Istilah Nasional
dimasyarakatkan oleh Centraal Sjarikat Islam dalam National Congres Centraal
Sjarikat Islam Pertama di Bandung 1916. Namun mengapa yang dianggap paling
nasionalis adalah Soekarno dalam PNI-nya? Pun hari lahir KH. Achmad Dahlan tak
digunakan sebagai Hari Pendidikan karena telah ada Muhammadiyah 1912; malah Ki
Hajar Dewantoro dengan Taman Siswo-nya 1922 yang pada awalnya merupakan
perkumpulan Kebatinan Seloso Kliwon dinobatkan sebagai Hari Pendidikan
Nasional. Tanggal berdiri Budi Utomo dijadikan Hari Kebangkitan Nasional
padahal sampai pada kongres Budi Utomo 1928. Menurut AK. Pringgodigdo dalam “Sedjarah Pergerakan Rakjat Indonesia”,
Budi Utomo tetap menolak pelaksanaan cita-cita persatuan Indonesia.
Sjarikat Islam, NU,
Muhammadiyah, Persatuan Islam, Persatuan Ulama, Masyumi kemana?
Tanpa mengetahui latar
sejarahnya, generasi muda tak mampu menentukan arah juang dan semangat untuk
berjihad. Generasi modern menjadi terjangkit penyakit Wahn; cinta dunia dan takut mati.
Dalam QS. Al-Hasyr ayat
18 disebutkan, “Wahai orang-orang yang
beriman, bertakwalah kepada Alloh dan perhatikanlah sejarahmu untuk hari
esokmu. Dan bertakwalah kepada Alloh, sungguh Dia Mahateliti terhadap apa yang
kamu kerjakan.”
Bab
1–Pengaruh Kebangkitan Islam di Indonesia
Penamaan berbagai tempat
dan selat di Indonesia lazim dengan bahasa Arab, karena sudah sejak lama Islam
telah banyak melahirkan cendekiawan Muslim jauh sebelum Barat tampil sebagai
imperialis.
Adapun sistem pendidikan
umat Islam, disebut dengan madrasah. Karenanya dulu ada Madrasah Qurtubah di
Kordoba Spanyol, Madrasah Al-Azhar di Mesir, Madrasah Nizhomiyah.
Persinggungan yang kuat
dengan Islam, maka sampai muncullah kekuatan politik Islam seperti: Leran
Gresik, Samudra (Ahmad Mansur menulisnya dengan “Samodra”) Pasai, Aceh, Demak,
Mataram, Cirebon, Banten, Jayakarta, Sumedang, Pontianak, Ternate, Tidore,
Ambon, Malaka, Brunei, dan lain-lain.
Bab
2–Awal Masuk Perkembangan Agama Islam di Nusantara Indonesia
» Teori Gujarat dari Prof. Dr. C. Snouck Hurgronje (Orientalis
Belanda). Katanya tidak mungkin Islam masuk tanpa melalui ajaran tasawuf di
India. Dan daerah yang pertama dimasuki adalah Kesultanan Samodra Pasai pada
abad ke-13. Dr. Snouck tak mampu membedakan kapan Islam masuk dan kapan Islam
berkembang, kemudian mahzab apa yang sedang populer. Sungguh sangat lemah
pendapatnya ini.
» Teori Makkah menurut Prof. Dr. Hamka (Medan, 1963), didasarkan pada
berita Cina Dinasti T’ang; telah ada hunian bangsa Arab Islam di pantai Barat
Sumatera pada abad ke-7 Masehi.
» Teori Persia dari Prof. Dr. Abubakar Atjeh yang ikut pandangan Dr.
Hoesein Djajaningrat menuturkan Islam berasal dari Persia dan bermahzab Syi’ah.
Didasarkan pada sistem baca/sistem eja membaca huruf Al-Qur’an: Fat-hah= Jabar,
Kasroh= Je-er, Dhommah= Py-es.
» Teori Cina dari Prof. Dr. Slamet Muljana (1968) mengatakan, bahwa
Sultan Demak adalah peranakan Cina, dan bahkan Wali Songo juga merupakan
peranakan Cina. Didasarkan pada Kronik Klenteng Sam Po Kong yang menyebutkan
Sultan Demak Panembahan Fatah dengan Panembahan Jin Bun, Sultan Trenggono
dengan Tung Ka Lo, Sunan Ampel dengan Bong Swi Hoo, dan Sunan Gunung Jati dengan
Toh A Bo.
