Resensi: Api Sejarah 1

Dalam pelajaran sejarah di sekolah, kita dapatkan sejarah Islam masuk ke Indonesia adalah pada masa abad ke-13. Namun menurut K.R.H. Abdulloh bin Nuh adalah pada abad ke-7 M dalam Sejarah Islam di Jawa Barat hingga Zaman Keemasan Banten. Hubungan pedagang Indonesia dengan pedagang Arab, asimilasi kepercayaan dan budaya, membangun kekuatan politik Islam.

Istilah Nasional dimasyarakatkan oleh Centraal Sjarikat Islam dalam National Congres Centraal Sjarikat Islam Pertama di Bandung 1916. Namun mengapa yang dianggap paling nasionalis adalah Soekarno dalam PNI-nya? Pun hari lahir KH. Achmad Dahlan tak digunakan sebagai Hari Pendidikan karena telah ada Muhammadiyah 1912; malah Ki Hajar Dewantoro dengan Taman Siswo-nya 1922 yang pada awalnya merupakan perkumpulan Kebatinan Seloso Kliwon dinobatkan sebagai Hari Pendidikan Nasional. Tanggal berdiri Budi Utomo dijadikan Hari Kebangkitan Nasional padahal sampai pada kongres Budi Utomo 1928. Menurut AK. Pringgodigdo dalam “Sedjarah Pergerakan Rakjat Indonesia”, Budi Utomo tetap menolak pelaksanaan cita-cita persatuan Indonesia.

Sjarikat Islam, NU, Muhammadiyah, Persatuan Islam, Persatuan Ulama, Masyumi kemana?

Tanpa mengetahui latar sejarahnya, generasi muda tak mampu menentukan arah juang dan semangat untuk berjihad. Generasi modern menjadi terjangkit penyakit Wahn; cinta dunia dan takut mati.

Dalam QS. Al-Hasyr ayat 18 disebutkan, “Wahai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Alloh dan perhatikanlah sejarahmu untuk hari esokmu. Dan bertakwalah kepada Alloh, sungguh Dia Mahateliti terhadap apa yang kamu kerjakan.”

Bab 1–Pengaruh Kebangkitan Islam di Indonesia
Penamaan berbagai tempat dan selat di Indonesia lazim dengan bahasa Arab, karena sudah sejak lama Islam telah banyak melahirkan cendekiawan Muslim jauh sebelum Barat tampil sebagai imperialis.

Adapun sistem pendidikan umat Islam, disebut dengan madrasah. Karenanya dulu ada Madrasah Qurtubah di Kordoba Spanyol, Madrasah Al-Azhar di Mesir, Madrasah Nizhomiyah.

Persinggungan yang kuat dengan Islam, maka sampai muncullah kekuatan politik Islam seperti: Leran Gresik, Samudra (Ahmad Mansur menulisnya dengan “Samodra”) Pasai, Aceh, Demak, Mataram, Cirebon, Banten, Jayakarta, Sumedang, Pontianak, Ternate, Tidore, Ambon, Malaka, Brunei, dan lain-lain.

Bab 2–Awal Masuk Perkembangan Agama Islam di Nusantara Indonesia
» Teori Gujarat dari Prof. Dr. C. Snouck Hurgronje (Orientalis Belanda). Katanya tidak mungkin Islam masuk tanpa melalui ajaran tasawuf di India. Dan daerah yang pertama dimasuki adalah Kesultanan Samodra Pasai pada abad ke-13. Dr. Snouck tak mampu membedakan kapan Islam masuk dan kapan Islam berkembang, kemudian mahzab apa yang sedang populer. Sungguh sangat lemah pendapatnya ini.

» Teori Makkah menurut Prof. Dr. Hamka (Medan, 1963), didasarkan pada berita Cina Dinasti T’ang; telah ada hunian bangsa Arab Islam di pantai Barat Sumatera pada abad ke-7 Masehi.

» Teori Persia dari Prof. Dr. Abubakar Atjeh yang ikut pandangan Dr. Hoesein Djajaningrat menuturkan Islam berasal dari Persia dan bermahzab Syi’ah. Didasarkan pada sistem baca/sistem eja membaca huruf Al-Qur’an: Fat-hah= Jabar, Kasroh= Je-er, Dhommah= Py-es.

