Resensi: Muhammad dan Yahudi

Israel adalah nama sebuah negara yang terletak di Timur Tengah. Negara ini lahir pada 14 Mei 1948 yang diproklamirkan oleh David Ben Gurion. Tapi Israel yang juga disebut secara bergantian dengan Yahudi adalah juga nama suatu etnis dari anak turun Nabi Ibrohim. Meskipun menurut Al-Quran, Nabi Ibrohim sendiri sebenarnya bukanlah seorang Yahudi maupun Nasrani (QS. Ali Imron: 67).

Dalam sejarahnya, Bani Isroil telah mengalami banyak Nabi. Asal-usul Israel sendiri bisa dirunut dari Nabi Ibrohim dengan istri pertamanya, Saroh, yang dikaruniai seorang putra bernama Ishaq. Nabi Ishaq mempunyai putra yang juga Nabi, bernama Ya’qub. Sebagai Nabi, Ya’qub dikenal sangat sholih dan ia selalu taat pada Tuhannya. Agaknya, dari sinilah muncul nama Isroil/Israel yang diperuntukkan buat Nabi Ya’qub. Karena itu, anak keturunan Ya’qub −yang nantinya juga melahirkan para Nabi− dikenal dengan sebutan Bani Isroil. Dalam perjalanan sejarah berikutnya, para Nabi yang berasal dari etnis Yahudi itu tercatat nama-nama seperti Nabi Yusuf, Harun, Musa, Daud, dan Isa. Meskipun demikian, orang-orang Yahudi selalu membuat ulah pada para Nabinya. Dengan Nabi Musa pun mereka tak segan-segan untuk menentangnya. Bahkan Harun, saudara Musa, dibunuh oleh mereka. Begitu pula dengan Nabi Isa yang akhirnya mereka membunuh −padahal Isa diangkat oleh Alloh dan diganti dengan salah seorang dari mereka. Dengan Nabi Muhammad, mereka juga tak menunjukkan persahabatannya, meski mereka tahu akan tanda-tanda orang yang dinantikan itu. Mengapa? Karena Muhammad bukanlah dari golongan mereka. Ya. Muhammad memang bukan dari etnis Yahudi. Muhammad adalah seorang Arab. Dan karena orang-orang Yahudi merasa sebagai The Chosen People; manusia pilihan, mereka merasa lebih tinggi dari orang-orang Arab, bahkan dengan bangsa-bangsa lain di muka bumi ini.

Boleh jadi dengan menganggap dirinya sebagai manusia pilihan, orang-orang Yahudi terjebak pada kecongkakan yang menjerat. Jangankan dengan ajaran Muhammad yang terlahir sebagai orang Arab, dengan Isa yang terlahir dari kalangan mereka pun ternyata tak mendapat tempat sebagaimana mestinya.

Kecongkakannya itulah yang akhirnya membuat banyak orang −di luar etnis Yahudi tentunya− memusuhi kaum Yahudi. Dalam sejarahnya, pada tahun 721 SM, bangsa Yahudi diserang oleh bangsa Assyria. Dan kerajaan Israel yang berpusat di Samaria pun jatuh ke tangan Assyria. Tahun 606 SM, Yerusalem dihancurkan oleh Nebukadnezar dari Babylonia. Orang-orang Yahudi akhirnya terpaksa jadi anak jajahan dan dijadikan budak, sebagian dibuang dan berserakan ke berbagai Negara. Ketika pada tahun 539 SM, kerajaan Persia berhasil menaklukkan Babylonia. Orang-orang Yahudi sedikit bisa bernafas lega. Oleh kaisar Persia, orang-orang Yahudi yang hidup di pengasingan boleh kembali ke Palestina.

Perjalanan sejarah bangsa Yahudi memang berpindah-pindah. Ketika pada 330 SM, Iskandar Agung dari Macedonia berhasil menaklukkan Raja Persia, Darius III, anak-anak Yahudi bergantian tuan, bangsa Yunani. Tapi tak lama. Sebab ketika Iskandar Agung wafat 300 SM, Palestina berada di bawah pengawasan Mesir. Hal ini terjadi setelah bangsa Assyria berkuasa dan menguasainya kembali. Kondisi ini berjalan sampai satu abad lamanya.

Tapi etnis Yahudi memang dikenal cerdik memanfaatkan peluang. Ketika peluang dirasa ada, maka pada tahun 142 SM, orang-orang Yahudi mengadakan pemberontakan dan berhasil merebut kekuasaan dari bangsa Assyria. Tapi hanya berlangsung satu generasi. Sebab ketika tahun 63 SM, bangsa Romawi berhasil merebut Palestina dan menguasainya sampai tahun 640 M. Pada tahun 135 M, Bar Kokhba −pemimpin orang-orang Yahudi merebut kemerdekaan. Ini adalah kali ketiga mereka merebut kekuasaan dari tangan tentara pendudukan Roma. Gagal. Satuan tempur dan gerilyawan Yahudi dibumihanguskan oleh tentara Romawi yang terkenal tangguh di zamannya itu. Sejak saat itulah −menurut Max I Dimont− bangsa Yahudi tidaklah memiliki Angkatan Bersenjata sendiri. Bangsa Yahudi pun porak-poranda menyebar ke berbagai Negara, baik ke timur maupun ke barat. Di Palestina hanya dimukimi oleh kaum bumiputeranya sendiri.

