka dipandang mutlak untuk segera mengambil tindakan yang
cepat dan jitu dengan penuh tanggung jawab sebagai abdi Nusa dan Bangsa.”
Pernyataan
yang memiliki kandungan makna yang sama juga disampaikan Dewan Banteng, Dewan
Gajah, dan Dewan Garuda; tak ada niat untuk menghancurkan keutuhan bangsa
Indonesia dan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Namun banyak tulisan mengenai
PRRI/Permesta menilai peristiwa ini sebagai “gerakan separatisme” atau “gerakan
anti-Jawa”, dan lain sebagainya.
Tulisan-tulisan
yang disajikan dalam lembar-lembar sejarah Indonesia, begitu tidak lengkap;
sangat singkat dan sering keliru. Argumentasi dan persepsi mereka yang berada
di daerah-daerah yang bergolak tidak terlalu diperhatikan, ini menyebabkan
pemahaman tentang PRRI/Permesta tidak selalu tepat.
Indonesia
pasca kemerdekaan memberlakukan sistem politik kepartaian (UUDS 1950). Hal ini
dianggap menciptakan polarisasi dalam tubuh bangsa Indonesia. Terlebih setelah
PKI meningkat menjadi partai yang kuat setelah memasuki 4 besar Pemilu 1955.
Jika kondisi terus berlangsung maka akan hancurlah bangsa Indonesia. Retaknya
hubungan antara Soekarno-Hatta juga membawa Indonesia dalam kondisi yang sulit.
Dalam
hal ekonomi, timbul kecenderungan ‘sentralistis’, yaitu daerah luar Jawa yang
menjadi penghasil utama bahan ekspor, tetapi pemerintah pusat (Jawa) yang
terutama memanfaatkannya. Akibatnya, golongan prajurit mengalami kesulitan
dalam hal operasi militer serta kesejahteraan. Maka, panglima pasukan
mengekspor sendiri hasil produksi pertanian lokal tanpa prosedur administrasi.
Kegiatan ini disebut dengan “barter.”
Berawal
dari reuni Divisi Banteng Sumatera Tengah, dibentuklah Dewan Banteng yang
diketuai oleh Letkol Ahmad Husein. Dalam rapat Dewan Banteng, dibuat berbagai
keputusan yang menyinggung persoalan nasional maupun lokal. Antara lain,
menyangkut keutuhan dwitunggal, penggantian pimpinan Angkatan Darat, otonomi
daerah, pembentukan senat, dll.
Dalam
perkembangannya, secara sepihak Ahmad Husein dijadikan kepala daerah Provinsi
Sumatera Tengah dengan alasan menerima tugas dari reuni eks-Divisi Banteng yang
menginginkan pembangunan di wilayah Sumatera Tengah. Setelah itu, dewan menjadi
pusat perencanaan bagi pembangunan. Perbaikan daerah mulai di realisasi dengan
meningkatkan usaha swadaya masyarakat, merintis usaha (pertanian, perkebunan,
dan perdagangan). Dalam perdagangan, daerah melakukan transaksi langsung dengan
Singapura melalui Teluk Bayur. Seluruh penghasilan daerah tidak dikirim ke
pusat, melainkan digunakan untuk daerah.
Untuk
mengatasi permasalahan dengan pusat, Ahmad Husein mendatangi tokoh-tokoh
nasional agar tidak keliru memandang yang terjadi di Sumatera Tengah.
Kondisi
Sulawesi hampir sama dengan yang terjadi di Sumatera. Tidak lancarnya
pembangunan daerah menjadi isu paling kuat dirasakan oleh masyarakat. Andi
Pangerangan yang saat itu menjabat sebagai Gubernur mengajukan realisasi
rencana pembangunan kepada pusat. Akan tetapi, berita mengenai dikabulkannya
tuntutan Dewan Banteng membuat kondisi di daerah semakin memanas.
Letkol
Sumual (Panglima TT VII/Wirabuana) menyadari situasi di wilayahnya dan
mengambil langkah membentuk suatu panitia untuk menyusun rencana kerja daerah.
Sumual mendapat sokongan dari berbagai pihak, dan membuat piagam perjuangan
semesta.
Selanjutnya,
pergolakan di daerah semakin mengerucut dengan adanya kesepakatan antara Ahmad
Husein, Sumual, dan Barlian hingga menghasilkan piagam Palembang yang makin
mempertegas tuntutan dari daerah. Hal ini menunjukkan bahwa di daerah sedang
bergejolak.
Pergolakan
yang terjadi di berbagai daerah ditanggapi oleh Perdana Menteri Djuanda dengan
mengadakan Musyawarah Nasional (Munas) di Jakarta pada September 1957. Hasil Munas
mengintruksikan untuk dibentuknya panitia penyelesaian masalah.
Pada
5 Oktober 1957, Pemimpin daerah-daerah bergejolak mengevaluasi hasil munas, dan
mengikrarkan kembali kesepakatan Palembang.
Peristiwa
Cikini yang merupakan upaya pembunuhan terhadap Soekarno membuyarkan apa yang
telah disepakati Munas. Pasalnya, pemimpin daerah bergejolak dianggap sebagai
dalang peristiwa tersebut. Kondisi yang semakin kacau membuat pemimpin daerah
bergejolak berembuk kembali. Menghasilkan Dewan Perjuangan yang menuntut
pengunduran diri Djuanda dalam waktu 5 hari. Dan akan mengambil langkah
kebijakan sendiri jika tidak dipenuhi.
Tuntutan
tidak diindahkan. Lima hari pasca tuntutan, dewan perjuangan membentuk susunan
kabinet baru yang dinamakan PRRI. Pemerintah pun mengeluarkan perintah
penangkapan terhadap yang terlibat dalam PRRI. Kota Padang pun diserang untuk
meredam gerakan tersebut dan memerintahkan juga penangkapan terhadap tokoh
Permesta.