» Teori Maritim menurut N.A. Baloch sejarawan Pakistan. Disebutkan
bahwa Umat Islam telah memiliki navigator/mualim dan wirausaha Muslim yang
dinamis dalam penguasaan maritim dan pasar. Karena melalui aktivitas tersebut,
ajaran Islam mulai diperkenalkan di sepanjang laut niaga di pantai-pantai
tempat persinggahannya pada masa abad ke-1 Hijriyah/7 Masehi.
Bab
3–Peran Kekuasaan Politik Islam Melawan Imperialisme Barat
Wirausahawan Muslim yang
datang ke Indonesia tidak hanya sebatas bertindak sebagai pelaku pasar semata.
Namun juga pengaruh pasar juga mengakumulasi kebutuhan ekonominya dan dari
pasar tumbuh kebutuhan lain, yakni pendidikan generasi muda dan pesantren. Maka
lahirlah komunitas baru di tengah masyarakat Nusantara Indonesia yang antara lain:
1) Wirausahawan dari pasar dan bandar pelabuhan;
2) Ulama dari pesantren dan masjid serta pasar;
3) Santri dari masyarakat, putra sultan, dan putra
wirausahawan;
4) Perkembangan berikutnya komunitas ini, menuntut
dibentuknya pemerintahan atau kekuasaaan politik Islam atau Khilafah.
Pada abad ke-9 Masehi
telah terbentuk kekuasaan politik Islam di Aceh. Abad ke-11 Masehi telah
berdiri pula kekuasaan politik Islam di Leran Gresik, Jawa Timur, yang dibangun
oleh Fatimah Hibatoellah binti Maimoen jauh sebelum Keradjaan Hindoe Madjapahit
dibangun di Trowulan Mojokerto, Jawa Timur 1294 Masehi.
Perlawanan kekuasaan
politik Islam terhadap Barat adalah karena imperialisme mereka yang hendak
menjadikan rakyat Indonesia sebagai budak di tanah sendiri.
Muncul berbagai
perlawanan kekuasaan politik Islam seperti Kesultanan Demak dan Kesultanan Aceh
untuk merebut kembali Malaka (1512 M) yang telah direbut oleh Imperialis
Katolik Portoegis, Albuquerque (1511 M). Kesultanan Cirebon oleh Syarif
Hidayatulloh atau Sunan Gunung Jati (1527 M), Kesultanan Banten/Mataram oleh
Sultan Agung (1613-1645 M), Sultan Hasanuddin di Makasar (1653-1669 M),
Pangeran Diponegoro (1825-1830 M), Imam Bonjol di Sumatera Barat (1821-1837 M),
Sisingamangaradja XII (1872-1907 M).
Memasuki abad ke-20
(1900-1939 M) muncullah beberapa isme yang timbul pada masa kebangkitan
kesadaran nasional Indonesia yang di pelopori oleh Nasionalisme Islam diikuti
oleh isme kontranya:
1) Islamisme; memelopori
bangkitnya kesadaran nasionalisme Islam seperti Djamiatoel Choir, Al-Irsjad,
Sjarikat Dagang Islam, Sjarikat Islam, Persjarikatan Moehammadijah,
Persjarikatan Oelama, Matlaoel Anwar, Nahdlatoel Oelama, Nahdlatul Wathan,
Persatoean Moeslimin Indonesia dan Persatuan Islam;
2) Djawanisme,
Tradisionalisme, Kesoendenisme; Boedi Oetomo, Serikat Prijaji, Igama Djawa
Pasoendan, Seloso Kliwon-Taman Siswa;
3) Komunisme; Ide komunis
internasional yaitu Perserikatan Kommunist di India (PKI) diikuti ide komunis
nasional;
4) Marhaenisme;
Perserikatan Nasional Indonesia/PNI); dan
5) Kebangsaan
Sekuler;
Partai Indonesia Raja/Parindra, Gerakan Rakjat Indonesia/ Gerindo).
Bab
4–Peran Ulama dalam Gerakan Kebangkitan Kesadaran Nasional (1900-1942 M)
Kondisi penjajahan dan
penindasan yang telah dilakukan oleh Barat melahirkan pemahaman bagi rakyat
Indonesia bahwa Islam identik dengan kebangsaan atau nasionalisme, sedangkan
imperialisme atau penjajahan itu identik dengan kristenisasi. Oleh karena itu,
Islam menjadi Simbol Nasionalisme Bangsa Indonesia pada saat itu.
