Resensi: "Babad" Walisongo

Berawal dari laporan perjalanan Ibnu Bathuthoh yang sempat singgah di Samudra Pasai, di mulailah pengutusan du’at ke Nusantara.

1385 M. Seorang da’i bernama Ahmad Jamaluddin Husain Al-Akbar (kelak dikenal dengan nama syaikh Jumadil Kobro) mengajak ketiga anaknya; Ibrohim, Barokat, dan ‘Ali Nurul Alam; meninggalkan Samarkand saat kota itu di gempur Timur Lenk. Meski Muslim, Timur Lenk begitu bengis. Dasar ekspansinya bukan dakwah Islam, tetapi tentang eksistensi personanya.

Syaikh Jamaluddin Husain sekeluarga hijroh ke Persia. Di sana, beliau berkenalan dan diterima dengan sangat baik oleh syaikh Maulana Malik Ibrohim; seorang ulama yang tenar, baik hati, dan dihormati yang kelak berjuluk Sunan Gresik.

1387 M. Timur Lenk merangsek ke negara Persia. Syaikh Jamaluddin Husain dan syaikh Maulana Malik Ibrohim memilih menyingkir dari Persia menuju Turki. Bersama mereka, turut pula sahabat syaikh Maulana Malik Ibrohim, yakni syaikh Subakir dan syaikh ‘Ali Akbar.

Di bawah kekuasaan Sultan Murod, Turki pun sedang gencar memperluas wilayahnya dengan menggempur Byzantium (sekarang berjuluk Istambul) yang beragana Nasrani. Upaya perluasan wilayah Turki ini bahkan mencapai ke negeri-negeri Balkan. Hingga Sultan Murod pun meregang nyawa di negeri Eropa Timur itu. Sebakda wafatnya sang ayah, Turki pun di pimpin oleh Sultan Mahmud I tahun 1394 M.

Seorang pemuda sekaligus ulama dari Maroko pun menyingkir ke Turki. Sebab, Maroko saat itu masuk wilayah jajahan Mesir Mamluk yang sedang beringas dengan hukum rimbanya. Ia berjuluk Maulana Maghribi. Tergabung pula dua ulama dari Palestina di tanah Turki itu, yakni syaikh Hasanuddin dan syaik ‘Aliyuddin dengan alasan yang sama dengan Maulana Maghribi.

Atas upaya ulama lokal bernama syaikh Malik Isroil, Sultan Mahmud I pun mengumpulkan para ulama internasional tersebut untuk suatu tugas suci ―berbasis laporan perjalanan Ibnu Bathuthoh― berdakwah ke Majapahit.

Nusantara 1398 M. Kafilah dakwah pun bersandar di Samudra Pasai. Di dalam tim du’at ini tergabung Maulana Malik Ibrohim sebagai amir, syaikh ‘Ali Akbar dan syaikh Subakir (Persia), syaikh Jamaluddin Husain Al-Akbar, Ibrohim, Barokat, ‘Ali Nurul Alam (Samarkand), syaikh Malik Isroil (Turki), syaikh Hasanuddin, syaikh ‘Aliyuddin (Palestina), Maulana Maghribi (Maroko).

Seluruh tim du’at melanjutkan pelayaran ke pulau Jawa menuju Majapahit, kecuali Ibrohim; putra sulung syaikh Jamaluddin Husain yang ingin menetap di Pasai.

Majapahit 1399 M. Tim du’at mendarat di pelabuhan internasional Tandhes (utara Gresik saat ini) dan dilanjutkan perjalanan darat menuju Trowulan; pusat Majapahit. Pada saat itu, Prabu Wikrama Wardhana belum berkenan masuk Islam meski pun rakyatnya sudah ada yang beragama Islam.

Pembagian wilayah dakwah pun dilaksanakan; syaikh Jamaluddin Husain beserta kedua putranya memilih berdakwah di Trowulan, Maulana Malik Ibrohim memilih berdakwah di Tandhes ―di pelabuhan internasional, syaikh Malik Isroil, syaikh Hasanuddin, dan syaikh ‘Aliyuddin memilih berdakwah di Banten, Maulana Maghribi, syaikh Subakir dan syaikh ‘Ali Akbar memilih berdakwah ke Jung Mara (pelabuhan di Jepara). Sehingga, tersebar ke tiga bagian pulau Jawa, Timur, Tengah, dan Barat. Meski pada waktu berikutnya, Maulana Maghribi memilih tempat berdakwah di pedalaman, yakni di Klaten, dan syaikh Subakir kembali ke Persia.

