Resensi: The Golden Compass

Lyra Belacqua sejak kecil tinggal di Akademi Jordan di Oxford. Meski begitu, banyak hal yang tidak boleh diketahuinya, seperti berbagai macam kegiatan para cendekiawan di Akademi tersebut. Namun suatu hari, Lyra mengendap-endap ke ruang rehat dan mendengarkan serta melihat hal-hal yang tak seharusnya diketahuinya saat itu. Hari itu, pamannya; Lord Asriel; mempresentasikan penemuannya di Kutub Utara. Dan ada satu hal yang menghantui pikiran Lyra sejak saat itu: Debu.

Debu yang ditunjukkan Lord Asriel dalam presentasinya memperlihatkan pengaruhnya pada orang dewasa, namun tidak pada anak-anak. Setelahnya, di Oxford maupun di kota-kota lain diberitakan hilangnya anak-anak yang berusia di bawah dua belas tahun. Isu yang berkembang menamakan para penculik anak-anak sebagai Pelahap. Hingga pada suatu hari, Lyra menyadari bahwa teman sepermainannya; Roger; hilang diambil oleh para Pelahap.

Pada saat yang bersamaan, seorang wanita bernama Mrs. Coulter hendak mengambil Lyra dan mendidiknya. Dia memandang bahwa Lyra yang beranjak dewasa harus dididik di akademi wanita pula, bukan di Jordan yang merupakan akademi pria. Sebelum keberangkatannya, Master Akademi Jordan memberinya sebuah Kompas Emas yang katanya merupakan milik Lord Asriel, serta berpesan agar menyembunyikan keberadaannya dari Mrs. Coulter.

Mulanya, Lyra menikmati kebersamaannya dengan Mrs. Coulter, sosok wanita dewasa pertama yang menjadi panutannya. Akan tetapi, lama-kelamaan Lyra merasa bahwa dia diarahkan demi suatu kepentingan. Kepentingan yang membahayakan Lord Asriel, dan berhubungan dengan para Pelahap, juga Debu. Dia memutuskan untuk melarikan diri. Beruntung dalam pelariannya, dia dibantu oleh para gipsi yang pernah berhutang budi pada Lord Asriel. Bersama-sama mereka menuju ke Utara, mencari Roger, anak seorang gipsi yang diculik, serta anak-anak yang lain jika memungkinkan, juga membebaskan Lord Asriel.

Dunia yang dikisahkan dalam buku ini adalah dunia yang berbeda, di sini setiap orang memiliki sebuah dæmon yang akan selalu bersamanya. Dæmon merupakan perwujudan dari jiwa manusia tersebut, orang-orang tanpa dæmon digambarkan seperti orang-orang yang tak berkepala —dan dalam kasus ini sangat mengerikan dan menjijikkan. Pada anak-anak, dæmon masih dapat berubah-ubah, dan setelah anak tersebut tumbuh dewasa, dæmon mereka pun berhenti berubah.

“Kenapa dæmon harus mengambil bentuk tetap?” tanya Lyra. “Aku ingin Pantalaimon bisa berubah selamanya. Ia juga sependapat.”
“Ah, mereka selalu mengambil bentuk tetap, dan mereka akan selalu begitu. Itu bagian dari tumbuh dewasa. Akan ada saatnya kau merasa bosan dengan perubahan-perubahannya, dan kau ingin ia tetap dalam satu bentuk tertentu.”
“Tidak akan pernah!”
“Oh, nanti kau pasti begitu. Kau pasti ingin tumbuh dewasa seperti semua gadis lainnya. Lagi pula, bentuk tetap ada untungnya.”
“Apa?”
“Kau jadi tahu orang macam apa dirimu. Ambil contoh Belisaria. Ia camar laut, dan itu berarti aku juga semacam camar laut. Aku tidak indah dan hebat atau cantik, tapi aku tangguh dan bisa bertahan hidup di mana saja serta selalu menemukan makanan dan teman. Itu ada gunanya diketahui. Dan waktu bentuk dæmonmu tetap nanti, kau juga akan tahu orang macam apa dirimu.”
“Tapi bagaimana kalau dæmonmu mengambil bentuk tetap yang tidak kausukai?”
“Yah, kalau begitu, kau jadi tidak puas, kan? Banyak orang yang ingin punya dæmon berbentuk singa, tapi mereka akhirnya mendapatkan dæmon berbentuk pudel. Dan sebelum mereka belajar untuk merasa puas dengan diri mereka sendiri, mereka akan sangat gelisah karenanya. Buang-buang perasaan saja, tindakan seperti itu.”
Tapi Lyra merasa ia tidak akan pernah tumbuh dewasa.
(h.208-9)

Ada kalanya kita ragu untuk menjadi dewasa, ragu untuk menetap pada suatu hal, tak yakin bisa meninggalkan fleksibilitas kehidupan yang selama ini membuat kita nyaman, memudahkan ‘pelarian’ saat hal tersebut diperlukan. Sebagaimana Lyra yang tak ingin tumbuh dewasa, karena khawatir tak puas dengan bentuk tetap dæmonnya.