Sampai awal abad ke-20,
masyarakat Indonesia hanya mengenal huruf Arab Al-Qur’an, huruf Arab Melayu,
atau huruf daerah. Hal ini menunjukkan begitu kuatnya dampak pengaruh Ulama dan
Pesantren sebagai lembaga pencerdas bangsa.
Menurut Prof. Dr.
Sartono Kartodirdjo dalam “Pemberontakan
Petani Banten 1888”, disebutkan di pulau Jawa terdapat sekitar 300
pesantren. Kemudian kemasyhuran dan daya tarik nasional yang melekat pada
sebuah pesantren, sangat bergantung kepada reputasi gurunya. Ajaran pesantren
telah meniadakan rasa etnoregional dan menjadikan Islam sebagai simbol gerakan
nasional. Dengan kata lain, pengaruh ajaran ulama mengubah jiwa sukuisme atau
rasisme menjadi nasionalisme.
Sjarikat Dagang Islam
oleh para sejarawan Orde Lama dianggap sebagai pelopor Kebangkitan kembali
kesadaran Nasional Indonesia.
Hadji Samanhoedi
(1868-1956) melalui Sjarikat Dagang Islamnya telah berhasil membangun pondasi
yang kokoh untuk menjawab tantangan zamannya. Hal ini karena suatu perubahan
politik terjadi disebabkan pengaruh pasar. Hal demikian sekaligus merupakan
pengulangan kembali sejarah, dimana keberhasilan Islam masuk ke Nusantara dan
cepatnya proses perkembangannya karena penguasaan pasar dan pemasarannya.
Realitas sejarah tentang
adanya eksistensi kekuasaan politik Islam di Nusantara semenjak abad ke-9
hingga 20 Masehi digunakan oleh para ulama dan santri untuk menyadarkan kembali
kebangkitan politik umat Islam Indonesia. Hal ini dilakukan melalui pembentukan
organisasi modern sebagai wahana mobilitas dan mendinamisasi semangat juang
umat Islam Indonesia.
Organisasi modern
tersebut diantaranya Hadji Samanhoedi dengan Sjarikat Dagang Islam (SDI) 1905;
Oemar Said Tjokroaminoto dengan Sjarikat Islam 1912 yang sebelumnya telah
berdiri di Surakarta pada 1906; Sajid Al-Fachir bin Abdurrahman Al-Masjhoer
mencerdaskan umat melalui Djamiat Choir 1905; KH. Achmad Dahlan dengan
Persjarikatan Moehammadijah 1912; KH. Abdoel Halim dengan Persjarikatan Oelama
1915; K.H.M. Jasin dengan Mathlaul Anwar; Moehammad Joenoes bersama Hadji
Zamzam dengan Persatoean Islam 1923; KH. Hasjim Asjari dengan Nahdlatul Oelama
1926 dan masih banyak lagi.
Rapat Akbar Sjarikat
Islam di Surabaya (1913) menghasilkan keputusan didirikannya Centraal Sjarikat
Islam (CSI) di Surabaya, Yogyakarta, dan Bandung sebagai organisasi politik
dengan tuntutan politiknya adalah dengan mendirikan Pemerintahan sendiri atau
Indonesia Merdeka.
Hadji Oemar Said
Tjokroaminoto, Hadjie Agoes Salim, Abdoel Moeis, dan Wignjadisastra memelopori
istilah Nasional melalui National Congres Centraal Sjarikat Islam Pertama –1e
Natico di Gedung Concordia atau Gedung Merdeka Bandung (1916).
• National Congres
Centraal Sjarikat Islam Pertama (1e Natico) di Bandung dihadiri oleh 80
Sjarikat Islam lokal dengan anggota 860.000 orang.
• National Congres Centraal
Sjarikat Islam Kedua (2e Natico) di Jakarta dihadiri oleh 71 Sjarikat Islam
lokal dengan anggota 825.000 orang.
• National Congres
Centraal Sjarikat Islam Ketiga (3e Natico) di Surabaya dihadiri oleh 87
Sjarikat Islam lokal dengan anggota 450.000 orang.
• National Congres
Centraal Sjarikat Islam Keempat (4e Natico) di Surabaya dihadiri oleh 83
Sjarikat Islam lokal dengan anggota 2.500.000 orang.
National Congres
Centraal Sjarikat Islam di Madiun (1923) menghasilkan keputusan pemberlakuan
Disiplin Partai dan perubahan Sjarikat Islam menjadi Partai Sjarikat Islam.
