Resensi: Puasa Para Nabi dalam Taurat, Injil, dan Al Qur'an


I. Prakata
Tiap kali menjelang bulan Romadhon, para khotib dan muballigh tidak ketinggalan membacakan surat Al-Baqoroh ayat 183 tentang perintah berpuasa pada bulan Romadhon.

Sesungguhnya surat itu berturut-turut terdiri 3 (tiga) buah ayat yang pada garis besarnya mengandung 3 (tiga) aspek, yaitu (1) kewajiban berpuasa seperti orang-orang dahulu; (2) tata tertib puasa; dan (3) bulan Romadhon sebagai penyongsong turunnya ayat Al-Qur’an pertama.

Di sini akan dikemukakan bagaimana proses amalan puasa dari Nabi ke Nabi yang dikisahkan dalam Taurot dan Injil agar dikenal oleh umat Islam dan bagaimana hubungannya dengan aspirasi Al-Qur’an.

Dengan mengenal hubungan harmonis antara kitab-kitab suci itu, umat manusia tentu akan menyadari bahwa Alloh swt telah memberi tuntunan agama pada zaman purbakala, yaitu zaman para Nabi-nabi tersebut. Yang pada akhirnya disempurnakan dengan tuntunan Islam hingga dengan demikian kita akan tahu dan menjadi yakin bahwa Alloh itu ada Dzatnya, hidup, tak bisu, dan memberi bacaan. Tidaklah seperti Tuhan yang dihasilkan dari renungan atau pikiran filsafat yang selalu bersifat spekulatif heterogen, berbeda-beda tentang bentuk dan pengertiannya.

Maka Alloh menurunkan Al-Qur’an ke dunia. Karena kitab-kitab suci yang ada sebelumnya sudah banyak tercampur dengan perbuatan manusia, bahkan juga terdapat pembelokan dari ajaran yang semestinya. Maka Al Qur’an yang berisi 100% kalam Alloh dijadikan pedoman.

II. Puasa dari Nabi Musa as (1.500 SM)
Lebih dahulu perlu kita ketahui mengenai kalender (hitungan tanggal, tahun, dan bulanan) di kalangan Yahudi.

Memang agak repot, sebab ada dua macam kalender yang masing-masing berbeda hitungan permulaan tahunnya.

Yang berlaku untuk sipil (umum) dimulai bulan Tisyri yang jatuh pada bulan September. Sebaliknya, kalender agama dimulai jarak setengah tahun lagi, yaitu pada bulan Nisan atau Abib yang jatuh pada bulan Maret atau April. Dan tanggal 10-nya menjadi hari raya terbesar bagi kaum Bani Isroil, yaitu yang disebut hari Grafirat (= pengampunan).

Pada hari pengampunan ini, kaum Yahudi secara khidmat menjalankan ibadat secara khusyu’, yaitu mereka pergi ke kuil Synagog (= tempat berkumpul) setelah matahari terbenam untuk bersama-sama bernyanyi dan berdoa. Setelah beberapa beribadah di kuil, mereka pulang tanpa memakan sesuatu makanan atau minum dan langsung berangkat tidur.

Esoknya setelah makan sahur, mulai berpuasa satu hari kemudian pergi ke kuil lagi sampai matahari terbenam. Barulah pulang kembali untuk mulai tidak berpuasa.

Pada waktu upacara di kuil, Imam Besar masuk dalam ruang yang paling suci, yaitu tempat tersimpannya peti Tabut (kiblatnya Bani Isroil).

Kemudian binatang sembelihan berupa sapi jantan yang darahnya dioleskan atas tanduk kambing jantan, akan dilepas ke gurun untuk menanggung dosa seluruh warga Bani Isroil. Pada waktu itu pulalah umat Yahudi mengadakan pembersihan dosa, melaksanakan segala nadzar yang dijanjikan, membayar hutang bagi yang masih tersangkut hutang atau memohon ampun kepada semua pihak yang ternoda dan mengembalikan seluruh barang yang pernah dicuri atau ditipunya. Jadi, hari itu merupakan hari pembersihan dan penyucian mental agama. Dalam Taurot Imamat pasal 16 dapat dibaca detailnya, juga pasal 27.

Inilah hari raya terbesar dengan puasa sehari 12 jam tidak makan dan tidak minum.

