Pendahuluan
Asal
mula terjadinya perintah khitan (curcumcisio) terdapat dalam Taurot;
Kejadian, 17: 11-14
“Haruslah
dikerat kulit khatanmu dan itulah akan menjadi tanda perjanjian antara Aku dan
kamu.”
“Anak
yang berumur delapan hari haruslah disunat, yakni setiap laki-laki di antara
kamu, turun-temurun: baik yang lahir di rumahmu, maupun yang dibeli dengan uang
salah seorang asing, tapi tidak termasuk keturunanmu.”
“Orang
yang lahir di rumahmu dan orang yang engkau beli dengan uang harus disunat;
maka dalam dagingmulah perjanjianKu itu menjadi perjanjian yang kekal.”
“Dan
orang yang tidak disunat, yakni laki-laki yang tidak dikerat kulit khatannya,
maka orang itu harus dilenyapkan dari antara orang-orang sebangsanya: ia telah
mengingkari perjanjianKu.”
Dari
Perjanjian Alloh ini kita menjadi tahu bahwa batas-batas hukumnya ialah:
1.
Alloh memerintahkan adanya tanda perjanjian dalam tubuh fisik kita;
2.
Yang diwajibkan berkhitan adalah anak laki-laki yang alat kelaminnya berkulup.
(Tentang usia, rerata 8 hari. Sedangkan Isma’il putra nabi Ibrohim telah
berusia 13 baru dikhitan, karena baru saja diturunkan perintah khitan itu);
3.
Perjanjian khitan berlaku kekal;
4.
Yang melanggar perjanjian ini dihukum penumpasan.
Dilihat
dari hikmahnya, oleh sebab kulup itu menutupi jalan keluarnya kencing yang
najis, maka khitan itu memudahkan penyuciannya. Sedangkan jika tetap berkulup,
berpotensi menumpuknya kuman dan bakteri tersembunyi di dalamnya dan
menyebarkan penyakit.
Segi Etnologi
Banyak
kaum etnologi mengatakan bahwa khitan dari ajaran nabi Ibrohim as itu berasal
dari pengaruh suku primitif di Afrika, Australia, Irian Jaya, dan Kalimantan
menjalankan adat melukai kulit itu sesuai tujuan dan tradisi dari nenek moyang;
ada yang berkaitan dengan batas kedewasaan atau lainnya.
Kalau
perintah khitan sejak nabi Ibrohim itu dianggap sebagai penerus atau tiruan
dari tradisi suku-suku sebelumnya di Babilon dan Assur di mana Ibrohim
berkediaman sebelumnya, hal ini dibantah oleh Kaj Birket-Smith dalam bukunya,
karena di sana tidak terdapat peninggalan tradisi tatuasi dan penyunatan.[1]
Maka
Penulis berpendapat bahwa nabi Ibrohim as mendapat perintah khitan itu murni
dari sabda Alloh langsung, bukan hasil tiruan. Apalagi mengingat perlu
hilangnya kulup untuk memudahkan penyucian, karena seorang yang bertaqwa kepada
Alloh harus suci jasmani dan suci rohani, dan selalu menjaganya. Maka tidak
aneh apabila dalam Taurot dinyatakan ada khitan daging dan khitan hati. Khitan
hati bermaksud beribadah secara ikhlas dan taat dengan sabar dan menderita
tanpa mempedulikan sekitarnya. Hal ini tertera dalam ayat Taurot berikut:
Sebab
itu sunatlah hatimu dan janganlah lagi kamu tegar tengkuk. (Ulangan, 10: 16)
“Terjagalah,
terjagalah!
Kenakanlah
kekuatanmu seperti pakaian, hai Sion!
Kenakanlah
pakaian kehormatanmu, hai Yerusalem, kota yang kudus!
Sebab
tidak seorang pun yang tak bersunat atau yang najis akan masuk lagi ke dalammu.
(Yesaya, 52: 1)
Terus-menerus
Aku telah mengutus kepadamu semua hambaKu, para nabi, dengan mengatakan:
Janganlah hendaknya kamu melakukan kejijikan yang Aku benci ini! (Yeremia, 44:
4)
Golongan Inkarussunnah (Penolak Hadits Nabi)
Sekitar
tahun 1975, Penulis kedatangan seorang keturunan Arab dari Pasar Kliwon (Solo)
yang menanyakan kepada Penulis, apakah bersedia menerima tamu dari golongan
inkarussunnah. Dan Penulis jawab, “Bersedia”.