Dengan demikian, Sjarikat Islam menjadi pelopor pertama pendirian Partai
Politik dari kalangan Pribumi disusul oleh PKI (1924) dan PNI (1928).
Antara 1905 sampai 1928,
di pulau Jawa dan Sumatera telah berdiri beberapa organisasi yang benar-benar
berakar di tengah masyarakat antara lain:
1. Sjarikat Dagang Islam pimpinan Hadji Samanhoedi
(1905) dan Sjarikat Islam (1906) kemudian pimpinannya diserahkan kepada Oemar
Said Tjokroaminoto di Surabaya pada tahun 1912.
2. Persjarikatan Moehammadijah pimpinan Kiai Hadji
Achmad Dahlan di Yogyakarta pada 1912.
3. Hajatoel Qoeloeb pada 1915 yang kemudian berubah
nama menjadi Persjarikatan Oelama pimpinan Kiai Hadji Abdoelhalim di Majalengka
(1917).
4. Djamiah Nahdlatul Wathon pimpinan Wahab
Chasboellah dan Mas Mansoer di Surabaya (1916), kemudian menjadi Djamiah
Nahdlatul Oelama pimpinan Rois Akbar K.H. Hasjim Asjari pada 1926.
5. Matlaoel Anwar pimpinan Hadji Mohammad Jasin di
Menes, setelah Nahdlatul Oelama berdiri 1926, namanya berubah menjadi Matlaoel
Anwar Lil Nahdlatul Oelama.
6. Persatoean Islam pimpinan Hadji Mohammad Joenoes
dan Hadji Zamzam pada 1923 di Bandung. Kelanjutannya A. Hassan dikenal sebagai
Guru Utama Persatuan Islam.
7. Jong Islamieten Bond (1925) pimpinan R.
Samsoeridjal dan pemimpin pemogokan buruh dari Centraal Sjarikat Islam.
Perlu diperhatikan bahwa
ke semua organisasi tersebut telah ada jauh sebelum adanya Soempah Pemoeda
(1928).
Untuk mengatasi keluasan
keretakan perbedaan masalah Fiqh furu’ dan khilafiyah, maka pada September 1937
diadakan Syuro di mushola Pontren Kebondalem Surabaya antara lain KH. Mas
Mansoer (Persjarikatan Moehammadijah); KH. Hasjim Asjari dan KH. Wahab
Chasboellah (Nahdlatul Oelama); W. Wondoamiseno (Partai Sjarikat Islam
Indonesia); dan KH. Achmad Dachlan (Pontren Kebondalem Surabaya). Dan atas
inisiatif dari KH. Hasjim Asjari dan para ulama serta pimpinan Partai Sjarikat
Islam Indonesia tersebut, terbentuklah Organisasi Madjlis Islam A’laa Indonesia
(M.I.A.I) pada 21 September 1937.
Adapun anggota Madjlis
Islam A’laa Indonesia (M.I.A.I) antara lain: Persjarikatan Moehammadijah,
Al-Irsjad, Partai Sarekat Islam Indonesia, Al-Islam (Solo), Al-Choiriyah
(Surabaya), Madjelis Oelama Indonesia (Toli-toli), Persatoean Moeslimin
(Minahasa), Persatoean Poetra Borneo (Surabaya), Persjarikatan Oelama Indonesia
(Majalengka), Al-Hidajatoel Islamijah (Banyuwangi).
Dan bertambah setelah
mengadakan Kongres Al-Islam Indonesia I di Surakarta (1939), yaitu: Nahdlatul
Oelama (N.O), Persatuan Islam (Persis), Partai Islam Indonesia (P.I.I), Partai
Arab Indonesia (P.A.I), Jong Islamiaten Bond (J.I.B), Al-Ittihadijatoel
Islamijah (A.I.I), Persatoean Oelama Seloeroeh Atjeh (P.Oe.S.A).
Untuk menandingi M.I.A.I
dan BAPEPPI (Badan Perantara Partai Politik Indonesia), maka Parindra (Partai
Indonesia Raja) mengadakan pertemuan di Gedoeng Pemoefakatan Batavia Mei 1939
dan terbentuklah GAPI (Gaboengan Politik Indonesia) dengan Abikoesno
Tjokrosoejoso dari Partai Sjarikat Islam Indonesia terpilih sebagai penulis
umum yang berarti juga Ketua Umum.