Maulana Malik Ibrohim menjadi solusi bagi pacelik di Tandhes. Teknik irigasi merupakan hal baru di Nusantara. Kehadiran Laksamana Cheng Ho melalui pelabuhan Tuban pun tak disiakan oleh Maulana Malik Ibrohim untuk dihadapkan dan mengislamkan Prabu Wikrama Wardhana ―meskipun belum berhasil. Selain itu, sebagian pasukan Cheng Ho pun ―petani dari Tiongkok― dimanfaatkan Maulana Malik Ibrohim untuk membuka lahan persawahan untuk masyarakat Tandhes. Dakwahnya lintas kasta.

Pasai 1399 M. Syaikh Ibrohim As-Samarkand berlayar ke Campa untuk mengislamkan sang Raja. Namun, penolakan dan perburuan pun terjadi. Sikap represif itu diurungkan ketika armada besar Laksamana Cheng Ho bersandar di Campa. Sepeninggal Raja Campa, syaikh Ibrohim As-Samarkand yang telah berkeluarga itu pun ―dengan wanita Pasai bernama Retno Jumilah dan berputra Ishaq (kelak berjuluk Maulana Ishaq)― menikahi kakak kandung Raja Campa; Dewi Condrowulan yang telah masuk Islam. Dari istri kedua ini, lahir ‘Ali Murtadho dan ‘Ali Rohmatulloh (kelak berjuluk Sunan Ampel).

Perjalanan syaikh Ibrohim, ‘Ali Murtadho, ‘Ali Rohmatulloh, dan kemenakannya bernama Abu Huroiroh ke Jawa, sempat mengislamkan seorang Adipati Arya Damar di Palembang. ‘Ali Murtadho memang cenderung pada bakat perniagaan dan menjadi semacam duta bagi kerajaan Cina untuk berdiplomasi di Nusantara. ‘Ali Murtadho menikah dengan gadis di Jipang Panolan (sekitar Blora) dan mempunyai anak bernama ‘Utsman Haji (kelak berjuluk Sunan Ngudung; ayah Sunan Kudus). Sedangkan ayahnya; syaikh Ibrohim; dikebumikan di Tuban. Maulana Malik Ibrohim pun dimakamkan di Trowulan. Anak perempuan sulung dari Raja Campa memang dinikahi oleh Raja Kertawijaya; raja Majapahit.

Di Majapahit inilah, ‘Ali Murtadho bergelar Raden Santri atau Raden Pandhito bertugas di pelabuhan Tandhes (menggantikan kakeknya; Maulana Malik Ibrohim), ‘Ali Rohmatulloh bergelar Raden Rahmat bertugas di Ampel, Abu Huroiroh bergelar Raden Burereh bertugas di Mojoagung (Jombang) dan kelak berjuluk Sunan Majagung.

Pasai 1442 M. Maulana Ishaq; putra syaikh Ibrohim; menyusul saudara-saudaranya ke Majapahit. Berikutnya, Maulana Ishaq pun membuka lahan dakwah di Blambangan (sekarang Banyuwangi). Peran penting beliau untuk Blambangan adalah keahliannya dalam ilmu kedokteran. Pernikahannya dengan putri Adipati Menak Sembuyu; Roro Sekardadu; menghasilkan seorang putra yang sebelum kelahirannya, Maulana Ishaq terfitnah dan nyaris dibunuh Adipati Menak Sembuyu dengan memainkan isu politik perseteruan Majapahit-Blambangan (buntut Perang Paregreg). Dalam lain waktu, Roro Sekardadu pun melarikan diri dalam keadaan hamil tua demi mendengar rencana sang ayah yang akan membunuh sang jabang bayi nantinya. Kelahiran bayi dalam pelarian dengan berlayar, diberi nama Joko Samudro (kelak berjuluk Sunan Giri) dan sang ibunda wafat setelah melahirkan. Dan Maulana Ishaq pun melarikan diri kembali ke Pasai.

Joko Samudro dididik sebagai pedagang sekaligus pelajar (santri) dalam asuhan Nyai Pinatih. Hingga dalam pengajaran keislaman, dipercayakan kepada Malik Ibrohim (putra Maulana Malik Ibrohim), Raden Santri, dan ke pesantren Sunan Ampel (pamannya sendiri). Seangkatan dengan beliau, ada Syarif Hidayatulloh (kelak berjuluk Sunan Gunung Jati) dan Utsman Haji. Keakrabannya justru pada kedua putra Sunan Ampel yang masih anak-anak, yakni Ibrohim atau Makhdum Ibrohim (kelak berjuluk Sunan Bonang) dan Qosim atau Syarifuddin (kelak berjuluk Sunan Drajat). Terbukanya tabir nasab Joko Samudro di depan Sunan Ampel, menjadikan ia bergelar Raden Paku oleh Pangeran Kertabhumi. Kemudian, diutuslah Joko Samudro ke Pasai untuk menemui ayah kandungnya; Maulana Ishaq.