» Teori Cina dari Prof. Dr. Slamet Muljana (1968) mengatakan, bahwa Sultan Demak adalah peranakan Cina, dan bahkan Wali Songo juga merupakan peranakan Cina. Didasarkan pada Kronik Klenteng Sam Po Kong yang menyebutkan Sultan Demak Panembahan Fatah dengan Panembahan Jin Bun, Sultan Trenggono dengan Tung Ka Lo, Sunan Ampel dengan Bong Swi Hoo, dan Sunan Gunung Jati dengan Toh A Bo.

» Teori Maritim menurut N.A. Baloch sejarawan Pakistan. Disebutkan bahwa Umat Islam telah memiliki navigator/mualim dan wirausaha Muslim yang dinamis dalam penguasaan maritim dan pasar. Karena melalui aktivitas tersebut, ajaran Islam mulai diperkenalkan di sepanjang laut niaga di pantai-pantai tempat persinggahannya pada masa abad ke-1 Hijriyah/7 Masehi.

Bab 3–Peran Kekuasaan Politik Islam Melawan Imperialisme Barat
Wirausahawan Muslim yang datang ke Indonesia tidak hanya sebatas bertindak sebagai pelaku pasar semata. Namun juga pengaruh pasar juga mengakumulasi kebutuhan ekonominya dan dari pasar tumbuh kebutuhan lain, yakni pendidikan generasi muda dan pesantren. Maka lahirlah komunitas baru di tengah masyarakat Nusantara Indonesia yang antara lain:
1) Wirausahawan dari pasar dan bandar pelabuhan;
2) Ulama dari pesantren dan masjid serta pasar;
3) Santri dari masyarakat, putra sultan, dan putra wirausahawan;
4) Perkembangan berikutnya komunitas ini, menuntut dibentuknya pemerintahan atau kekuasaaan politik Islam atau Khilafah.

Pada abad ke-9 Masehi telah terbentuk kekuasaan politik Islam di Aceh. Abad ke-11 Masehi telah berdiri pula kekuasaan politik Islam di Leran Gresik, Jawa Timur, yang dibangun oleh Fatimah Hibatoellah binti Maimoen jauh sebelum Keradjaan Hindoe Madjapahit dibangun di Trowulan Mojokerto, Jawa Timur 1294 Masehi.

Perlawanan kekuasaan politik Islam terhadap Barat adalah karena imperialisme mereka yang hendak menjadikan rakyat Indonesia sebagai budak di tanah sendiri.

Muncul berbagai perlawanan kekuasaan politik Islam seperti Kesultanan Demak dan Kesultanan Aceh untuk merebut kembali Malaka (1512 M) yang telah direbut oleh Imperialis Katolik Portoegis, Albuquerque (1511 M). Kesultanan Cirebon oleh Syarif Hidayatulloh atau Sunan Gunung Jati (1527 M), Kesultanan Banten/Mataram oleh Sultan Agung (1613-1645 M), Sultan Hasanuddin di Makasar (1653-1669 M), Pangeran Diponegoro (1825-1830 M), Imam Bonjol di Sumatera Barat (1821-1837 M), Sisingamangaradja XII (1872-1907 M).

Memasuki abad ke-20 (1900-1939 M) muncullah beberapa isme yang timbul pada masa kebangkitan kesadaran nasional Indonesia yang di pelopori oleh Nasionalisme Islam diikuti oleh isme kontranya:
1) Islamisme; memelopori bangkitnya kesadaran nasionalisme Islam seperti Djamiatoel Choir, Al-Irsjad, Sjarikat Dagang Islam, Sjarikat Islam, Persjarikatan Moehammadijah, Persjarikatan Oelama, Matlaoel Anwar, Nahdlatoel Oelama, Nahdlatul Wathan, Persatoean Moeslimin Indonesia dan Persatuan Islam;
2) Djawanisme, Tradisionalisme, Kesoendenisme; Boedi Oetomo, Serikat Prijaji, Igama Djawa Pasoendan, Seloso Kliwon-Taman Siswa;
3) Komunisme; Ide komunis internasional yaitu Perserikatan Kommunist di India (PKI) diikuti ide komunis nasional;
4) Marhaenisme; Perserikatan Nasional Indonesia/PNI); dan
5) Kebangsaan Sekuler; Partai Indonesia Raja/Parindra, Gerakan Rakjat Indonesia/ Gerindo).

Bab 4–Peran Ulama dalam Gerakan Kebangkitan Kesadaran Nasional (1900-1942 M)
Kondisi penjajahan dan penindasan yang telah dilakukan oleh Barat melahirkan pemahaman bagi rakyat Indonesia bahwa Islam identik dengan kebangsaan atau nasionalisme, sedangkan imperialisme atau penjajahan itu identik dengan kristenisasi. Oleh karena itu, Islam menjadi Simbol Nasionalisme Bangsa Indonesia pada saat itu.