Esok
harinya betul, tibalah seorang keturunan Arab yang berbadan tinggi dan besar,
dan kemudian dalam wawancara itu dia menyampaikan pendapatnya, demikian:
“Kita
bersama tahu bahwa Alloh adalah Maha Cinta Kasih, seperti bacaan Basmalah,
perlukah kita masih diwajibkan menjalankan khitanan?
Perintah
Alloh dalam Al Qur’an toh tidak ada. Kami tidak mengikuti hadits nabi, sebab
sudah tercakup nasehatnya bahwa akhlak nabi adalah Al Qur’an.
Sesungguhnya
kasihanlah seorang anak dikhitan keluar darah dan menderita beberapa minggu
kesakitan. Dalam hadits pun hanya disebut salah satu fitrah setingkat dengan
cabut rambut ketiak, cukur rambut kepala, potong kuku, dan sebagainya.”[2]
Jawaban
di sini Penulis singkat menuju masalah khitan saja, tidak perlu membahas soal
sholat 5 waktu dan lain-lainnya. Di antaranya Penulis tanggapi demikian,
“Saudara
adalah seorang Arab. Apakah Saudara tahu bahwa bahasa Ibrani adalah mendahului
bahasa Arab sebagai rumpunnya?
Saudara
tentu tahu bahwa dalam Al Qur’an terdapat beberapa ayat yang menyebutkan
kata millah atau millata Ibrohima.
Kata ini sering dikaitkan dengan perintah ittabi’, artinya:
Turutilah! Millah ini oleh umat Islam biasanya diberi makna ‘agama’.
Kami telah membaca beberapa buku teologi Yahudi dan Nasrani yang menunjukkan
makna kata Ibrani, millahadalah khitan. Boleh jadi karena yang
paling menonjol dalam syari’at Ibrohim itu soal khitan semata-mata, maka dari
kebiasaan yang terus-menerus dan turun-temurun, berkembanglah maknanya menjadi
agama.
Jadi,
apabila kita menyadari keaslian makna millah itu khitan, maka
secara langsung Al Qur’an juga mengandung perintah khitan, sebab antara Ibrani
yang menjadi bahasa harian nabi Ibrohim as dan bahasa Arab tidak perlu ada
perbedaan.”[3]
Dengan
keterangan Penulis tersebut, tamu Arab itu Penulis duga kemudian menjadi sadar
kembali seperti amalan umat Islam. Belakangan Penulis pernah menanyakan kepada
seorang rekannya perihal sikap tamu Arab itu, dijawabnya sudah kembali seperti
Muslim lainnya. Alhamdulillah.
Bani Isroil
Seluruh
umat Bani Isroil mematuhi hukum khitan dari ajaran Taurotnya rata-rata dengan
patuh, sebab tanda dalam tubuh itu (bekas khitan) bisa merupakan dorongan
kekeluargaan yang kuat yang membawakan rasa solidaritas bersama. Di dalam
sejarah dapat dibaca bagaimana beberapa nabi menghayati hukum khitan itu,
diantaranya:
1.
Nabi Musa as.
a.
Ketika nabi Musa berusia 40 tahun, ia pergi ke Madyan, di mana ia mengabdi
kepada nabi Syu’aib alias Yethro (dalam Taurot) 40 tahun pula dan dinikahkan
dengan anaknya yang bernama Zapiro.
Setelah
usia 80 tahun, Alloh memerintahkan agar nabi Musa kembali ke Mesir untuk
menolong umatnya di sana. Karena putranya ada yang belum dikhitan, dan diancam
oleh Alloh untuk dicabut nyawanya. Cepat-cepatlah Zipora bertindak seperti
tersebut dalam Taurot - Keluaran, 4: 25 demikian:
Lalu
Zipora mengambil pisau batu, dipotongnya kulit khatan anaknya, kemudian
disentuhnya dengan kulit itu kaki Musa sambil berkata, “Sesungguhnya engkau
pengantin darah bagiku.”
Mengapa
waktu itu untuk mengkhitani anak menggunakan pisau batu? Apakah belum ada pisau
besi, ataukah batu itu lebih tajam? Ataukah menurut aturan pada saat itu harus
menggunakan pisau dari batu itu meski harus dikerat walaupun alot kulupnya?
Apakah pada waktu itu tidak ada anak yang pingsan mengingat pisaunya hanya
terbuat dari batu?
b.
Menjelang keberangkatan seluruh rakyat Bani Isroil ber-exodus (hijrah
besar-besaran) keluar dari Mesir ke tanah yang dijanjikan, yaitu Kan’an, Alloh
memerintahkan upacara Paskah 7 hari dengan makan sehari-harinya daging bakaran
dari anak domba muda dan roti tanpa ragi. Dan Alloh memberikan janji akan
memperkuat barisan Bani Isroil itu didalam perjalanan berikutnya untuk
menghadapi berbagai suku yang melawannya.
