Dalam buku sejarah di sekolah,
banyak anggapan yang seolah kaprah bahwa perang Diponegoro dipicu karena soal
perampasan pembangunan jalan di tanah milik sang pangeran. Alhasil wacana yang
berkembang di benak publik bahwa perang itu baru muncul karena atas persoalan
pribadi Pangeran Antawirya (Pangeran Diponegoro) semata. Kisah nestapa sosial
dan ekonomi yang kala itu memang sangat mencekik rakyat Jawa terabaikan.
Belum lagi soal bahwa Perang Jawa
juga sebagai imbas meluasnya wabah penyakit kolera hingga meletusnya gunung
Merapi juga tak dipahami. Atau juga soal konsumsi candu yang merajalela. Di
mana-mana sampai pelosok bertebaran rumah ‘minum candu’ sebagai hal yang akrab
oleh rakyat. Pemandangan orang yang lagi mengisap candu banyak terlihat dalam
di dokumen lama era kolonial. Kini, semua derita seolah hilang tak berbekas.
Namun, kini sudah ada wacana yang lain. Sejarawan berkebangsaan
Inggris yang lahir di Myanmar; Peter Carey; membuka hal lain yang selama ini
tertutupi dalam pengungkapan apa yang menjadi penyebab munculnya Perang Jawa
yang berlangsung 1825-1830 tersebut. Peter Carey
membatasi penelitiannya yang tertuang dalam buku ini dalam ruang dan waktu yang
spesifik. Ia meneliti komunitas Cina di wilayah-wilayah yang dikuasai dan
dipengaruhi kerajaan di Jawa Tengah. Waktunya terjadi antara masa Perjanjian
Giyanti (1775) dan meletusnya Perang Jawa (1825). Pengkajian yang dilakukan Carey itu menghilangkan sisi pandang soal
sejarah Perang Diponegoro yang berasal dari kaca mata Kolonial Belanda.
Salah satu kisah yang
ditulis Carey adalah tentang kisah “Orang Cina, Bandar Tol, Candu, dan Perang
Jawa”.
Dalam
buku ini, Carey menulis sisi kelam apa yang terjadi di masyarakat Jawa sebelum
perang terjadi. Termasuk konflik sosial dengan berbagai fenomenanya yang
terjadi.
Sejarah komunitas etnis Cina di Pulau Jawa memang
belum banyak diteliti. Namun, Carey telah mencoba merekonstruksi kehidupan
komunitas etnis Tionghoa di Jawa sebelum Perang Jawa (1825). Hubungan
perdagangan orang-orang Cina peranakan di pulau Jawa telah dimulai sejak lama.
Peter Carey bahkan menulis, hubungan perdagangan ini telah dimulai sejak awal
abad-abad masehi. Keberadaan orang-orang Cina di pulau Jawa dapat dilihat pada
lingkup ekonomi, sosial, dan keagamaan.
Pada tataran ekonomi, dikatakan, di abad ke-14
orang Jawa telah terbiasa dengan barang impor dari Cina. Di lingkup sosial,
sudah terjadi perkawinan dengan penduduk setempat. Sedangkan, pada tataran
keagamaan, orang-orang Cina ikut menyebarkan agama Islam. Perkembangannya
orang-orang Cina berhasil menguasai perdagangan di sekitar kota pelabuhan di
pantai utara.
Mereka juga masuk ke lingkungan istana.
Orang-orang Cina yang dikenal handal dalam hitung-menghitung membantu
pengelolaan keuangan istana. Para perempuan Cina peranakan yang cantik dan menarik
hati dijadikan isteri penguasa lokal.
Di titik inilah orang-orang Cina punya hubungan
yang kental dengan penguasa dan pihak istana. Mereka belajar bahwa untuk
meluluskan kehidupan ekonomi yang tinggi mereka harus berinteraksi kuat dengan
orang-orang “tingkat atas”.
Salah satu peranan orang Cina yang diberikan
istana adalah menjadi syahbandar atau mandor tol dan bea cukai. Syahbandar ini
bertugas menagih uang tol dan bea cukai khusus para pedagang Cina. Pekerjaan
ini bagi orang Cina ―pada masa itu― amat besar dampaknya. Salah satunya hak
istimewa untuk diadili menggunakan Undang-undang Romawi-Belanda.
Orang-orang Cina juga menjadi pedagang eceran
jual-beli candu dan tekstil. Mereka pun menjadi pedagang perantara beberapa
hasil pertanian. Bahkan sebagai pengurus dan pemelihara pasar dan pembuat
senjata. Intinya, orang-orang Cina punya peranan yang menguntungkan mereka
secara ekonomi dan kedudukan sosial. Terlebih mereka disokong sangat oleh
istana.
