Dalam sejarahnya, Bani Isroil
telah mengalami banyak Nabi. Asal-usul Israel
sendiri bisa dirunut dari Nabi Ibrohim dengan istri pertamanya, Saroh, yang
dikaruniai seorang putra bernama Ishaq. Nabi Ishaq
mempunyai putra yang juga Nabi, bernama Ya’qub. Sebagai Nabi, Ya’qub dikenal
sangat sholih dan ia selalu taat
pada Tuhannya. Agaknya,
dari
sinilah muncul nama Isroil/Israel yang
diperuntukkan buat Nabi Ya’qub. Karena itu, anak
keturunan Ya’qub −yang nantinya juga melahirkan para Nabi− dikenal
dengan sebutan Bani Isroil. Dalam
perjalanan sejarah berikutnya, para Nabi yang
berasal dari etnis Yahudi itu tercatat nama-nama seperti Nabi Yusuf, Harun, Musa, Daud, dan ‘Isa. Meskipun
demikian, orang-orang Yahudi selalu membuat ulah pada
para Nabinya. Dengan Nabi
Musa pun mereka tak segan-segan untuk menentangnya. Bahkan Harun, saudara Musa, dibunuh oleh
mereka.
Begitu
pula dengan Nabi ‘Isa yang akhirnya mereka membunuh −padahal ‘Isa diangkat
oleh Alloh dan diganti dengan salah seorang dari mereka. Dengan Nabi
Muhammad, mereka juga tak menunjukkan persahabatannya, meski mereka
tahu akan tanda-tanda orang yang dinantikan itu. Mengapa? Karena
Muhammad bukanlah dari golongan mereka. Ya. Muhammad
memang bukan dari etnis Yahudi. Muhammad adalah seorang
Arab.
Dan
karena orang-orang Yahudi merasa sebagai The
Chosen People; manusia
pilihan, mereka merasa lebih tinggi dari orang-orang
Arab, bahkan dengan bangsa-bangsa lain di muka bumi
ini.
Boleh jadi
dengan menganggap dirinya sebagai manusia pilihan, orang-orang
Yahudi terjebak pada kecongkakan yang menjerat. Jangankan
dengan ajaran Muhammad yang terlahir sebagai orang Arab, dengan ‘Isa yang
terlahir dari kalangan mereka pun ternyata tak
mendapat tempat sebagaimana mestinya.
Kecongkakannya itulah yang
akhirnya membuat banyak orang −di luar etnis Yahudi
tentunya− memusuhi kaum Yahudi. Dalam sejarahnya, pada tahun
721 SM, bangsa Yahudi diserang oleh bangsa Assyria. Dan kerajaan
Israel yang berpusat di Samaria pun jatuh ke tangan Assyria. Tahun 606 SM, Yerusalem
dihancurkan oleh Nebukadnezar dari Babylonia. Orang-orang
Yahudi akhirnya terpaksa jadi anak jajahan dan dijadikan budak, sebagian
dibuang dan berserakan ke berbagai Negara. Ketika pada
tahun 539 SM, kerajaan Persia berhasil menaklukkan Babylonia. Orang-orang
Yahudi sedikit bisa bernafas lega. Oleh kaisar
Persia, orang-orang Yahudi yang hidup di pengasingan
boleh kembali ke Palestina.
Perjalanan
sejarah bangsa Yahudi memang berpindah-pindah. Ketika pada 330 SM, Iskandar
Agung dari Macedonia berhasil menaklukkan Raja Persia, Darius III,
anak-anak Yahudi bergantian tuan, bangsa Yunani. Tapi tak lama. Sebab ketika Iskandar Agung wafat 300 SM, Palestina
berada di bawah pengawasan Mesir. Hal ini
terjadi setelah bangsa Assyria berkuasa dan menguasainya kembali. Kondisi ini
berjalan sampai satu abad lamanya.
Tapi etnis Yahudi memang
dikenal cerdik memanfaatkan peluang. Ketika peluang
dirasa ada, maka pada tahun 142 SM, orang-orang Yahudi
mengadakan pemberontakan dan berhasil merebut kekuasaan dari bangsa Assyria.
Tapi
hanya berlangsung satu generasi. Sebab ketika tahun 63 SM, bangsa Romawi
berhasil merebut Palestina dan menguasainya sampai tahun 640 M. Pada tahun 135
M, Bar Kokhba −pemimpin orang-orang Yahudi− merebut
kemerdekaan.
Ini
adalah kali ketiga mereka merebut kekuasaan dari tangan tentara pendudukan Roma. Gagal. Satuan tempur
dan gerilyawan Yahudi dibumihanguskan
oleh tentara Romawi yang terkenal tangguh di zamannya itu. Sejak
saat itulah −menurut Max I Dimont− bangsa Yahudi
tidaklah memiliki
Angkatan Bersenjata sendiri. Bangsa Yahudi pun porak-poranda
menyebar ke berbagai Negara, baik ke timur maupun ke
barat.