Pada zaman Nabi Musa as, kewajiban berpuasa hanya satu hari, tidak lebih. Mengingat situasi Bani Isroil sedang hijroh besar-besaran dari kota Mesir akibat penganiayaan raja Fir’aun (yang kemudian tenggelam di laut ketika mengejar rombongan umat Nabi Musa as). Peristiwa ini terkenal dengan kata exodus dalam kitab Perjanjian Lama.

Beratnya penderitaan Bani Isroil dalam perjalanan exodus itu sampai berproses 40 tahun lebih baru sampai di tanah suci Kanaan, dan Nabi Musa as pun meninggal sebelum dapat mengatur umatnya di sana.

Nabi Muhammad saw menyambut amalan Bani Isroil itu dengan sikap partisipasi dan solidaritas yang positif terhadap nasib Bani Isroil tersebut, hingga perlu menganjurkan umatnya untuk ikut berpuasa pada tanggal 10 Asyuro (Muharrom) meskipun jatuh bulannya tidak sama. Ketidaksamaan ini akibat dari sejarah Bani Isroil yang berkali-kali mengalami penjajahan dan pembuangan hingga menyebabkan jatuh bulan kalendernya pun ikut berubah. Terutama karena banyaknya pengaruh kebudayaan Babilon, sehingga terjadilah dua macam kalender bagi kaum Yahudi itu.

Meskipun puasanya umat Islam itu secara sukarela atau tathowu’, namun cukup memperlihatkan partisipasi ajaran Islam. Terlebih Nabi Muhammad saw yang juga berketurunan dari para Nabi, yaitu dari garis Nabi Ibrohim as. Sebab dalam Taurot telah dinyatakan bahwa seluruh dunia akan diberkati Alloh lewat benih Nabi Ibrohim as (2.000 SM) sebagai berikut:
“Aku akan memberkati orang-orang yang memberkati engkau (Abram/Ibrohim), dan mengutuk orang-orang yang mengutuk engkau, dan olehmu semua kaum di muka bumi akan mendapat berkat.” (Kejadian 12:3)

Maka tidak aneh apabila Nabi Muhammad saw membuat perumpamaan karena merasa pernah diramal dalam Taurot.

Perumpamaannya demikian (sabda Rosululloh saw):
“Seandainya saudaraku Musa masih hidup, tentu ia tidak diperkenankan kecuali memang harus mengikutiku.” (HR. Ahmad)

Sabdanya lagi:
“Aku lebih berhak menyertai Nabi Musa dibanding mereka (kaum Yahudi), maka beliau berpuasa dan memerintahkan untuk berpuasa.” (HR. Bukhori)

Demikian partisipasi Nabi Muhammad saw terhadap Nabi Musa, karena Taurotnya telah meramalkannya dinyatakan dengan tanda-tanda persamaannya. Tetapi Nabi Muhammad saw harus bukan dari Bani Isroil lagi (Ulangan 18:18, 19 dan 34:10).
Para Ahli Kitab dipersilakan mengecek ayatnya, bila berkenan.

Namun sayangnya, oleh para penerjemah Alkitab (Bibel) sekarang ini nampak membuat petualangan terjemahan yang semestinya bermakna: keturunan Ismail akan berkediaman sebelah Timur saudaranya (Bani Isroil), tapi kini diberi makna yang konfrontatif, yakni “di tempat kediamannya ia akan menentang semua saudaranya.” (Kejadian 16:12)

Islam yang beraspirasi solidaritas dan bermakna: mendirikan perdamaian, tidak pantaslah bila kitab suci Alloh swt dibelokkan ke arah tujuan yang negatif karena seterusnya tidak ada nada pertentangan.

Kesimpulannya: puasa dari ajaran Nabi Musa as merupakan sarana permohonan pengampunan dan pertaubatan, yang diamalkan tiap tahun sekali (dedikasi taubat).

III. Puasa Nabi Yunus as (1.800 SM)
Sejak Nabi Sulaiman as wafat, kerajaan Bani Isroil pecah menjadi dua. Yang Utara disebut Isroil beribukota Sichem, dan yang Selatan disebut kerajaan Yuda (Yehuda) beribukota Yerusalem.

Yang sangat berperan di Isroil adalah Nabi Ilyasa’, Nabi Yunus, dan Nabi Yesaya.