Pajak tol dan bea cukai yang mencekik leher
membuat orang-orang Jawa dengki. Kondisi ini berlarut lama sampai tercipta
kedudukan orang Jawa berada di bawah kedudukan orang Cina. Cemburu dan rasa iri
menimpa orang Jawa dalam menghadapi orang Cina.
Beban pajak bagi orang Jawa, khususnya petani,
terbilang tinggi. Inilah faktor pemicu ketegangan antara orang Cina dan orang
Jawa. Mengapa pajak bisa begitu tinggi? Ini lantaran penguasa istana yang butuh
banyak uang untuk membiayai kehidupan istana. Kehidupan mewah mereka.
Penguasa istana menilai pemasukan dari bandar tol ―yang
dikuasai orang-orang Cina― amat menguntungkan. Maka terus-menerus mereka
menggenjot orang Cina untuk menghasilkan uang yang lebih, lebih, dan lebih
banyak lagi. Tekanan ini membuat orang-orang Cina memeras petani-petani Jawa
dengan cara memberlakukan pajak tol dan bea cukai yang tinggi.
Semakin kukuhlah persepsi orang Jawa terhadap
orang Cina. Orang Cina dinilai rakus uang dan kekuasaan. Maka ketika orang Jawa
tersulut seruan anti-asing, mereka bersikap memusuhi orang Cina. Ini disadari
orang Cina. Kesadaran mereka sebagai orang-orang yang sewaktu-waktu bisa
diserang orang Jawa. Sebagai komunitas yang terpisah dan dibenci.
Didi Kwartanada ―seorang sejarawan yang bekerja pada
Yayasan Nation Building (Nabil) di Jakarta― menyebutkan dalam Pengantar buku
ini, bahwa fenomena sosial-ekonomi kaum Cina tidak lepas dari status mereka ―yang
juga mereka sadari― sebagai kaum “minoritas perantara” (middlemen minority) sebagai bentuk mempertahankan keberlangsungan
hidup mereka, sehingga penguasa menjadikannya sebagai perisai sekaligus “kambing
hitam” demi memenuhi ambisi penguasa.
Dalam buku tersebut,
Carey berkisah:
Seorang
Tionghoa penjaga gerbang tol menulis pada November 1824 dan melaporkan tentang
kebangkrutannya hanya dalam waktu dua bulan setelah mengambil alih pengelolaan
bandar yang selalu menguntungkan di daerah Bantul dan Jatinom, selatan
Yogyakarta. Musim kering yang berkepanjangan sejak awal tahun tampaknya telah
menghancurkan tanaman kapas dan bahan-bahan pangan pokok, seperti jarak, kacang
kedelai, dan jagung, sehingga persediannya sangat sedikit. Harga beras
melambung tinggi, dan kegiatan perdagangan di pasar-pasar setempat hanya
sedikit karena perdagangan secara efektif telah ambruk sama sekali.
Pada
bulan-bulan yang mengerikan sebelum meledaknya Perang Jawa, pedesaan di Jawa
merupakan tempat di mana orang hidup saling curiga dan saling meneror.
Gerombolan bersenjata beroperasi dengan sangat bebas dari tuntutan hukum.
Pembunuhan banyak terjadi dan kegiatan harian para petani setempat berlangsung
di bawah pengawasan ketat mata-mata para penjaga gerbang tol yang ditempatkan
di setiap desa dan setiap jalan desa untuk mencegah terjadinya penghindaran
kewajiban membayar pajak. Bahkan orang mati sekalipun, ketika diantarkan ke
kuburan, akan terbebani pajak pula. Terlebih hanya melintasi sebuah gerbang tol
saja, kendati tidak membawa suatu barang yang dikenai pajak, akan menyebabkan
seorang pelancong dikenakan apa yang secara kasar dinamakan oleh orang Jawa
sebagai “pajak bokong”. Para pegawai Jawa yang berkedudukan tinggi pun tidak
luput dari perlakuan ini. Bupati Nganjuk (masuk wilayah Surakarta) yang telah
beruban, dalam sebuah wawancara dengan seorang pejabat Belanda, dengan muka
masam mengutarakan bahwa ia merasa lebih berani terhadap harimau yang memenuhi
hutan jati dalam perjalanan lintas alamnya ke ibu kota Kesunanan, daripada
harus berhadapan dengan jagoan tak tahu malu yang menjaga gerbang tol sepanjang
jalan raya Nganjuk–Surakarta. Pegawai lainnya, dengan kepahitan yang hampir
tidak dapat disembunyikan lagi, mengutarakan prosedur asusila yang dilakukan
oleh bandar Tionghoa pendatang baru dari Tiongkok yang hampir tidak bisa
berbahasa Melayu dalam menggeledah fisik para istri dan kaum perempuan untuk
menjarah perhiasan mereka.