Untuk
mengikuti makan bersama Paskah ini, semua peserta harus sudah berkhitan, maka
dijalankan khitanan massal.
Tetapi
apabila seorang asing telah menetap padamu dan mau merayakan Paskah bagi Tuhan,
maka setiap laki-laki yang bersama dengan dia wajiblah disunat; barulah ia
boleh mendekat untuk merayakannya; ia akan dianggap sebagai orang asli. Tetapi
tidak seorang pun yang tidak bersunat boleh memakannya. (Keluaran, 12: 48)
c.
Sebelum nabi Musa wafat di atas gunung Nebo, telah diangkat Yusya’ sebagai
penggantinya, yaitu bekas abdinya yang setia. 40 tahun Bani Isroil merantau di
padang Tiah dalam perjalanan mengembara makan sehari-harinya hanya manna yang
turunkan Alloh dari langit.
Setelah
sampai di Kan’an, Alloh memerintahkan kepada nabi Yusya’:
“Buatlah
pisau dari batu dan sunatlah lagi orang Israel itu untuk kedua kalinya.” (Yusya’,
5: 2)
Yusya’
kemudian menyunati semua rakyatnya yang dalam perjalanan 40 tahun. Karena
setelah menginjak tanah Kan’an itu, segala persiapan keagamaan harus
diperbarui.
2.
Nabi Yesaya (700 SM)
Dalam
kitab Perjanjian Lama, dari nabi ini hanya didapat suatu kesan bahwa yang
berhak masuk ke Ka’bah Yerusalem harus orang yang sudah berkhitan dan suci
(tidak najis). (Yesaya, 52: 1)
3.
Nabi Yeremia (600 SM)
Alloh
bersabda kepada nabi Yeremia:
“Sunatlah
dirimu bagi Tuhan, dan jauhkanlah kulit khatan hatimu, hai orang Yehuda dan
penduduk Yerusalem, supaya jangan murkaKu mengamuk seperti api, dan
menyala-nyala dengan tidak ada yang memadamkan, oleh karena
perbuatan-perbuatanmu yang jahat!” (Yeremia, 4: 4)
Di
sini juga ditegaskan bahwa khitan jasmani dan ruhani untuk menertibkan kesucian
dan kebersihan badan, dan bagi kemurnian keikhlasan hati. Sebab Bani Isroil
sudah dikenal suka rewel dan mengomel, keras kepala pula.
4.
Raja Antiochus (176-164 SM)
Raja
keturunan Yunani penjajah Syria yang beristana di Antiokia bernama Antiochus IV
Epyphanus terkenal kekejamannya karena ia merencanakan penghapusan segala
bentuk yang berbau Yahudi untuk diganti dengan Hellenisme secara mutlak. Ia
melarang segala upacara khitanan, hari Sabat dan hari-hari raya lainnya.
Ka’bah
Yerusalem dijadikan sebagai tempat pemujaan dewa bapak Zeus dari gunung
Olympus, sebuah altar dewa Zeus dipasang atas altar korban Yahudi. Di mana-mana
didirikan altar Yunani dan ditempatkan petugas-petugasnya untuk menggiring
rakyat memuja dewa-dewanya. Maka timbullah pemberontakan kaum Yahudi yang
terkenal dengan gerakan Makkabi dan berhasil merebut kemerdekaan. Jadi,
penodaan berupa larangan berkhitan bisa menambah semangat perjuangan mengatasi
penjajahan Yunani di Yerusalem.
5.
Nabi Isa Al Masih (abad I M)
Ada
dua ayat Injil yang menunjukkan bahwa Al Masih menunjukkan dirinya tetap patuh
mengamalkan segala hukum Taurot sampai detail.
a.
Sabdanya dalam Matius, 5: 17-18
“Janganlah
kamu menyangka bahwa Aku datang untuk meniadakan hukum Taurot atau kitab para
nabi. Aku datang bukan untuk meniadakannya, melainkan untuk menggenapinya.”
“Karena
Aku berkata kepadamu: Sesungguhnya selama belum lenyap langit dan bumi ini,
satu iota atau satu titik pun tidak akan ditiadakan dari hukum Taurot sebelum
semuanya terjadi.”
Ayat
ini menegaskan bahwa Al Masih benar-benar konsisten hingga semuanya bisa
dijalankan. Artinya, semuanya telah dipenuhi hukum syari’atnya.
b.