Nabi Ilyasa’ telah menolong nasib negeri Isroil, namun rakyatnya kemudian kembali melakukan kemaksiatan. Nabi Yunus menyusul. Namun ia ingin mencoba berdakwah ke bangsa lain untuk membandingkan sikap rakyatnya yang suka membandel itu dengan bangsa lain (Spanyol). Akan tetapi ketika ia menumpang kapal, angin taufan tiba-tiba menggoncangkan kapalnya. Atas undian yang dilakukan diantara para penumpang, hasilnya nama Nabi Yunus selalu keluar dan harus dilemparkan ke laut. Ia diterkam ikan besar. Sambil berdoa, ia dibawa ke daratan. Lalu ingat pada tugasnya, ia kemudian berangkat ke Ninive, ibukota Assur, untuk menolong rakyat negeri itu dari bencana gempa besar. Daratan Ninive akan dibalik oleh Alloh karena kemaksiatan penduduknya telah melampaui batas.

Nabi Yunus as mendapat isyarat bahwa 40 hari lagi akan terjadi gempa itu. Segera Nabi Yunus as menganjurkan rakyat Ninive untuk bertaubat dengan jalan berpuasa. Anjuran tersebut dipatuhi, bahkan sang raja yang mengetahui rakyatnya serempak berpuasa pun akhirnya ikut berpuasa.

Kisah ini tercantum dalam II Raja-Raja 14:25 dan terutama kitab Yunus pasal 1-3.

Perintah raja itu disebutkan demikian:
“Baik manusia maupun binatang, baik lembu atau kambing, jangan diberi makan atau jangan diberi minum air, melainkan hendaklah manusia dan binatang pun berpakaian kain sarung dan hendaklah berseru-seru kepada Tuhan dengan sekuat-kuatnya dan hendaklah masing-masing bertobat dari jalannya yang jahat dan dari aniaya pada tangannya.” (Yunus 3:7-8)

Akhirnya, setelah kira-kira 40-an hari itu, terselamatlah dari bencana besar atas ridho Alloh. Bahkan selanjutnya mencapai kejayaan, hingga negeri Isroil yang semestinya menjadi negeri kekasih Alloh, ditaklukkannya dan dimusnahkan sama sekali pada tahun 722 SM.

Selanjutnya, rakyat Isroil adalah percampuran yang kemudian hari disebut bangsa Samaritan yang diambil dari nama kota Samaria.

Dari peristiwa itu, kita mendapat pelajaran bahwa puasa dapat menjadi perisai atau penolak bahaya dan fitnah.

Jumlah hari puasa pun ada pendekatan dengan cara Islam, puasa Romadhon sebulan ditambah puasa sukarela Syawal.

Mendekati aspirasi puasa Nabi Yunus ini ada dua buah hadits demikian:
Dari Umar RA, ia berkata: “Siapakah yang hafal sebuah hadits dari Nabi SAW yang berkenaan dengan fitnah?”  Maka Hudzaifah menjawab, “Aku mendengar beliau bersabda: Fitnah seseorang dalam keluarganya, hartanya dan tetangganya dapat ditutup (dihapuskan) oleh sholat, puasa, dan sedekah.” (HR. Bukhori)

Sebuah hadits lagi:
“Puasa adalah perisai, maka janganlah dia berkata kotor dan bertindak dungu.” (HR. Bukhori)

IV. Puasa Nabi Yesaya as (1.750 SM)
Nabi Yesaya as berperan terhadap rakyat Bani Isroil dan Yuda, dan yang sangat mengetahui moral masing-masing negeri yang silih berganti antara jahat dan sholih. Ada pula yang murtad dengan kembali menyembah patung berhala. Terutama raja-rajanya yang sering tak mau ketinggalan.

Nasihat Nabi Yesaya as pada pasal 58:1-9. Karena panjangnya, di sini perlu disingkat seperlunya, yakni:
1. Pada musim puasa menyerukan Alloh bernada keras.
2. Orang beragama harus mematuhi hukum syariat Alloh.
3. Orang harus tahu sebab apa puasanya tidak dikabulkan oleh Alloh.
4. Bila berpuasa, dilarang berbantah-bantahan, berkelahi, berpukul-pukulan dengan amarah.
5. Apa gunanya repot-repot berkain karung dan penaburan abu di atas kepala, mempersakiti hati segala.
6. Puasa perlu diiringi pembersihan kejahatan, melepaskan tali belenggu, membebaskan kemerdekaan, dan menghancurkan segala tekanan.
7. Memberi makanan bagi yang lapar, perumahan bagi si miskin, memberi pakaian, mengakrabkan keluarga.
8. Menjamin kesehatan, berpegangan pada kebenaran agar Alloh menyertainya.
9. Segala doa akan dikabulkan bila menghilangkan penganiayaan serta perkataan yang keji.