Pada
kesimpulannya, bahwa kesenjangan yang timbul di pertengahan tahun 1950-an
antara “daerah” dan “pusat” muncul karena adanya pendapat yang serius dan
jujur, bahwa perkembangan politik di pusat ketika itu tidak memungkinkan
terselenggaranya pembangunan nasional. Oleh sebab itu, sejumlah daerah mencoba
memelopori suatu model otoritas dan perencanaan alternatif untuk
membuktikannya. Namun idealisme para pemimpin di daerah-daerah itu kurang
diterima di pusat.
Kemudian
bagaimanakah hubungan antara kesenjangan pembangunan pusat-daerah tersebut
dengan Partai Komunis Indonesia (PKI)?
Pembangunan
ekonomi memang tidak mudah. Sangat banyak kendalanya, baik ekonomi maupun
sosial. Salah satu kendala itu adalah kebijakan pemerintah yang tidak sejajar
dengan rencana pembangunan. Kendala yang berasal dari masyarakat adalah adanya
kekuatan sosial yang menentang usaha pembangunan untuk kepentingan sendiri,
PKI-lah yang paling dominan.
Sejak
1952, PKI sudah mulai melancarkan suatu rencana perebutan kekuasaan melalui
jalan konstitusional (pemilihan umum). Pengaruh upaya PKI tersebut memang
sangat terasa terutama dalam bidang politik, dan kemudian juga dalam bidang
ekonomi. Strategi perjuangan PKI tersebut bermuara pada G-30-S/PKI 1965.
Gerakan
Komunisme di Indonesia berawal dari tahun 1914, ketika beberapa tokoh Marxis
Belanda mendirikan ISDV (Indische Sociaal
Demokractische Vereeniging). Organisasi yang berawal dari kalangan Belanda
ini kemudian menarik sejumlah pemuda Indonesia yang giat dalam Sarekat Islam,
seperti Semaoen, Darsono, Alimin, dan lain-lainnya. Setelah mencaplok para
anggota Sarekat Islam, melalui VSTP (Vereeniging
van Spoor en Tramweg Personeel); organisasi buruh perkeretaapian yang
berpusat di Semarang; ISDV pun menggaet pengikut dari kalangan buruh.
Pemberontakan
yang dilancarkan PKI tahun 1926/1927, gagal total. PKI dihancurleburkan
Pemerintah Kolonial Belanda dan dinyatakan terlarang di seluruh Hindia Belanda.
Sejak itu, PKI megubah strategi perjuangan menjadi gerakan “bawah tanah” dengan
menyusupkan anggotanya ke dalam organisasi pergerakan lain.
Pemberontakan
PKI tahun 1948 seolah memukul punggung bangsa sendiri dari suatu golongan yang
menggunakan nama Indonesia ketika Pemerintah Indonesia sedang menghadapi
serangan Belanda di Yogyakarta (Desember 1948). Ini suatu tindakan yang tak
dapat dimaafkan. Dan memang sepanjang perjalanan sejarah bangsa Indonesia, keberadaan
PKI ―yang disetir Uni Soviet dan RRC― selalu menjegal dan menyakiti bangsa
sendiri.
Dr.
R.Z. Leirissa, MA sejak 1987 menjabat Ketua Jurusan Sejarah FSUI. Ia meraih
gelar sarjana sejarah pada Fakultas Sastra Universitas Indonesia pada tahun
1965. Gelar MA diperolehnya dari University of Hawaii pada 1974, dan doktor
ilmu sejarah dari Universitas Indonesia tahun 1989.
Daftar Isi
Bab I―Indonesia Menjelang
Pergolakan
[Gagalnya Sistem Politik | Gagalnya Pembangunan Ekonomi |
Ancaman Komunisme di Indonesia | Guncangan dalam Tubuh Angkatan Darat]
Bab II―Berawal dari Dewan
Banteng
[Reuni Divisi Banteng | Dewan Banteng Membangun Hubungan
dengan Pusat | Ahmad Husein | M. Simbolon | Ikrar 4 Desember | Dewan Gajah |
Dewan Garuda]
Bab III―Perjuangan Semesta (Permesta)
[Indonesia Timur di Masa Perang Kemerdekaan | Brigade XVI |
M. Saleh Mahade | H.N. Sumual | Situasi Sulawesi Menjelang Permesta | Ciri-ciri
Khusus Piagam Permesta | Kongres Bhinneka Tunggal Ika | Kendala-kendala |
Pemindahan Markas ke Kinilow | Permesta Membangun]
Bab IV―Musyawarah Nasional
[Inisiatif “Team MBAD” | Komposisi Anggota Musyawarah |
Legalistik Murni Versus Ideal Legalistik | Keputusan-keputusan Munas |
Dokumen-dokumen Autentik Musyawarah]
Bab V―Panitia Tujuh
[Fact Finding
Commission (FFC) | Keputusan Panitia Tujuh]
Bab VI―Tragedi Nasional
[Peristiwa Cikini | Civis
Pacem Para Bellum | Meletusnya Konflik Senjata | Beberapa Masalah]
Bab VII―Epilog: Idealisme
Berlanjut
Bibliografi
Judul:
PRRI Permesta; Strategi Membangun
Indonesia Tanpa Komunis
Penulis:
R.Z. Leirissa
Tebal:
x+318 hlm.
Dimensi:
14,5x21 cm
Cetakan:
I, 1991
ISBN:
979-444-118-X
Penerbit:
PT Pustaka Utama Grafiti, Jakarta
0 Komentar