Sebakda wafatnya Maulana Ishaq, Raden Paku kembali ke Jawa dengan saudara-saudaranya dari ibu pertama. Raden Paku menikahi salah satu putri Sunan Ampel sekaligus menikahi putri Ki Ageng Bungkul.

Raden Hasan; putra Adipati Arya Damar dari Palembang; diutus Sunan Ampel membabat alas di daerah Bintoro; cikal kerajaan Islam Demak.

Raden Paku melanjutkan profesi ibu angkatnya; Nyai Pinatih; dalam hal niaga. Perniagaan ke Borneo, menjadi lahan dakwah baru baginya. Perniagaan pun merambah ke Lombok, Makassar, juga Ternate. Karena kefakihannya, ia berjuluk Syaikh ‘Abdul Faqih. Hingga restu Raden Paku pun menjadi jaminan atau rekomendasi kuat atas nama calon pejabat pemerintahan saat itu. Ia menjadi penasihat Raja-raja. Ia pun mendirikan pesantren di gunung Giri.

Sejarah Tuban yang erat kaitannya dengan tokoh Panglima Ronggolawe yang menitis pada Adipati Aryo Tejo, selalu lekat dengan latar sejarah Raden Sahid atau kelak berjuluk Sunan Kalijogo. Berguru pada Sunan Bonang ―yang masih bertalian darah, Raden Sahid juga belajar kepada Sunan Ampel. Dan di sanalah ia menikahi putri Sunan Ampel hingga lahir jabang bayi ‘Umar Sahid yang kelak berjuluk Sunan Muria.

Meski beberapa bagian kisah masih menyisakan ketidaknyamanan disebabkan kisah-kisah yang dituturkan berlebihan ―seperti lazimnya kisah dongeng yang beredar, novel sejarah ini lumayan memberikan gambaran bagaimana sejarah atau “babad” Walisongo itu ada di Nusantara secara naratif.

Pada novel ini, Penulis sengaja menyebut Walisongo sebagai lembaga dakwah, bukan suatu komunitas yang terjebak dengan istilah “songo” ―yang berarti ‘sembilan’ dalam bahasa Jawa― pada jumlah du’at yang berdakwah di Nusantara.

Tuturan dalam buku ini berbeda dengan beberapa referensi yang mengupas peran para du’at di awal Nusantara ini. Sebagai contoh, kisah syaikh Subakir ―pada versi lain― disebutkan ahli tata Kota. Memilih gunung Merapi sebagai suar untuk memetakan desain kota masa depan di lihat dari atas gunung. Sedangkan dalam buku ini, dikesankan bahwa syaikh Subakir ‘lari’ dari amanah dakwah.

Dalam buku lain disebutkan, bahwa ‘Utsman Haji (Sunan Ngudung) berasal dari Palestina dengan keahlian sebagai trainer tentara yang padanya menurun generasi bernama Ja’far Shodiq yang kelak berjuluk Sunan Kudus.

Kesimpangsiuran sejarah para du’at yang tergabung dalam lembaga dakwah Walisongo inilah yang sejak dahulu belum menemukan keshohihannya; kembali pada misi utama dakwah yang diinisiasi oleh Sultan Mahmud I.

Daftar Isi
• Duta Sultan Turki
• Menghadap Raja Majapahit
• Perpisahan yang Tak Terhindarkan
• Sang Penguasa Tandhes
• Kaki Bantal Berpulang
• Pengislaman Raja Campa
• Mengislamkan Adipati Palembang
• Duka di Tanah Tuban
• Menjadi Bangsawan Majapahit
• Pernikahan Raden Rahmat
• Sunan Ampel
• Lahirnya Sunan Giri
• Maulana Ishaq Berjumpa Putranya
• Pernikahan Raden Paku
• Raden Paku Menjadi Penasihat Para Raja di Timur
• Jalan Panjang Mendirikan Pesantren Giri
• Menjadi Raja di Giri Kedhaton
• Pertemuan dengan Raden Sahid
• Pertobatan Sang Berandal
• Sunan Kalijaga: Sunan Pribumi di antara Sunan Arab
• Syekh Malaya Mencari Kesejatian
• Dua Orang Sunan dari Pengging
• Rencana Pembangunan Masjid Agung
• Saka Guru dari Tatal Kayu
• Pengislaman Massal
• Sunan Drajat Menjadi Ketua Dewan Wali
• Menyerang Malaka dan Majapahit
• Pengembaraan Sunan Kalijaga
• Kematian Ki Ageng Pengging
• Intrik Politik Murid-murid Sunan Kalijaga dan Sunan Kudus

Bibliografi
Judul: “Babad” Walisongo
Penulis: Yudhi AW
Genre: Novel Sejarah
Tebal: viii+296 hlm.
Dimensi: 14x20 cm
Cetakan: I, 2013
ISBN: 978-979-168-329-6

Penerbit: Narasi, Yogyakarta

Posting Komentar

0 Komentar