Sampai awal abad ke-20, masyarakat Indonesia hanya mengenal huruf Arab Al-Qur’an, huruf Arab Melayu, atau huruf daerah. Hal ini menunjukkan begitu kuatnya dampak pengaruh Ulama dan Pesantren sebagai lembaga pencerdas bangsa.

Menurut Prof. Dr. Sartono Kartodirdjo dalam “Pemberontakan Petani Banten 1888”, disebutkan di pulau Jawa terdapat sekitar 300 pesantren. Kemudian kemasyhuran dan daya tarik nasional yang melekat pada sebuah pesantren, sangat bergantung kepada reputasi gurunya. Ajaran pesantren telah meniadakan rasa etnoregional dan menjadikan Islam sebagai simbol gerakan nasional. Dengan kata lain, pengaruh ajaran ulama mengubah jiwa sukuisme atau rasisme menjadi nasionalisme.

Sjarikat Dagang Islam oleh para sejarawan Orde Lama dianggap sebagai pelopor Kebangkitan kembali kesadaran Nasional Indonesia.

Hadji Samanhoedi (1868-1956) melalui Sjarikat Dagang Islamnya telah berhasil membangun pondasi yang kokoh untuk menjawab tantangan zamannya. Hal ini karena suatu perubahan politik terjadi disebabkan pengaruh pasar. Hal demikian sekaligus merupakan pengulangan kembali sejarah, dimana keberhasilan Islam masuk ke Nusantara dan cepatnya proses perkembangannya karena penguasaan pasar dan pemasarannya.

Realitas sejarah tentang adanya eksistensi kekuasaan politik Islam di Nusantara semenjak abad ke-9 hingga 20 Masehi digunakan oleh para ulama dan santri untuk menyadarkan kembali kebangkitan politik umat Islam Indonesia. Hal ini dilakukan melalui pembentukan organisasi modern sebagai wahana mobilitas dan mendinamisasi semangat juang umat Islam Indonesia.

Organisasi modern tersebut diantaranya Hadji Samanhoedi dengan Sjarikat Dagang Islam (SDI) 1905; Oemar Said Tjokroaminoto dengan Sjarikat Islam 1912 yang sebelumnya telah berdiri di Surakarta pada 1906; Sajid Al-Fachir bin Abdurrahman Al-Masjhoer mencerdaskan umat melalui Djamiat Choir 1905; KH. Achmad Dahlan dengan Persjarikatan Moehammadijah 1912; KH. Abdoel Halim dengan Persjarikatan Oelama 1915; K.H.M. Jasin dengan Mathlaul Anwar; Moehammad Joenoes bersama Hadji Zamzam dengan Persatoean Islam 1923; KH. Hasjim Asjari dengan Nahdlatul Oelama 1926 dan masih banyak lagi.

Rapat Akbar Sjarikat Islam di Surabaya (1913) menghasilkan keputusan didirikannya Centraal Sjarikat Islam (CSI) di Surabaya, Yogyakarta, dan Bandung sebagai organisasi politik dengan tuntutan politiknya adalah dengan mendirikan Pemerintahan sendiri atau Indonesia Merdeka.

Hadji Oemar Said Tjokroaminoto, Hadjie Agoes Salim, Abdoel Moeis, dan Wignjadisastra memelopori istilah Nasional melalui National Congres Centraal Sjarikat Islam Pertama –1e Natico di Gedung Concordia atau Gedung Merdeka Bandung (1916).

• National Congres Centraal Sjarikat Islam Pertama (1e Natico) di Bandung dihadiri oleh 80 Sjarikat Islam lokal dengan anggota 860.000 orang.
• National Congres Centraal Sjarikat Islam Kedua (2e Natico) di Jakarta dihadiri oleh 71 Sjarikat Islam lokal dengan anggota 825.000 orang.
• National Congres Centraal Sjarikat Islam Ketiga (3e Natico) di Surabaya dihadiri oleh 87 Sjarikat Islam lokal dengan anggota 450.000 orang.
• National Congres Centraal Sjarikat Islam Keempat (4e Natico) di Surabaya dihadiri oleh 83 Sjarikat Islam lokal dengan anggota 2.500.000 orang.