Al Masih mengingatkan hukum khitan dari Musa yang berasal dari nabi Ibrohim as,
juga memperingatkan bahwa khitanan tidak perlu dijatuhkan pada hari Sabat.
Lagi, nabi itu membolehkan amal penyembuhan pada hari Sabat yang memang ada
larangan untuk kerja pada hari itu. Demikian sabdanya dalam Yohanes, 7: 22-23
Jadi:
Musa menetapkan supaya kamu bersunat -sebenarnya sunat itu tidak berasal dari
Musa, tapi dari nenek moyang kita- dan kamu menyunat orang pada hari Sabat!
Jikalau
seorang menerima sunat pada hari Sabat, supaya jangan melanggar hukum Musa,
mengapa kamu marah kepadaKu, karena Aku menyembuhkan seluruh tubuh seorang
manusia pada hari Sabat.
Ajaran
Al Masih tersebut perlu kita ketahui sebab apakah kamu Nasrani di Barat tidak
menjalankan khitanan, sedang Al Masih menunjukkan kepatuhannya terhadap Taurot?
6.
Paulus Orang Yahudi Termakan Mistik Stoa
Paulus,
nama Yahudinya adalah Saul. Lahir di kota Tarsus di Asia Kecil, anak dari
seorang amtenar pemerintah Romawi yang sejak tahun 63 menjajah Yerusalem.
Pada
masa kecilnya di kota itu terdapat suatu padepokan mistik Stoa yang gurunya
bernama Athenodorus, rekan dan sekaligus guru kaisar Augustus. Jadi, guru itu
cukup tersohor, apalagi tiap tahun diadakan pesta peringatan bagi mendiang
tokoh guru tadi.
Pada
masa remajanya, Paulus belajar di padepokan imam Gamaliel yang mengajar isi
kitab Taurot dari golongan Parisi yang suka berdalil ayat kitab suci. Paulus
yang sangat dewasa dididik dengan fanatisme agama Yahudi, namun ia juga
mengerti aliran filsafat Yunani yang bermazhab Stoicisme dari sinisme yang pada
suatu saat sifatnya bisa berbalik haluan.
Sepanjang
ia masih belajar di pondok Gamaliel, tentu ia tak pernah melihat atau berjumpa
dengan nabi Isa Al Masih, meski hidup sebaya.
Paulus
yang latar belakang pengalamannya mengandung aneka ragam pandangan itu
dianugerahi lancar bicara dan mudah meniru dialek-dialek bahasa populer Yunani.
Oleh
karena seluruh ajaran Paulus diikuti oleh kaum Gereja, maka banyak pendapatnya
tentang khitan yang menyebabkan kaum Nasrani Eropa cenderung memilih ajaran
Paulus dibanding ajaran murid Al Masih, diantaranya sebagai berikut:
1)
Nasib kaum Yahudi yang sering memberontak dan ditindas. Oleh rezim Yunani, kaum
itu telah ditindas (Antiochus) pada abad II SM. Pada abad Masehi pertama
pemberontakannya ditindas oleh tentara Romawi di bawah panglima Titus pada
tahun 70, sehingga Ka’bah Yerusalem dihancurkan secara total.
2)
Rezim Yunani. Rezim tersebut berusaha me-Yunani-kan kaum Yahudi. Dan ternyata
pada kemudian hari Hellenisme diteruskan oleh bangsa Romawi, hingga
penganiayaan yang bertubi-tubi itu mendorong kaum itu untuk terpaksa hidup
terus dalam arus kebudayaan itu, termasuk aliran Stoa.
3)
Stoicisme. Stoicisme yang tumbuh sejak beberapa abad sebelum Masehi, kemudian
diperkembang dengan gagasan-gagasan Paulus yang mistiknya terfokus kepada
Kristus (kristo-sentris pada abad I M), lalu disambut oleh aliran Gnosticisme
(abad II) yang menolak segala yang berbau hukum Taurot untuk mengkhususkan
kepada doktrin Paulus semata. Selanjutnya diperkembang dengan neo-Platonisme,
disusul dengan Montanisme dengan idenya menyusun hierarchi pejabat kegerejaan.
Manicheisme (filsafat Persi) yang menyuburkan trinitas, pada akhirnya diperkaya
dengan tradisionalisme agama misteri (penyembah dewa-dewa yang dipatungkan)
yang dipertahankan oleh kaisar Konstantin (288-237 SM) terutama dari tradisi
penyembahan dewa Mithra dari Persi kemudian sampailah pada benruk Kristianisme.