Sebagai perbandingan, di sini ditambah nasihat Nabi Muhammad saw sebagai penerus ajaran tersebut, diantaranya yang berkaitan dengan puasa:
“Puasa bukanlah dari makan, minum (semata), tetapi puasa itu menahan diri dari perbuatan sia-sia dan keji. Jika ada orang yang mencelamu, katakanlah: Aku sedang puasa, aku sedang puasa.” (HR. Ibnu Khuzaimah)

“Barangsiapa yang tidak meninggalkan perkataan dusta dan (tetap) mengamalkannya, maka tidaklah Alloh ‘Azza wa Jalla butuh (atas perbuatannya meskipun) meninggalkan makan dan minumnya.” (HR. Bukhori)

“Segala amal perbuatan manusia pada hari Senin dan Kamis akan diperiksa oleh malaikat, karena itu aku senang ketika amal perbuatanku diperiksa aku dalam kondisi berpuasa.” (HR. Tirmidzi)

Kalau Nabi Yesaya as menyatakan bahwa puasa hendaknya membawa kemerdekaan, ternyata agama Islam telah menjiwai proklamasi kemerdekaan Indonesia pada tanggal 14 Romadhon bertepatan dengan 17 Agustus 1945. Karena pada saat proklamasi itu, Piagam Jakarta masih berlaku. Tujuh kata belum diganti dengan “yang Maha Esa” bagi Tuhan.

V. Puasa Nabi Daniel as (550 SM)
Kitab Daniel 10:3 menerangkan bahwa puasanya Nabi Daniel berlangsung 3 Sabath, yaitu 3 pekan disertai meninggalkan wangi-wangian. Puasanya berkenaan dengan peristiwa penghancuran Ka'bah Yerusalem, yaitu tentara Babilon di bawah raja Nebukadnezar (Buhtanashor) yang pertama pada tahun 606 SM dan yang kedua kalinya pada tahun 598 SM, hingga raja dan rakyat Yahudi sejumlah + 10.000 orang beserta kekayaan peralatan kuil dirampas dan dibawa ke negeri Babilon. Peristiwa tragedi ini terkenal sebagai Diaspora I.

Untuk ketiga kalinya pada tahun 588 SM Yerusalem dihancurkan disebabkan rakyat memberontak. Maka sejak saat itu, kerajaan Yuda berhenti dan sisa rakyat Yahudi diangkut sebagai tawanan di Babilon selama 70 tahun.

Imam Besar Yahudi, L. Wagenaar, dalam buku De Joodsche Godsdienstleer terbitan Amsterdam tahun 1890 menuliskan,
“Pada tanggal 17 Tammuz sudahlah kota Yerusalem ditaklukkan. Upacara korban dalam kuik dihentikan. Coba gambarkan kesengsaraan yang diderita Isroil 3 minggu sejak hari itu sampai tanggal 9 bulan Ab, di mana ia memeras kekuatan yang paling penghabisan dalam mempertahankan kuilnya, satu-satunya bangunan kebanggaan, bahkan yang paling keramat dari segala-galanya yang ada.”

Selanjutnya disebutkan larangan keras untuk mencukur rambut atau jenggot.

Pada sembilan hari terakhir dari tanggal 1 sampai 9 Ab, puasanya dilaksanakan dengan tak makan daging, tak minum anggur, tak berganti pakaian, tak boleh mencuci pakaian atau menyerahkannya kepada orang lain, tidak mandi, kecuali bila sangat penting.

Puasa pada tanggal 9 seperti pada hari besar Grafirat, puasanya dimulai dari waktu sebelum jatuh malam. Sejak siangnya tengah hari dilarang membaca kitab-kitab Yahudi melainkan yang berisi duka cita tertentu sampai tengah malam. Setelah itu, mengambil sikap duduk dengan merendahkan diri di atas tanah bagaikan orang dalam kepedihan. Pada perjamuan makan sebelum mulai puasa, orang duduk membungkuk serendah mungkin di atas tanah dan makan tidak lebih dari sepotong makanan rebusan.

Pada sembayang waktu sore dan pagi dinyanyikan lagu dukacita dan pada sore itu diberikan khutbah ratapan.