Peran
orang Tionghoa yang semakin menonjol sebagai penyewa tanah di daerah kerajaan
antara 1816 dan 1823 juga telah memperburuk perasaan rakyat terhadap mereka. Utamanya
bukan sebagai akibat dari cara pertaniannya yang agresif secara komersial,
tetapi sebagai akibat tingkah laku mereka yang sombong dalam berurusan dengan
para petani Jawa dan para pejabat setempat. Perubahan sikap mereka disinggung
dalam sebuah laporan oleh seorang pangeran Yogyakarta yang berjuang bersama
dengan Diponegoro:
Di
antara orang desa yang memberikan bantuan kepada Diponegoro, terdapat orang
yang tidak mempunyai apa pun lagi untuk dimakan dan mereka yang mata
pencahariannya adalah melakukan kejahatan, perampokan, dan pencurian,
membantunya berdasarkan rencana jahat mereka sendiri. Sedangkan mereka yang
tidak terlibat di dalam kegiatan kejahatan, seperti para pegawai desa [demang
desa] dan para pengumpul pajak [Bekel], (kebanyakan mengikutinya) sebagai
akibat dari keluhannya terhadap orang Tionghoa yang tingkah lakunya menjadi
sangat berbeda dengan perilaku mereka sebelumnya. Sekarang mereka menghendaki
agar rakyat menyembah mereka, sebagai penghormatan penuh takzim dan mereka
duduk di atas (yaitu di atas kursi), sedangkan para Demang harus duduk (sambil
bersila) di atas lantai, di hadapan mereka (mesti duduk seba ada dibawa).
Selama
berlangsungnya Perang Jawa, Pemerintah Belanda pada akhirnya bertindak secara
cepat memodifikasi kerja sistem gerbang tol di daerah kerajaan, dan membatasi
masuknya penduduk Tionghoa ke daerah pedesaan. Akan tetapi, pada saat itu
tindakan modifikasi tersebut sudah sangat terlambat; perang telah meluluhlantakkan
daerah pedesaan dan orang Tionghoa. Mereka pada masa itu dimaklumi di ranah
istana sebagai penasihat keuangan yang tidak ternilai, rekan dagang, dan ahli
perpajakan, tetapi sekarang telah menjadi sasaran-sasaran khusus kebencian dan
kejijikan rakyat (h.92-94).
Nah,
atas kisah yang ditulis Carey itu maka kita berharap hal yang serupa tak
terjadi lagi. Sekarang sudah muncul jalan tol (berbayar) yang sebenarnya sudah
terjadi semenjak dahulu kala. Kini pun penggunaan narkoba ―yang di masa lalu
identik dengan ‘minum’ candu― meluas. Konflik tanah dan sosial masih terjadi.
Buku ―yang melibatkan setidaknya
121 sumber penulisan (referensi)― ini menarik, karena ia memberikan pencerahan
mengenai sejarah orang Cina di pulau Jawa dan stigma yang menempel pada mereka.
Hasil penelitian Peter Carey ini masih relevan mengingat keberadaan orang Cina
di masa ini masih tanda tanya. Apalagi sampai dijadikan “minoritas perantara”
dengan posisi politik yang lemah.
Harapannya,
jangan sampai semua hal yang sudah menjadi mimpi buruk sejarah itu terulang
lagi.
Daftar Isi
Bab 1―Pendahuluan
Bab 2―Latar Belakang Historis (Sekitar Tahun 1400-1800)
Bab 3―Orang Tionghoa di Berbagai Kerajaan Jawa Tengah
Pasca-Giyanti (Referensi Khusus pada 1808-1812)
Bab 4―Serangan Inggris ke Yogyakarta pada 20 Juni 1812 dan
Akibatnya
Bab 5―Pengelolaan Perdagangan Candu dan Gerbang Tol oleh
Orang Eropa (1812-1825) serta Dampak Sosial-Ekonominya
Bab 6―Rasa Antiasing dan jati Diri: Perubahan Sikap Orang
Jawa terhadap Orang Tionghoa selama Perang Jawa
Bab 7―Kesimpulan
Bibliografi
Judul:
Orang Cina, Bandar Tol, Candu, &
Perang Jawa; Perubahan Persepsi tentang Cina 1755-1825
Penulis:
Peter Carey
Tebal:
xxxiv+138 hlm.
Dimensi:
19x20 cm
Cetakan:
II, Juli 2015
ISBN:
978-602-9402-67-4
Penerbit:
Komunitas Bambu, Depok
0 Komentar