Sedang Konstantin sendiri merintis sikap antisemitisme yang berkepanjangan
sampai pada pertengahan awal abad XX akhir-akhir ini.
Perlu
dipahami kiranya tentang karakteristik golongan mistik Stoicisme -yang telah
Penulis kumpulkan data-datanya dari berbagai buku karangan seorang teolog
Belanda- yang biasanya dianggap radikal penemuannya oleh para teolog
konservatif. Dia adalah Prof. DR. G. A. Van de Bergh van Eysinga yang telah
berhasil membuat evaluasi pendirian Paulus, satu demi satu. (Bisa dibaca dalam
buku “Nabi Palsu”). Tetapi kita di sini cukup membaca pendapat para teolog
Katholik tentang kondisi mental ideologi Paulus serta mentalitas pribadinya.
Oleh
buku Katholik, “Kitab Suci Perjanjian Baru” diterangkan bahwa:
Memanglah
Paulus adalah seorang Yahudi, tetapi seorang Yahudi yang memiliki bagian
kebudayaan Yunani cukup besar. Mungkin ini mulai diperolehnya semasa mudanya di
Tarsus dan kemudian di perkaya karena Paulus sering berjumpa dengan dunia
Yunani-Romawi. Pengaruh dari kebudayaan Yunani itu tercermin baik dalam jalan
pikiran Paulus maupun dalam bahasa serta gaya bahasanya. Ada kalanya Paulus
mengutip penulis-penulis Yunani, 1Kor 15:33; Tit 1:12; Kis 17:28, dan ia pasti
mengenal filsafat populer yang berdasar atas mazhab Stoa; dari padanya ia
meminjam gagasan-gagasan (misalnya: perginya jiwa yang terpisah dari badan ke
dunia ilahi 2Kor 5:6-8; “pleroma” kosmis, Kol dan Ef) dan rumus-rumus tertentu
(1Kor 5:6-8; Rom 11:36; Ef 4:6). Dari mazhab Stoa yang berhaluan sinis Paulus
mengambil alih apa yang disebutkan sebagai “diatribe (kecaman tajam).”[4]
Juga
buku Katholik lainnya, Injil, tentang kelemahan Paulus, yakni:
Sering
pula dalam perangkaian kalimat, terlebih kalimat yang berbelit-belit atau unsur
bahasa lain, sangat menghambat dan mengganggu pembacaan dan boleh dikatakan
berlawanan dengan bahasa yang teratur.[5]
Bahasa
Paulus jarang tenang, biasanya hidup dan bersemangat. Tetapi dengan itu juga
sering berbelit dan kabur.[6]
7.
Doktrin Paulus
Sekarang
kita membaca tulisan Paulus sendiri sampai berapa jauh kekaburannya dalam
bidang khitan yang dibelokkannya dari fungsi semula dari perintah Alloh dalam
Taurot dan perjalanan nabi Isa sendiri.
a.
Anggapan sepi terhadap perintah khitan
Sebab
bersunat atau tidak bersunat tidak ada artinya, tetapi menjadi ciptaan baru
itulah yang ada artinya. (Galatia, 6: 15)
Kalau
seorang dipanggil dalam keadaan bersunat, janganlah ia berusaha meniadakan
tanda-tanda sunat itu. Dan kalau seorang dipanggil dalam keadaan tidak
bersunat, janganlah ia mau bersunat. (1Korintus, 7: 18)
Sebab
bersunat atau tidak bersunat tidak penting. Yang penting ialah mentaati hukum
Allah. (1Korintus, 7: 19)
Paulus
berarti mengajarkan dualisme negatif dalam agama dan mengerti bahwa khitan adalah
hukum Alloh, namun ia membuatnya abstrak dan menganggapnya tak berharga dengan
ungkapan kata-katanya, “tidak apa-apa” menjadilah simpang siur. Di satu tempat
menganjurkan khitan, sedang di tempat lain melarangnya. Antara kebudayaan yang
berbeda dan tentang larangan agama juga boleh dibuat permainan malah dijadikan
satu ajaran dalam agamanya. Aneh tapi nyata, namun itu tidak dibenarkan.
b.