Di
Palestina hanya dimukimi oleh kaum bumiputeranya sendiri.
Tapi bangsa
Yahudi tak kehilangan akal. Mereka terus
bergerak dengan misi zionismenya yang dipelopori oleh Theodore Herzl (1860-1904), seorang
wartawan yang besar di Jerman. Dan pada tahun 1897 di
Basel, Switzerland, diselenggarakan kongres
Zionis Pertama. Saat itulah
dengan retorikanya yang menggebu-gebu, Herzl
memproklamirkan agar negara Yahudi segera direalisir. Bisa dipahami. Sebab setahun
sebelumnya, 1896, hasil menulis buku Der Judenstaat (Negara Yahudi).
Lalu terjadilah
gelombang migrasi kaum Yahudi dari penjuru dunia. Tujuannya
hanya satu: kembali ke Zion; ke negara −menurut
mereka− asal di wilayah Palestina. Gelombang
pertama terjadi pada tahun 1900 dan proses migrasi berjalan terus sampai
Inggris meninggalkan Palestina (14 Mei 1948) dan Yahudi
mengambil alih kekuasaan.
Orang-orang
Palestina mulai digusur dan akhirnya terusir dari tanah leluhurnya. Pertempuran
pun terjadi dengan dahsyat antara tentara Yahudi
dengan tentara-tentara Arab.
Perjuangan
Palestina tampaknya tak bisa selamanya menggantungkan pada negara-negara Arab
saja.
Hal
itu disadari betul oleh para pemimpin Palestina di pengungsian. Karena itu, pada tahun
964, para pemimpin negara-negara Arab dan Palestina
di pengungsian memutuskan untuk membentuk Palestine
Liberation Organization (PLO).
Perjuangan
terus melaju dengan lika-likunya. Pada November
1988, Yasser Arafat melalui Dewan Nasional
Palestina mengumumkan negara Palestina Merdeka yang dipusatkan di Tepi Barat. Dengan langkah
ini,
akhirnya
PLO telah
menerima resolusi PBB nomor 242, yaitu mengakui
kedaulatan Israel.
Perjuangan
yang panjang tersebut membuahkan hasil, meski jauh dari yang
semestinya.
Ketika
pada akhir 1993 lalu, Israel memberikan otonomi di Jericho dan
Gaza yang tandus. Tapi
barangkali inilah pilihan terbaik diantara
kepahitan yang diderita oleh bumi Palestina. Sebab setelah Perang
Teluk pada tahun 1991 itu, negara-negara Arab terpecah-pecah. Dampaknya −baik
secara politis maupun finansial− sangat tidak
menguntungkan perjuangan rakyat Palestina. Diterimanya
Jericho dan Gaza, agaknya telah membuat
bangsa Palestina berfikir realistis. Meskipun
pandangan ini masih sangat ditentang oleh kelompok garis keras bangsa Palestina
yang tergabung dalam gerakan Intifadhoh di Tepi Barat dan Hamas di Jalur Gaza. Apakah
bangsa Palestina berhasil mengelola Jericho dan Gaza?
Sejarahlah
yang bakal mengujinya.
Persoalannya
kemudian, Apakah orang-orang Yahudi telah ikhlas melepas
Jericho dan Gaza? Sebagaimana
sejarah telah menunjukkan pada kita, bahwa ada Yahudi yang
baik tapi tidak sedikit yang masih merasa sebagai ‘etnis pilihan’. Dan karena itu, menimbulkan
kecongkakan yang tiada taranya. Padahal dalam pandangan
Alloh, kemuliaan seseorang
tidak ditentukan oleh etnisnya, tapi dari taqwanya (QS. Al-Hujurot:
13). Dan
orang-orang Yahudi yang beriman dan beramal sholih juga akan
mendapat pahala dari Alloh (QS.
Al-Baqoroh: 62; Al-Maidah: 69). Jelaslah bahwa
Alloh tidak akan memandang asal-usul, tapi
kualitas taqwa, iman, dan amal
sholih yang akan menjadi parameter untuk menilai
seseorang berbuat baik atau sebaliknya. Itulah
sebabnya, sebenarnya tidak ada alasan bagi orang-orang Yahudi merasa
sebagai ‘etnis pilihan’ di antara etnis-etnis yang
ada di dunia ini.
Di atas langit
masih ada langit, begitu kata pepatah. Sepandai
pandainya seseorang, masih ada yang lebih pandai. Sebaik-baiknya
seseorang, masih ada yang lebih baik. Karena itu, tidak ada
alasan untuk bertindak atau berlagak sombong.
Kesombongan
dalam sejarahnya telah banyak membawa malapetaka. Lihatlah bagaimana
nasib orang-orang Yahudi di zaman Fir’aun. Sang Maharaja ini
telah ikut menanam saham penyebaran etnis Yahudi, yakni ketika
ia memerintahkan untuk membunuh anak-anak lelaki yang
lahir dan membiarkan anak-anak perempuan. Perintah Fir’aun itu
ternyata banyak membuat orang-orang Yahudi keluar dari Mesir dan menetap di
negara-negara di luar wilayah kekuasaan Fir’aun.