National Congres Centraal Sjarikat Islam di Madiun (1923) menghasilkan keputusan pemberlakuan Disiplin Partai dan perubahan Sjarikat Islam menjadi Partai Sjarikat Islam. Dengan demikian, Sjarikat Islam menjadi pelopor pertama pendirian Partai Politik dari kalangan Pribumi disusul oleh PKI (1924) dan PNI (1928).

Antara 1905 sampai 1928, di pulau Jawa dan Sumatera telah berdiri beberapa organisasi yang benar-benar berakar di tengah masyarakat antara lain:
1.  Sjarikat Dagang Islam pimpinan Hadji Samanhoedi (1905) dan Sjarikat Islam (1906) kemudian pimpinannya diserahkan kepada Oemar Said Tjokroaminoto di Surabaya pada tahun 1912.
2.  Persjarikatan Moehammadijah pimpinan Kiai Hadji Achmad Dahlan di Yogyakarta pada 1912.
3.  Hajatoel Qoeloeb pada 1915 yang kemudian berubah nama menjadi Persjarikatan Oelama pimpinan Kiai Hadji Abdoelhalim di Majalengka (1917).
4.  Djamiah Nahdlatul Wathon pimpinan Wahab Chasboellah dan Mas Mansoer di Surabaya (1916), kemudian menjadi Djamiah Nahdlatul Oelama pimpinan Rois Akbar K.H. Hasjim Asjari pada 1926.
5.  Matlaoel Anwar pimpinan Hadji Mohammad Jasin di Menes, setelah Nahdlatul Oelama berdiri 1926, namanya berubah menjadi Matlaoel Anwar Lil Nahdlatul Oelama.
6.  Persatoean Islam pimpinan Hadji Mohammad Joenoes dan Hadji Zamzam pada 1923 di Bandung. Kelanjutannya A. Hassan dikenal sebagai Guru Utama Persatuan Islam.
7.  Jong Islamieten Bond (1925) pimpinan R. Samsoeridjal dan pemimpin pemogokan buruh dari Centraal Sjarikat Islam.

Perlu diperhatikan bahwa ke semua organisasi tersebut telah ada jauh sebelum adanya Soempah Pemoeda (1928).

Untuk mengatasi keluasan keretakan perbedaan masalah Fiqh furu’ dan khilafiyah, maka pada September 1937 diadakan Syuro di mushola Pontren Kebondalem Surabaya antara lain KH. Mas Mansoer (Persjarikatan Moehammadijah); KH. Hasjim Asjari dan KH. Wahab Chasboellah (Nahdlatul Oelama); W. Wondoamiseno (Partai Sjarikat Islam Indonesia); dan KH. Achmad Dachlan (Pontren Kebondalem Surabaya). Dan atas inisiatif dari KH. Hasjim Asjari dan para ulama serta pimpinan Partai Sjarikat Islam Indonesia tersebut, terbentuklah Organisasi Madjlis Islam A’laa Indonesia (M.I.A.I) pada 21 September 1937.

Adapun anggota Madjlis Islam A’laa Indonesia (M.I.A.I) antara lain: Persjarikatan Moehammadijah, Al-Irsjad, Partai Sarekat Islam Indonesia, Al-Islam (Solo), Al-Choiriyah (Surabaya), Madjelis Oelama Indonesia (Toli-toli), Persatoean Moeslimin (Minahasa), Persatoean Poetra Borneo (Surabaya), Persjarikatan Oelama Indonesia (Majalengka), Al-Hidajatoel Islamijah (Banyuwangi).

Dan bertambah setelah mengadakan Kongres Al-Islam Indonesia I di Surakarta (1939), yaitu: Nahdlatul Oelama (N.O), Persatuan Islam (Persis), Partai Islam Indonesia (P.I.I), Partai Arab Indonesia (P.A.I), Jong Islamiaten Bond (J.I.B), Al-Ittihadijatoel Islamijah (A.I.I), Persatoean Oelama Seloeroeh Atjeh (P.Oe.S.A).

Untuk menandingi M.I.A.I dan BAPEPPI (Badan Perantara Partai Politik Indonesia), maka Parindra (Partai Indonesia Raja) mengadakan pertemuan di Gedoeng Pemoefakatan Batavia Mei 1939 dan terbentuklah GAPI (Gaboengan Politik Indonesia) dengan Abikoesno Tjokrosoejoso dari Partai Sjarikat Islam Indonesia terpilih sebagai penulis umum yang berarti juga Ketua Umum.