Amalan nabi Ibrohim as di otak-atik
Paulus
menulis:
Adakah
ucapan bahagia ini hanya berlaku bagi orang bersunat saja atau juga bagi orang
tak bersunat? Sebab telah kami katakan, bahwa kepada Abraham iman
diperhitungkan sebagai kebenaran. (Roma, 4: 9)
Dalam
keadaan manakah hal itu diperhitungkan? Sebelum atau sesudah ia disunat? Bukan
sesudah disunat, tetapi sebelumnya. (Roma, 4: 10)
Di
sini tampak Paulus tidak mau mengerti bahwa sesudah beriman lalu diharuskan
menjalani khitan sebagai konsekuensi itu dikebirinya. Memang tampak getolnya
untuk mempengaruhi bangsa asing (Yunani dan Romawi) agar mengikuti doktrinnya,
bukan diperuntukkan bangsa Yahudi sendiri. Di mata orang asing dan kafir,
khitanan itu memang bisa dianggap sebagai perbuatan mengalirkan darah yang
tiada berfaedah atau tampak kejam. Memang suatu ujian bagi orang beriman.
c.
Khitan hati yang dipilih
Khitan
yang ia pilih ialah bukan khitan tubuh (daging kulup) yang diperintahkan Alloh.
Ia menulis:
Tetapi
orang Yahudi sejati ialah dia yang tidak nampak keyahudiannya dan sunat ialah
sunat di dalam hati, secara ruhani, bukan secara hurufiah. Maka pujian baginya
datang bukan dari manusia, melainkan dari Allah. (Roma, 2: 29)
Jelaslah
bahwa Paulus sengaja mengebiri khitan tubuh untuk disisakan yang khitan hati;
suatu perbuatan memilih enaknya sendiri. Maklumlah, telah termakan ilmu mistik
filsafat Yunani.
d.
Sengaja melanggar hukum khitan
Sesungguhnya
aku, Paulus, berkata kepadamu: jikalau kamu menyunatkan dirimu, Kristus sama
sekali tidak akan berguna bagimu. (Galatia, 5: 2)
Di
sini nama dirinya tampaknya dibuat menggertak, karena memandang adanya
sekelompok orang yang akan melaksanakan khitan. Suatu gejala yang menunjukkan
pahamnya yang sudah fanatik Stoicisme mistis.
e.
Paulus pernah mengkhitani
Paulus
pernah mengkhitani anak seorang perempuan Yahudi yang suaminya seorang Grik
bernama Timotius. (Kisah Rasul, 16: 3)
Memang
ia pernah mengatakan, di kalangan golongan bersunat ia bertindak seperti
golongan berkhitan, sedang dalam lingkungan orang yang tak berkhitan ia
mengikuti arus tanpa khitan.
Sikap
plin-plan ini sering ditemukan di kalangan mistik yang mengutamakan ma’rifat
dan hikmah untuk meninggalkan hukum syari’at. Seperti Paulus dengan tersalibnya
Kristus yang dianggapnya sebagai penebus dosa, maka hukum syari’at Taurot sudah
digantikannya. Paulus berkata:
Supaya
hati mereka terhibur dan mereka bersatu dalam kasih, sehingga mereka memperoleh
segala kekayaan dan keyakinan pengertian, dan mengenal rahasia Allah, yaitu
Kristus. (Kolose, 2: 2)
Sebab
di dalam Dialah tersembunyi segala harta hikmat dan pengetahuan. (Kolose, 2: 3)
Di
sinilah Paulus berlindung pada kata ma’rifat dan hikmat yang bertumpu pada diri
Kristus. Itu artinya, Kristo-sentris. Bermistik Kristo-sentris ini bisa dibaca
gejalanya dalam ucapannya yang bernada Pantheisme:
Namun
aku hidup, tetapi bukan lagi aku sendiri yang hidup, melainkan Kristus yang
hidup di dalam aku. Dan hidupku yang kuhidupi sekarang di dalam daging adalah
hidup oleh iman dalam Anak Allah yang telah mengasihi aku dan menyerahkan
diriNya untuk aku. (Galatia, 2: 20)
f.
Khitan diganti dengan baptisan
Paulus
menulis:
Sebab
dalam Dialah berdiam secara jasmaniah seluruh kepenuhan keAllahan. (Kolose, 2:
9)
Dan
kamu telah dipenuhi di dalam Dia. Dialah kepala semua perintah dan penguasa.
(Ayat 10)
Dalam
Dia kamu telah disunat. Bukan dengan sunat yang dilakukan manusia, tetapi
dengan sunat Kristus yang terdiri dari penanggalan akan tubuh yang berdosa.
(Ayat 11)
Karena
dengan Dia kamu dikuburkan dalam baptisan, dan di dalam Dia kamu turut
dibangkitkan juga oleh kepercayaanmu kepada kerja kuasa Allah yang telah
membangkitkan Dia dari orang mati. (Ayat 12)
Dengan
tulisan Paulus ini, kedudukan Alloh sudah ditempatkan lebih rendah daripada
Kristus yang dipujanya. Karena dinyatakan wujud Alloh berlembaga terhimpun
dalam Kristus.