Tapi bangsa Yahudi tak kehilangan akal. Mereka terus bergerak dengan misi zionismenya yang dipelopori oleh Theodore Herzl (1860-1904), seorang wartawan yang besar di Jerman. Dan pada tahun 1897 di Basel, Switzerland, diselenggarakan kongres Zionis Pertama. Saat itulah dengan retorikanya yang menggebu-gebu, Herzl memproklamirkan agar negara Yahudi segera direalisir. Bisa dipahami. Sebab setahun sebelumnya, 1896, hasil menulis buku Der Judenstaat (Negara Yahudi).

Lalu terjadilah gelombang migrasi kaum Yahudi dari penjuru dunia. Tujuannya hanya satu: kembali ke Zion; ke negara −menurut mereka− asal di wilayah Palestina. Gelombang pertama terjadi pada tahun 1900 dan proses migrasi berjalan terus sampai Inggris meninggalkan Palestina (14 Mei 1948) dan Yahudi mengambil alih kekuasaan. Orang-orang Palestina mulai digusur dan akhirnya terusir dari tanah leluhurnya. Pertempuran pun terjadi dengan dahsyat antara tentara Yahudi dengan tentara-tentara Arab.

Perjuangan Palestina tampaknya tak bisa selamanya menggantungkan pada negara-negara Arab saja. Hal itu disadari betul oleh para pemimpin Palestina di pengungsian. Karena itu, pada tahun 964, para pemimpin negara-negara Arab dan Palestina di pengungsian memutuskan untuk membentuk Palestine Liberation Organization (PLO). Perjuangan terus melaju dengan lika-likunya. Pada November 1988, Yasser Arafat melalui Dewan Nasional Palestina mengumumkan negara Palestina Merdeka yang dipusatkan di Tepi Barat. Dengan langkah ini, akhirnya PLO telah menerima resolusi PBB nomor 242, yaitu mengakui kedaulatan Israel. Perjuangan yang panjang tersebut membuahkan hasil, meski jauh dari yang semestinya. Ketika pada akhir 1993 lalu, Israel memberikan otonomi di Jericho dan Gaza yang tandus. Tapi barangkali inilah pilihan terbaik diantara kepahitan yang diderita oleh bumi Palestina. Sebab setelah Perang Teluk pada tahun 1991 itu, negara-negara Arab terpecah-pecah. Dampaknya −baik secara politis maupun finansial− sangat tidak menguntungkan perjuangan rakyat Palestina. Diterimanya Jericho dan Gaza, agaknya telah membuat bangsa Palestina berfikir realistis. Meskipun pandangan ini masih sangat ditentang oleh kelompok garis keras bangsa Palestina yang tergabung dalam gerakan Intifadhoh di Tepi Barat dan Hamas di Jalur Gaza. Apakah bangsa Palestina berhasil mengelola Jericho dan Gaza? Sejarahlah yang bakal mengujinya.

Persoalannya kemudian, Apakah orang-orang Yahudi telah ikhlas melepas Jericho dan Gaza? Sebagaimana sejarah telah menunjukkan pada kita, bahwa ada Yahudi yang baik tapi tidak sedikit yang masih merasa sebagai etnis pilihan’. Dan karena itu, menimbulkan kecongkakan yang tiada taranya. Padahal dalam pandangan Alloh, kemuliaan seseorang tidak ditentukan oleh etnisnya, tapi dari taqwanya (QS. Al-Hujurot: 13). Dan orang-orang Yahudi yang beriman dan beramal sholih juga akan mendapat pahala dari Alloh (QS. Al-Baqoroh: 62; Al-Maidah: 69). Jelaslah bahwa Alloh tidak akan memandang asal-usul, tapi kualitas taqwa, iman, dan amal sholih yang akan menjadi parameter untuk menilai seseorang berbuat baik atau sebaliknya. Itulah sebabnya, sebenarnya tidak ada alasan bagi orang-orang Yahudi merasa sebagai etnis pilihan di antara etnis-etnis yang ada di dunia ini.

Di atas langit masih ada langit, begitu kata pepatah. Sepandai pandainya seseorang, masih ada yang lebih pandai. Sebaik-baiknya seseorang, masih ada yang lebih baik. Karena itu, tidak ada alasan untuk bertindak atau berlagak sombong.

Kesombongan dalam sejarahnya telah banyak membawa malapetaka. Lihatlah bagaimana nasib orang-orang Yahudi di zaman Fir’aun. Sang Maharaja ini telah ikut menanam saham penyebaran etnis Yahudi, yakni ketika ia memerintahkan untuk membunuh anak-anak lelaki yang lahir dan membiarkan anak-anak perempuan. Perintah Firaun itu ternyata banyak membuat orang-orang Yahudi keluar dari Mesir dan menetap di negara-negara di luar wilayah kekuasaan Firaun.