Demikian terasa beratnya penderitaan Yahudi, maka apabila surat Al-Baqoroh ayat 183 memerintahkan puasa seperti umat agama Alloh yang dahulu, Nabi Muhammad saw mengimbanginya dengan berpuasa tidak hanya 3 minggu, melainkan ditambah satu minggu lebih lagi.

Hal ini sesuai kata Rosululloh saw kepada kaum Yahudi di Madinah:
“Aku lebih berhak menyertai Nabi Musa dibanding mereka (kaum Yahudi).” (HR. Bukhori)

Sedang puasanya pun lebih banyak berisi tanpa makan-minum daripada puasanya kaum Yahudi yang hanya 9 hari terakhir. Islam juga menambahkan amal i'tikaf.

V. Puasa Nabi Isa Al-Masih as (abad I M)
Ada dua bentuk puasa dalam kisah Injil. Yang pertama puasanya Nabi Isa sendiri selama 40 hari 40 malam; yang kedua puasa yang juga diamalkan oleh umatnya.

Mengenai puasa 40 hari berkenaan dengan kisah semacam Isro’ -seperti yang dialami Nabi Muhammad saw, umat Kristen malah belum tahu tentang perjalanan isro’-nya Al-Masih yang tersebut dalam Matius 4:1-11.

1. Puasa yang Pertama
Kalau kitab Injil mengakui kelemahan jasmani Al-Masih juga, artinya juga dapat lapar dan pula perlu makan (Lukas 4:2; 15:2; 24:43), cara tidak makan-minum 40 hari siang malam; cerita Injil itu bisa dianggap berlebih-lebihan. Apalagi penulisan kitab tersebut memang mengandung kelemahan. Artinya, memang naskah yang asli sudah tidak ada. Yang ada tinggal salinan dari salinan dari salinan dan sterusnya. Serta dalam menyalin, sering terjadi pengaruh si penyalin ikut mewarnai dan merubah makna dengan motif penyesuaian dengan alamnya.

Hal yang demikian ini telah diakui para theolog, baik yang Katholik, Protestan, terutama yang rasionalis. Di antaranya: Para Wali (Katholik) dalam kitab “Injil”, 1965, hal. XXXIX, DR. Mr. D.C. Mulder, DR. H.Th. Obbink, DR. C. Groenen OFM, dan lain-lain.

Kalau penulisan itu terjadi pada abad ke-2 sampai abad ke-5, praktis cerita yang bercorak takhayul memang sedang merajalela.

Jadi, cerita “tidak makan-minum 40 hari 40 malam” itu kemungkinan puasa pada siang hari saja, atau malamnya hanya sebagian saja. Hanya soal makan berbuka atau sahur tidak diceritakan.

Atau cerita itu menggambarkan alam ru’ya (visiun) yang biasa dialami para Nabi, terutama cerita itu berkenaan perjalanan isro’. Berarti alam ru’ya dianggap alam kenyataan.

Adapun yang diamalkan oleh para pengikut Al-Masih dapat ditemukan dua peristiwa. Pertama, termuat dalam Matius 6:16-18,
“Apabila kamu puasa, janganlah kamu menyerupai orang munafik dengan muramnya. Karena mereka itu mengubah rupa mukanya supaya terlihat orang bahwa mereka sedang berpuasa. Dengan sesungguhnya aku berkata kepadamu: tiadalah pahalanya bagi mereka itu. Tetapi engkau ini apabila engkau puasa, minyakilah kepalamu dan basuhlah mukamu.”

Dari peristiwa ini, terlihat adanya kelesuan akibat puasa. Namun bagi orang beragama, semua yang bersifat pamer dan tampak jorok -apalagi berkaitan dengan amal ibadah, harus dijaga kerapian fisiknya.

Jadi, puasa zaman Al-Masih nampak juga tidak ringan. Namun bagaimanakah sikap kaum Kristen yang merasa mengikuti jejak tokoh persembahannya?

Adapun bagi orang Muslim, tidak ada tawar-menawar mencari keringanan. Apa yang datang dari Nabinya adalah acuan standar.

Meskipun puasa Romadhon sebulan utuh, terpaksa mengalami kelesuan dan bau nafas yang kurang sedap. Namun Nabi Muhammad saw selalu memberi fatwa yang menghibur dan membawa ketenteraman, lagi berpuasa sopan.