Soal
pembaptisan ini -bila kita teliti- asal mulanya dan membaca buku karangan DR.
Max Carry dan DR. T. J. Haarhoff, “Leven en Denken in de Klassieke Wereld”
setelah menyatakan bahwa 25 Desember hari kelahiran dewa Mithra, kemudian menerangkan
demikian:
“De
aanhangers van Mithras kenden ook een doop en een confirmatie; pengikut dewa
Mithra kenal juga pembaptisan dan sumpah penguatan.”[7]
Baptisan
sering juga disebut “pemandian” yang di kalangan Yahudi dilakukan ketika
menerima mu’allaf dari konversi agama, dijalankan dengan penyelupan tubuhnya
dalam air. Yang terkenal dalam Injil adalah Al Masih dibaptis oleh nabi Yahya
Pembaptis. Artinya, Al Masih dipermandikan dalam kali Yordan.
Berbagai
mazhab Gereja masing-masing berbeda cara dalam mengadakan pemandian. Ada yang
dibaptis diharuskan menyelam dalam air bak sedalam hampir setinggi orang; ada
lagi dengan memilih kali yang dianggap cocok. Sedang golongan Reformasi cukup
dengan usapan air seperlunya, dan Katholik dengan usapan minyak khusus.
g.
Kebiri dengan membuang kedua bola berikut kantongnya
Perbuatan
mengebiri orang laki-laki ini biasanya ditemukan pada abad yang lampau dan
sebelumnya, terutama di istana untuk menjaga putri-putri di keraton atau
penjaga berbagai tempat suci atau kuil.
Dalam
Injil Matius, Al Masih as menerangkan berbagai motivasi pengebirian,
Ada
orang yang tidak dapat kawin karena ia memang lahir demikian dari rahim ibunya,
dan ada orang yang dijadikan demikian oleh orang lain, dan ada orang yang
membuat dirinya demikian karena Kerajaan Sorga. Siapa yang dapat mengerti,
hendaklah ia mengerti. (Matius, 19: 12)
Ayat
ini mengingatkan Penulis sekitat tahun 1963 diminta oleh seorang mahasiswa
Universitas Diponegoro Semarang untuk berdialog dengan Pendeta Katholik yang
sarjana/insinyur keturunan Perancis bernama Ir. Frans Dahler yang menjabat
dosen di Undip.
Pada
kenyataannya seolah-olah Penulis hanya ikut mendengarkan pembicaraan antara
mahasiswa dengan Pendeta itu yang sama-sama bersemangat berargumen.
Pertanyaan-pertanyaan
mahasiswa diantaranya adalah, “Sebab apakah orang Katholik banyak yang suka
hidup kependetaan secara wadat?” Oleh di Pendeta, diambilkan dari ayat Matius
tersebut.
Pembicaraan
begitu asyik, hingga waktu terasa cepat habis. Dan Penulis sendiri belum
mendapat giliran untuk memberi tanggapan.
Dalam
perjalanan pulang, Penulis hanya memberitahukan kepada mahasiswa, bahwa Pendeta
tadi tidak tepat menggunakan ayat itu untuk membela kepentingan hidup wadat
kependetaan. Pertama, Pendeta tidak menjalani kebiri. Lagi pula ayat Injil itu
tidak mengarah kepada arti kependetaan. Dan sabda Al Masih bukan merupakan
perintah untuk diamalkan, hanya berupa pemberitaan saja bahwa ada 3 macam
terjadinya kebiri.
Kalau
diteliti asal mulanya kependetaan di kalangan Gereja adalah lewat aliran Stoa
mazhab Sinisme yang berasal dari pengaruh filosuf Pythagoras (570-507 SM) dan
filosuf ini mendapat pengaruh dari Persia dan India.
Paulus
menulis demikian
Tetapi
kepada orang-orang yang tidak kawin dan kepada janda-janda aku anjurkan supaya
baiklah mereka tinggal dalam keadaan seperti aku. (1Korintus, 7: 8)
Pada
umumnya orang hidup sebagai rahib bertujuan untuk mencapai ketinggian nilai
moral dengan memperbanyak puasa, hidup wadat serta renungan semedi di tempat
yang sepi atau meninggalkan kesenangan kehidupan dunia. Akan hal ini, Alloh
telah menyatakan bahwa sistem kerahiban itu bukan berasal dari ajaran Alloh,
“Kemudian
Kami iringi di belakang mereka dengan rosul-rosul Kami dan Kami iringi (pula)
dengan Isa putra Maryam; dan Kami berikan kepadanya Injil dan Kami jadikan
dalam hati orang-orang yang mengikutinya rasa santun dan kasih sayang. Dan
mereka mengada-adakan rohbaniyyah padahal kami tidak
mewajibkannya kepada mereka tetapi (mereka sendirilah yang mengada-adakannya)
untuk mencari keridhoan Alloh, lalu mereka tidak memeliharanya dengan
pemeliharaan yang semestinya. Maka Kami berikan kepada orang-orang yang beriman
di antara mereka pahalanya dan banyak di antara mereka orang-orang fasik. (QS.