Adapun Kompas Emas yang dimiliki Lyra adalah suatu alat yang mampu menjawab berbagai pertanyaan, perlu teknik khusus untuk membacanya, tetapi Lyra memiliki bakat alami untuk memahaminya.

Sebagai seorang anak perempuan, Lyra tidak dapat dikategorikan sebagai anak yang ‘manis’. Sejak masih tinggal di Oxford, dia suka menelusuri atap akademi bersama Roger, bermain perang dengan anak-anak lain, dan seringkali merusak gaunnya dalam permainan-permainan tersebut. Namun Lyra adalah anak yang cerdas, benaknya selalu menyimpan pertanyaan, nuraninya pun masih menyuarakan kebaikan, dia pemberani meski kadang nekat dan bertindak tanpa berpikir panjang.

Lyra tidak terbiasa bermuram durja; ia anak yang selalu optimis dan pragmatis, lagi pula, ia tidak imajinatif. Orang yang punya banyak imajinasi tak akan serius berpikir ada kemungkinan pergi sejauh ini untuk menyelamatkan temannya, Roger; atau setelah memikirkan kemungkinan itu, anak yang imajinatif akan langsung menemukan beberapa alasan mengapa rencana tersebut mustahil. Hanya karena seseorang terlatih berbohong tidak berarti ia punya imajinasi kuat. Banyak pembohong jagoan sama sekali tak punya imajinasi; itu alasan mengapa kebohongan mereka tampak meyakinkan, tanpa dosa. (h.305)

Gagasan itu melayang dan berpendar lembut seperti gelembung sabun. Lyra bahkan tak berani memandang langsung ke arah rencana itu karena khawatir gelembung tersebut akan pecah. Tapi ia kenal betul sifat-sifat suatu gagasan, dan ia membiarkan gagasan itu berpendar, mengalihkan pandangannya dan berpikir tentang hal lain. (h.408)

Dan pada akhirnya, ada harga yang harus dibayarkan oleh satu-dua kecerobohan. Tak semuanya berjalan sesuai dengan seharusnya.

Buku ini menurut saya dipenuhi oleh banyak sekali simbolisasi. Oleh karena saya membacanya pada usia dewasa, maka hal-hal tersirat yang dikemas melalui cerita anak-anak tetap terasa. Bagi saya, buku ini terkesan ‘penuh’, penuh kejadian, penuh karakter, penuh informasi, meski dinikmati ‘hanya’ sebagai buku anak biasa. Ada beberapa konten yang saya rasa terlalu dewasa untuk anak-anak, sehingga mungkin buku ini lebih tepat jika ditujukan untuk remaja.

“Itu tugas orang-orang tua,” Pustakawan menanggapi, “mencemaskan anak muda. Dan tugas anak muda untuk mengolok-olok kegelisahan orang tua.” (h.47)

Perjalanan Lyra ke Utara benar-benar memanjakan imajinasi kita tentang tempat-tempat yang disinggahinya. Salju, rasa dingin yang menusuk tulang, aurora, ketegangan perang melawan beruang berbaju besi, serta tempat-tempat yang menawarkan teknologi yang tak terduga sebelumnya. Penggambarannya cukup detail dan hidup.

Daftar Isi
Bagian Satu―Oxford
[Botol Kristal Berisi Tokay | Kabar dari Utara | Jordan dan Lyra | Alethiometer | Pesta Koktail | Jala Lempar | John Faa | Frustrasi | Mata-mata]

Bagian Dua―Bolvangar
[Konsul dan Beruang | Baju Besi | Anak yang Hilang | Anggar | Cahaya Bolvangar | Kandang-Dæmon | Guilotin Perak | Para Penyihir]

Bagian Tiga―Svalbard
[Kabut dan Es | Tertawan | À Outrance | Sambutan Lord Asriel | Pengkhianatan | Jembatan ke Bintang-bintang]

Bibliografi
Judul: The Golden Compass (Kompas Emas)
Penulis: Philip Pullman
Penerjemah: B. Sendra Tanuwidjaja
Tebal: 504 hlm.
Dimensi: 15x23 cm
Cetakan: IV, Mei 2008
ISBN-13: 978-979-22-2488-7
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama, Jakarta

Posting Komentar

0 Komentar