Hanya sebagian
kecil saja anak-anak lelaki yang bisa selamat saat itu, salah
satunya adalah Musa yang akhirnya diutus oleh Alloh untuk
membimbing kaumnya.
Dengan
kepandaian dan kekuatan Musa yang tiada taranya, toh ia masih juga
dipermainkan oleh kaumnya yang terkenal licik, keji, dan congkak
itu.
Di awal Perang Dunia II, etnis Yahudi
diburu dan dibantai oleh Hitler dari Jerman. Agaknya Hitler
yang beretnis Aria itu merasa lebih baik memimpin dunia
dibanding dengan orang-orang Yahudi yang menguasai perekonomian di berbagai
negara yang mereka tempati. Dengan ideologi Nazi-nya itulah
Hitler membantai orang-orang Yahudi, baik yang ada di Jerman
maupun negara-negara Eropa lainnya. Apa yang
dilakukan oleh Hitler itu ternyata semakin
menumbuhkembangkan semangat orang-orang Yahudi di pelosok dunia untuk kembali
ke Erezt Israel −tempat Israel kini.
Tapi
persoalannya adalah orang-orang Yahudi itu kembali dengan cara mengusir, membunuh, dan
membantai penduduk asli Palestina. Sudah tak
terhitung jumlah orang Palestina yang syahid, bahkan
kekejaman orang-orang Yahudi terhadap pribumi posisinya jauh lebih dahsyat
dibanding dengan apa yang telah dilakukan oleh Hitler. Bayangkan
anak-anak Palestina yang melempari tentara Yahudi dengan batu
dan ketapel, disambut dengan berondongan
senapan mesin. Bahkan bila ada keluarganya yang membela dan
melawan, akan mengalami nasib yang sama. Hidup pribumi
Palestina di bumi pertiwinya ternyata
mengalami nasib tragis yang jauh dari nilai-nilai kemanusiaan yang hakiki. Dan yang lebih
tragis lagi adalah ternyata dunia tak mampu menghentikan kebrutalan
kaum
Yahudi ini.
Adalah Elie Wiesel, setelah
mengalami dan menyaksikan betapa nistanya orang-orang Yahudi dikejar-kejar dan
dimasukkan ke dalam kamar-kamar gas oleh tentara Nazi Jerman, ia
menggoreskan kisahnya lewat novel La Nuit. Novel itu
telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dengan judul Malam oleh Yayasan
Obor
Indonesia (1988).
Mestinya
orang-orang Yahudi di Israel −dan juga di berbagai tempat di dunia ini− wajib
membaca novel yang ditulis oleh saudaranya, Elie Wiesel, agar mereka
sadar betapa sakitnya sebagai orang-orang yang tak bertanah air. Apalagi kalau
dikejar-kejar dan dibunuh.
Tapi
kita juga diingatkan oleh sejarah, bahwa etnis Yahudi
dikenal sebagai manusia-manusia yang tak tahu bagaimana mensyukuri nikmat Alloh. Dan itu telah
berjalan beribu-ribu tahun yang lampau, jauh sebelum
kedatangan Nabi Muhammad saw.
Manifestasi
dari tak tahu mensyukuri nikmat itu berujud kecongkakan, kikir, tak mau
berjuang di jalan Alloh, dan
cenderung mengkhianati.
Karena
itu, kita perlu meneladani siroh Nabi Muhammad
saw ketika
beliau hidup berdampingan dengan kaum Yahudi. Taktik dan
strategi apa yang dipakai oleh Rosul dalam menghadapi
para Yahudi yang cenderung mencemooh dan memusuhi umat Islam
itu?
Untuk itulah
buku ini ditulis lewat kajian sejarah sebagai bahan
renungan masa lalu dan cermin untuk masa kini dan akan dating.
Daftar Isi
Bab
1−Yahudi Pra-Islam
Bani Israel Pasca Musa
Bangsa Israel Pecah
Bab
2−Sebelum Muhammad saw Hijrah
Para Rahib Yahudi tentang Muhammad saw
Quraisy Minta Bantuan Yahudi
Bab
3−Yahudi Pasca Hijrah
Yahudi, Anshor, dan Muhajirin
Kolusi Yahudi dengan Kaum Munafik
Yahudi selalu Mendebat Nabi Muhammad saw
Permusuhan Nyata
Bab
4−Yahudi dan Peperangan di
Masa Nabi
Kerjasama dengan Muhajirin dan Anshor
Sikap Bani Quroizhoh terhadap Nabi Muhammad saw
Penulis: Dr. M. Ahmad
Baraniq dan Muhammad Yusuf Mahjub
Tebal: 128 hlm.
Dimensi: 13x19 cm
Cetakan: I, Oktober 1994
Penerbit: Pustaka
Progresif, Surabaya
0 Komentar