Kongres perdana GAPI pada Desember 1939 di Gang Kanari, Jakarta berani memutuskan menuntut Indonesia Berparlemen. Tuntutan ini seperti mengulang sejarah seperti yang telah dilakukan oleh National Congres Centraal Sjarikat Islam di Bandung Juni 1916 yang menuntut Pemerintahan Sendiri dan Indonesia Berparlemen.

Dari seluruh paparan di atas, sudah bisa terlihat dengan jelas betapa peran para ulama dan santri begitu luar biasa atas kemerdekaan bangsa ini dan memperjuangkan Islam sebagai dasarnya. Sehingga seorang E.F.E. Douewes Dekker Setiaboedhi menyatakan: “Jika tidak karena sikap dan semangat perjuangan para ulama, sudah lama patriotisme di kalangan bangsa kita mengalami kemusnahan.”

Buku yang ketebalannya mencapai 586 halaman ini boleh dibilang sangat antusias untuk memaparkan sejarah Islam Indonesia dari kemunculannya hingga tahun 1950. Fakta-fakta lainnya dalam buku ini jarang ditemukan dalam buku-buku sejarah Islam Indonesia sehingga cukup menggelitik untuk di telaah lebih jauh. Namun, referensi yang dipakai sang penulis dalam menggunakan argumentasinya, memaksa kita untuk berpikir dua kali untuk membantahnya.

Pembagian pembahasannya yang memakai metode pembabakan waktu sejarah sangat tepat, sehingga terjadi ketersinambungan antara satu Bab dengan Bab lainnya. Hal ini juga memudahkan kita sebagai pembaca untuk memahami alur pergerakan sejarah Islam di Indonesia

Buku terbitan Salamadani ini bisa dikatakan sebuah buku yang sempurna. Hanya saja, patut disayangkan, buku ilmiah ini sedikit ternoda oleh ambisi sang penulis sendiri yang kentara sekali ingin memunculkan istilah ulama dan santri. Kesan yang saya tangkap bahwa yang dimaksud kaum Muslim dalam perjuangan pada zaman pra dan pasca kemerdekaan hanyalah ulama dan santri. Tentu, hal itu mengecilkan kaum Muslim sendiri yang notabene banyak kaum Muslim yang berada di luar dua kelompok itu. Mestinya, dijelaskan terlebih dahulu apa yang dimaksud ulama dan santri itu.

Selain itu, beberapa hal juga sedikit mengganggu dalam membaca buku ini, seperti di halaman 100 paragraf kedua, mestinya di situ ditulis sunni bukan ahlush shunnah wal jamaaah, karena dikontraskan dengan Syi’ah. Dalam hal penulisan, juga masih banyak ditemukan kesalahan, seperti wirauswasta yang mungkin dimaksud adalah wiraswasta. Atau penulisan Boedi Otomo yang mungkin dimaksudkan sebagai Boedi Oetomo.

Banyak fakta-fakta yang diungkapkan oleh Ahmad Mansur yang ternyata jauh sekali dibandingkan pelajaran Sejarah yang kita dapat di SMP dan SMA. Hal ini karena terjadinya deislamisasi yang memang sengaja dilakukan oleh oknum-oknum Belanda. Yang tujuannya tentu saja untuk membutakan kita dari sejarah kita.

Upaya deislamisasi pihak Belanda terhadap Islam, masih resentator alami semasa kecil ketika masjid-masjid kampung sengaja diletakkan di pinggir kampung dan dekat dengan pemakaman agar siapa saja –Muslim– yang ingin ke masjid, akan dihinggapi rasa takut karena keberadaan makam.

Sejarah itu tidak seutuhnya bisa kita ketahui dengan pasti. Banyak orang yang menuliskan sejarah dengan versi yang berbeda-beda.

Buku ini layak di apresiasi sekaligus diuji fakta-fakta yang disajikan. Tentunya bukan mencari siapa yang benar dan salah. Lebih penting adalah meletakkan fakta-fakta sejarah secara proporsional agar api semangat dan cita-cita luhur para pahlawan terus dilanjutkan untuk kejayaan Indonesia. Oleh karena itu, akan sangat rugi bagi Anda yang tidak mencoba untuk membaca buku ini.

Judul: Api Sejarah (1)
Penulis: Ahmad Mansur Suryanegara
Tebal: xxx+586 hlm.
Dimensi: 17x25 cm
Cetakan: VI, Juli 2013
ISBN: 978-602-84-5897-9

Penerbit: Salamadani, Bandung

Posting Komentar

0 Komentar