Kongres perdana GAPI
pada Desember 1939 di Gang Kanari, Jakarta berani memutuskan menuntut Indonesia
Berparlemen. Tuntutan ini seperti mengulang sejarah seperti yang telah
dilakukan oleh National Congres Centraal Sjarikat Islam di Bandung Juni 1916
yang menuntut Pemerintahan Sendiri dan Indonesia Berparlemen.
Dari seluruh paparan di
atas, sudah bisa terlihat dengan jelas betapa peran para ulama dan santri
begitu luar biasa atas kemerdekaan bangsa ini dan memperjuangkan Islam sebagai
dasarnya. Sehingga seorang E.F.E. Douewes Dekker Setiaboedhi menyatakan: “Jika tidak karena sikap dan semangat
perjuangan para ulama, sudah lama patriotisme di kalangan bangsa kita mengalami
kemusnahan.”
Buku yang ketebalannya
mencapai 586 halaman ini boleh dibilang sangat antusias untuk memaparkan
sejarah Islam Indonesia dari kemunculannya hingga tahun 1950. Fakta-fakta
lainnya dalam buku ini jarang ditemukan dalam buku-buku sejarah Islam Indonesia
sehingga cukup menggelitik untuk di telaah lebih jauh. Namun, referensi yang
dipakai sang penulis dalam menggunakan argumentasinya, memaksa kita untuk
berpikir dua kali untuk membantahnya.
Pembagian pembahasannya
yang memakai metode pembabakan waktu sejarah sangat tepat, sehingga terjadi
ketersinambungan antara satu Bab dengan Bab lainnya. Hal ini juga memudahkan
kita sebagai pembaca untuk memahami alur pergerakan sejarah Islam di Indonesia
Buku terbitan Salamadani
ini bisa dikatakan sebuah buku yang sempurna. Hanya saja, patut disayangkan,
buku ilmiah ini sedikit ternoda oleh ambisi sang penulis sendiri yang kentara
sekali ingin memunculkan istilah ulama dan santri. Kesan yang saya tangkap
bahwa yang dimaksud kaum Muslim dalam perjuangan pada zaman pra dan pasca
kemerdekaan hanyalah ulama dan santri. Tentu, hal itu mengecilkan kaum Muslim
sendiri yang notabene banyak kaum Muslim yang berada di luar dua kelompok itu.
Mestinya, dijelaskan terlebih dahulu apa yang dimaksud ulama dan santri itu.
Selain itu, beberapa hal
juga sedikit mengganggu dalam membaca buku ini, seperti di halaman 100 paragraf
kedua, mestinya di situ ditulis sunni bukan ahlush shunnah wal jamaaah, karena
dikontraskan dengan Syi’ah. Dalam hal penulisan, juga masih banyak ditemukan
kesalahan, seperti wirauswasta yang mungkin dimaksud adalah wiraswasta. Atau
penulisan Boedi Otomo yang mungkin dimaksudkan sebagai Boedi Oetomo.
Banyak fakta-fakta yang
diungkapkan oleh Ahmad Mansur yang ternyata jauh sekali dibandingkan pelajaran
Sejarah yang kita dapat di SMP dan SMA. Hal ini karena terjadinya deislamisasi
yang memang sengaja dilakukan oleh oknum-oknum Belanda. Yang tujuannya tentu
saja untuk membutakan kita dari sejarah kita.
Upaya deislamisasi pihak
Belanda terhadap Islam, masih resentator alami semasa kecil ketika
masjid-masjid kampung sengaja diletakkan di pinggir kampung dan dekat dengan
pemakaman agar siapa saja –Muslim– yang ingin ke masjid, akan dihinggapi rasa
takut karena keberadaan makam.
Sejarah itu tidak
seutuhnya bisa kita ketahui dengan pasti. Banyak orang yang menuliskan sejarah
dengan versi yang berbeda-beda.
Buku ini layak di
apresiasi sekaligus diuji fakta-fakta yang disajikan. Tentunya bukan mencari
siapa yang benar dan salah. Lebih penting adalah meletakkan fakta-fakta sejarah
secara proporsional agar api semangat dan cita-cita luhur para pahlawan terus
dilanjutkan untuk kejayaan Indonesia. Oleh karena itu, akan sangat rugi bagi
Anda yang tidak mencoba untuk membaca buku ini.
Judul: Api Sejarah (1)
Penulis: Ahmad Mansur
Suryanegara
Tebal: xxx+586 hlm.
Dimensi: 17x25 cm
Cetakan: VI, Juli 2013
ISBN: 978-602-84-5897-9
Penerbit: Salamadani,
Bandung
0 Komentar