Hanya sebagian kecil saja anak-anak lelaki yang bisa selamat saat itu, salah satunya adalah Musa yang akhirnya diutus oleh Alloh untuk membimbing kaumnya. Dengan kepandaian dan kekuatan Musa yang tiada taranya, toh ia masih juga dipermainkan oleh kaumnya yang terkenal licik, keji, dan congkak itu.

Di awal Perang Dunia II, etnis Yahudi diburu dan dibantai oleh Hitler dari Jerman. Agaknya Hitler yang beretnis Aria itu merasa lebih baik memimpin dunia dibanding dengan orang-orang Yahudi yang menguasai perekonomian di berbagai negara yang mereka tempati. Dengan ideologi Nazi-nya itulah Hitler membantai orang-orang Yahudi, baik yang ada di Jerman maupun negara-negara Eropa lainnya. Apa yang dilakukan oleh Hitler itu ternyata semakin menumbuhkembangkan semangat orang-orang Yahudi di pelosok dunia untuk kembali ke Erezt Israel −tempat Israel kini.

Tapi persoalannya adalah orang-orang Yahudi itu kembali dengan cara mengusir, membunuh, dan membantai penduduk asli Palestina. Sudah tak terhitung jumlah orang Palestina yang syahid, bahkan kekejaman orang-orang Yahudi terhadap pribumi posisinya jauh lebih dahsyat dibanding dengan apa yang telah dilakukan oleh Hitler. Bayangkan anak-anak Palestina yang melempari tentara Yahudi dengan batu dan ketapel, disambut dengan berondongan senapan mesin. Bahkan bila ada keluarganya yang membela dan melawan, akan mengalami nasib yang sama. Hidup pribumi Palestina di bumi pertiwinya ternyata mengalami nasib tragis yang jauh dari nilai-nilai kemanusiaan yang hakiki. Dan yang lebih tragis lagi adalah ternyata dunia tak mampu menghentikan kebrutalan kaum Yahudi ini.

Adalah Elie Wiesel, setelah mengalami dan menyaksikan betapa nistanya orang-orang Yahudi dikejar-kejar dan dimasukkan ke dalam kamar-kamar gas oleh tentara Nazi Jerman, ia menggoreskan kisahnya lewat novel La Nuit. Novel itu telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dengan judul Malam oleh Yayasan Obor Indonesia (1988).

Mestinya orang-orang Yahudi di Israel −dan juga di berbagai tempat di dunia ini− wajib membaca novel yang ditulis oleh saudaranya, Elie Wiesel, agar mereka sadar betapa sakitnya sebagai orang-orang yang tak bertanah air. Apalagi kalau dikejar-kejar dan dibunuh. Tapi kita juga diingatkan oleh sejarah, bahwa etnis Yahudi dikenal sebagai manusia-manusia yang tak tahu bagaimana mensyukuri nikmat Alloh. Dan itu telah berjalan beribu-ribu tahun yang lampau, jauh sebelum kedatangan Nabi Muhammad saw.

Manifestasi dari tak tahu mensyukuri nikmat itu berujud kecongkakan, kikir, tak mau berjuang di jalan Alloh, dan cenderung mengkhianati. Karena itu, kita perlu meneladani siroh Nabi Muhammad saw ketika beliau hidup berdampingan dengan kaum Yahudi. Taktik dan strategi apa yang dipakai oleh Rosul dalam menghadapi para Yahudi yang cenderung mencemooh dan memusuhi umat Islam itu?

Untuk itulah buku ini ditulis lewat kajian sejarah sebagai bahan renungan masa lalu dan cermin untuk masa kini dan akan dating.

Daftar Isi
Bab 1−Yahudi Pra-Islam
Bani Israel Pasca Musa
Bangsa Israel Pecah
Bab 2−Sebelum Muhammad saw Hijrah
Para Rahib Yahudi tentang Muhammad saw
Quraisy Minta Bantuan Yahudi
Bab 3−Yahudi Pasca Hijrah
Yahudi, Anshor, dan Muhajirin
Kolusi Yahudi dengan Kaum Munafik
Yahudi selalu Mendebat Nabi Muhammad saw
Permusuhan Nyata
Bab 4−Yahudi dan Peperangan di Masa Nabi
Kerjasama dengan Muhajirin dan Anshor
Sikap Bani Quroizhoh terhadap Nabi Muhammad saw

Judul: Muhammad dan Yahudi [e-book] [DjVu]
Penulis: Dr. M. Ahmad Baraniq dan Muhammad Yusuf Mahjub
Tebal: 128 hlm.
Dimensi: 13x19 cm
Cetakan: I, Oktober 1994
Penerbit: Pustaka Progresif, Surabaya

Posting Komentar

0 Komentar