Al Hadid [57]: 27). Dan nabi Muhammad saw telah melarang perbuatan asketisme
(kependetaan) yang hampir saja akan dijalankan Abu Darda’.
Semestinya
makalah ini dilengkapi dengan perbuatan Paulus yang banyak diceritakan oleh
muridnya -Lukas- tentang mu’jizat-mu’jizatnyavyang tampak kabur, tampangnya,
perangai, dan kemegahannya serta wangsit yang disebut “wahyu Kristus”.
Demikianlah
persoalan perintah khitan yang mengalami westernisasi (helenisasi dan
romanisasi), namun oleh Islam dikembalikan kedudukannya sesuai proporsi semula.
Yang berhasil mengembalikannya bukan yang pandai membaca dan tulis seperti Ahli
Kitab, bahkan sebaliknya yang tergolong ummi. Ialah nabi Muhammad saw yang ummi
dari bangsa Quroisy demi untuk membuktikan eksistensi Alloh secara konkrit.
Tetapi yang mampu membaca dan menulia justru mengebiri kontinuitas ajaran Alloh
berabad lamanya. Hal ini baru masalah khitan saja. Ada lagi yang lebih gawat
adalah yang menyangkut masalah ketuhanan.
Al
Masih tegas-tegas menjelaskan bahwa orang yang menyeru dirinya dengan seruan: “Tuhan,
Tuhan! Tidak akan masuk Kerajaan Sorga” sebagaimana yang tercantum dalam
Matius, 7: 21. Namun ternyata Paulus bahkan mengajarkan bahwa, “Yesus Kristus
adalah Tuhan”, dan Alloh disebutnya Bapa (Filipi, 2: 11), hingga bisa merusak
kedudukan eksistensi Alloh yang Maha Suci. Seolah-olah Paulus bisa dianggap
seperti mengajak untuk tidak masuk surga saja.
Kesimpulan
Demikianlah
nasib ajaran Alloh yang harus dijaga kesuciannya, karena sudah direncanakan
akan berlangsung utuh murni, tetapi kenyataan menunjukkan bahwa pengaruh
kebudayaan Barat, Hellenisme, dan dominasi Romawi yang selamanya masih
dijunjung tinggi oleh bangsa Barat lebih dominan. Layaklah dalam agamanya orang
Barat itu banyak mengandung penyimpangan, perubahan, dan pengurangan terhadap
keaslian wahyu yang diajarkan oleh Alloh lewat nabi-nabi. Maka bagi bangsa
Timur yang ikut-ikut memeluk agamanya orang Barat dengan mengikuti apa saja
yang diajarkan orang Barat tanpa mengerti mana yang asli, mana yang tidak, apa
itu kritik ayat atau sumber tradisi polytheism dan filsafat yang serba
spekulatif. Terjadilah korban westernisasi. Orang Barat pun tidak akan sempat
membuka rahasianya. Walhasil, kontinuitas dengan nabi-nabi sendiri oleh orang
Barat sangat kurang diberitahukan, meskipun ada kemampuan untuk memberitahukan
soal itu semua.
Surakarta,
8 Juni 1985
Ky.
Arkanuddin
______________
[1]
Kaj Birket-Smith. De Weg der Beschaving; Inleideing tot de Ethnologie.
(Antwerpen Amsterdam: Ditmar NV, 1950), page 172.
[2]
Ky. Arkanuddin. Wawancara di rumah Penulis di Priyobadan 13, Solo.
Januari-Desember 1975.
[3]
ibid
[4]
Kitab Suci Perjanjian Baru. (Ende-Flores: Penerbit Nusa Indah, 1974), hal. 340.
[5]
Injil, (Ende-Flores: Percetakan Arnoldus, 1965), hal. 530.
[6]
ibid., hal. 527.
[7]
DR. Max Carry dan DR. T. J. Haarhoff. Leven en Denken in de Klassieke Wereld.
(Antwerpen: Utrecht Aula Boeken, 1964), page 400.
Resentator: Harmasto Hendro Kusworo
0 Komentar