2. Puasa yang Kedua
Peristiwa puasa Al-Masih yang kedua adalah terdapat dalam Matius 9:14,
“Tatkala itu datanglah murid-urid Yahya (Nabi Yahya Pembaptis) kepada Yesus. Katanya: apakah sebabnya kami dan orang-orang Parisi pun puasa tapi murid-muridmu sendiri tidak? Maka katanya kepada mereka: Bolehkah sahabat mempelai bersukacita selagi ada mempelai itu? Tetapi ada harinya kelak yang mempelai itu diambil daripadanya, barulah mereka itu puasa.”

Puasa ini tentu bukan yang berat seperti untuk 3 minggu. Karena ada temanten dalam masa itu, melainkan puasa yang lain seperti Senin-Kamis.

Puasa inipun mungkin diwajibkan karena ada anjuran berpuasa di lain hari sebagai ganti. Jadi, jelaslah bahwa puasa pada masa Al-Masih tetap diaktifkan.

Sekarang, bagaimanakah sikap kaum Kristen perihal puasa itu? Hal ini sebaiknya dikutipkan dari buku Kristen sendiri tulisan Prof. DR. C.W. Monnich berjudul “Encyclopedie van het Christendom” terbitan Amsterdam-Elsevier-Brussel tahun 1955 halaman 707:
“Dalam mazhab Protestan biasanya sedikit perhatiannya terhadap puasa. Paling besar perhatiannya adalah dari golongan puritein (pembersih). Karena menganggapnya sebagai amalan yang patuh. Dari segi reformasi, terdapat sikap longgar terhadap puasa, seperti Paulus. Tapi pada garis pokoknya, orang tidak mempedulikannya. Sikap enggan ini dapat meningkat mengingat kebebasan ajaran Kristen dapat dipersempit.

Gereja Katholik membuat perbedaan antara puasa dan pantangan. Cara yang akhir ini, makanan daging dilarang. Sedang arti puasa adalah santapan makan tidak kenyang. Namun boleh makan daging. Hari Jum’at adalah hari pantangan. Hukum Gereja menetapkan sejumlah hari-hari puasa dan pantangan. Puasa besar (quadragesima) adalah persiapan untuk Paskah yang dimulai pada hari Rabu Abu dan diakhiri pada Sabtu Paskah jam 12.”

Puasa Katholik ini sampai 40 hari. Puasa Senin-Kamis yang telah diamalkan para murid Al-Masih diubah oleh Gereja diganti Rabu dan Jum’at, karena kemungkinan tekanan dari penguasa Romawi. Kemudian diambillah motivasinya dari riwayat Yesus dikhianati pada hari Rabu, dan disalib pada hari Jum’at.

Maklumlah, segala yang masih berbau Yahudi dilarang pada zaman kekuasaan penjajah itu.

Perubahan hari puasa itu dapat dibaca dalam buku karangan DR. J.L.Ch. Abineno berjudul “Ibadah Jemaat dalam Abad-abad Pertama” halaman 51 dan 52.

VII. Puasa dalam Al-Qur’an
Pada awal tulisan ini sudah dikemukakan ayat Al-Baqoroh yang menyinggung puasa Romadhon, di mana detailnya di sini tak perlu diadakan penjelasan lagi.

Namun akan baik ditampilkan adalah tentang kedudukan bulan suci itu yang disebutkan demikian:
“Bulan Romadhon adalah (bulan) yang di dalamnya diturunkan Al-Qur’an, sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang benar dan yang batil).”

Puasa terpanjang yang diperuntukkan penghormatan sebuah kitab suci Al-Qur’an tentu mengingatkan kedudukannya yang sangat unik. Apakah keunikannya? Baiklah kita ketahui di antaranya:
1. Melengkapi kebutuhan manusia hidup akan pedoman yang murni-asli dari Alloh sendiri, karena yang sudah ada hanya merupakan salinan dari salinan berkali-kali yang goyah.

2. Meskipun umat pengantar pertama berupa bangsa Quroisy yang ummi, namun justru ke-ummi-annya membawakan keutuhan sabda Alloh yang Maha Mampu mengatasi segala problem keduniaan dan keakhiratan.

3. Daya pemisahannya mampu memberi penjelasan apa yang diperselisihkan antara kaum Ahli Kitab, yang dinyatakan kepandaiannya dalam surat Ad-Dukhon ayat 32. Pula hubungannya dengan ilmu pengetahuan dan sejarah.

Solo, 17 April 1984
Ky. Arkanuddin



Posting Komentar

0 Komentar