Kudus. Sebuah kabupaten di
sebelah Utara Jawa Tengah dan satu-satunya nama tempat yang berasal dari bahasa
Arab.
Menyebut nama “Kudus”,
benak kita akan lebih banyak mengidentikkan dengan “Kota Wali” atau sejenisnya.
Tetapi yang unik, sangat sedikit sejarawan yang menelisik kabupaten Kudus
–terutama icon Kudus berupa menara masjidnya.
H.J.G. Graaf menulis
tentang masjid Jepara (1936), Dr. Hoesein Djajadiningrat membuat disertasi
tentang Sejarah Betawi (1913), J.P. Moquette meneliti nisan Maulana Malik Ibrahim
di Gresik (1912), J.P. Perquin menulis tentang Kraton Kasepuhan Cirebon (1928),
Dr. D.A. Rinkers menulis tentang Ki Pandan Arang dan Syekh Siti Jenar, Dr. Ph. S. Ronkel menulis tentang
makam Maulana Malik Ibrahim (1910), Dr. B.J.O. Schrieke membuat disertasi
tentang Bonang, Dr. A. Steinmann menulis tentang ukiran Jepara (1934), W.I. Van
Wall menulis tentang Banten, Dr. K.C. Crucq meneliti meriam Ki Amoek di Banten,
Dr. J. Brandes menulis Babad Cirebon, Jan Edel membuat disertasi tentang
Hikayat Hasanoeddin (1938).
Dari sekian tulisan
sejarah kedaerahan, hanya sedikit yang membahas tentang Kudus maupun Sunan
Kudus, di antaranya Dr. W.F. Stutterheim, Dr. G.F. Pijper, A.J. Bernet Kempers,
Dr. Soetjipto Wirjosoeparto, B. Schrieke, Fruin Mees. Dari sekian nama
peneliti, belum satu pun yang membahas Kudus secara mendalam.
Pada bab I dibahas tentang
anatomi Kudus, dari Nama dan letak Kudus, Penduduknya, Bahasanya, Adat
Perkawinannya, dan Daerah Sekitarnya.
Membahas Kudus, tak lepas
dari membahas asal-usulnya. Dan Islam menjadi poin penting dalam sejarah Kudus.
Menurut catatan Tionghoa,
tahun 1416 M di tanah Jawa sudah banyak orang Islam, tetapi orang asing.
Dalam inkripsi batu nisan
di Leran, bertuliskan nama “Fatimah binti Maimun bin Hibatallah” berangka tahun
475 (atau 495?) H, bertepatan dengan tahun 1082/3 (atau 1101/2?).
Angka tahun di atas nisan
Maulana Malik Ibrahim yang tertulis 822 H atau 1419 M.
Menelisik nasab Sunan
Kudus –sebagai tokoh yang namanya diambil dari nama tempat– ini ada beberapa
sumber:
Sumber A: Nabi Muhammad –
‘Ali – Husain – Zainal Abidin – Zainul Kabir (keberadaannya diragukan) –
Mahmudi Nil Kabir – Dulnapi – Ampel – Nyi Ageng Manyuro – Sunan Ngudung – Sunan
Kudus.
Sumber B: Nabi Muhammad –
‘Ali – Husain – Zainal Abidin – Zainul Alim – Zaini Al-Kubro – Zaini Al-Khusain
– Maulana Jumadil Kubro – Ibrahim Asmarakandi (dari Samarkand) – ‘Utsman Haji
(Sunan Ngudung) – Sunan Kudus (Ja’far Shodiq).
Dikupas pula jati diri
Ja’far Ash-Shodiq yang dikaitkan dengan Syi’ah.
Dalam “Shorter Encyclopaedia of Islam”
disebutkan,
“Ja’far b. Muhammad also called Al-Sadiq (“the Trustworthy”) the sixth
of the twelve Imams. Ja’far was born in 80/699-700 or 83/702-3 and succeeded
his father Muhammad al-Baker as Imam. He played no part in politics. On the other
hand he was celebrated for his thorough knowledge of tradition and is said also
to have accupied himself with astrology, alchemy, and other secret sciences. He
died in Madina in 148/756. The members of the Imamiya sect are agreed upon the
succession to the Imamate down to this time, but they so not agree as to his
rightful successor, for he had several sons and no fewes than four of them.
Muhammad, Abd. Allah, Musa, and Ismail claimed the Imamate. His son Musa
Al-Karim is however recognised by most as the seventh Imam; Ja’far bin
Muhammad yang juga disebut “Al-Shodiq” (orang yang dapat dipercaya) yang keenam
dari kedua belas imam. Ja’far dilahirkan dalam tahun 80/699-700 atau 83/702-3
dan menggantikan ayahnya yang bernama Muhammad Al-Baker sebagai imam. Dia tidak
memainkan peranan dalam politik. Sebaliknya, ia sangat terkenal karena
pengetahuannya yang mendalam mengenai adat istiadat dan orang mengatakan,bahwa
ia menyibukkan diri dengan ilmu perbintangan, kimia, dan
pengetahuan-pengetahuan lainnya yang masih bersifat rahasia. Ia meninggal di
Madinah tahun 148/756. Para anggota dari sekte Imamiyah setuju mengenai
pengganti keimanan sejak masanya, akan tetapi mereka tidak setuju terhadap
penggantinya yang berhak, karena ia mempunyai beberapa anak laki-laki dan tidak
kurang dari empat diantara mereka. Muhammad Abdul Allah, Musa, dan Ismail
menuntut jabatan keimanan tetapi anaknya Musa Al-Karim diakui oleh orang banyak
sebagai imam yang ketujuh.”
Benarkah Sunan Kudus –yang
bernama Ja’far Shodiq– beragama Syi’ah?
Para sejarawan menjawabnya
dengan faktor mazhab, bahwa Sunan Kudus dan masyarakat Kudus menggunakan mazhab
Syafi’i.
Konon, Sunan Kudus berasal
dari Palestina. Itu sebabnya, keahlian pejuang menjadi ciri khas Sunan Kudus
yang juga mengemban amanah sebagai Senopati kerajaan Demak.
Beberapa kesimpulan dari
buku ini:
» Kata “Kudus” berasal
dari nama masjid di Palestina, yakni Al-Quds.
» Kata “Muria” juga
berasal dari nama gunung di Palestina, Moriah.
» Masjid Kudus tidak
didirikan oleh Sunan Kudus; tapi jauh sebelum itu (956 H
atau 1549 M).
» Dari bentuk menara
Masjid Kudus (akulturasi) dapat dipastikan bahwa penyebaran Islam di Kudus
dengan jalan damai.
Daftar Isi
Pendahuluan (Kudus, nama dan letaknya; Penduduknya; Bahasanya;
Adat Perkawinan; Daerah Sekitarnya)
Riwayat Penyelidikan
Masuknya Islam di Jawa (Sekitar Wali Songo; Silsilah Sunan
Kudus; Nama Ja’far Shodiq; Menimbulkan Tanda Tanya; Sunan Kudus dalam Legenda;
Sunan Kudus dalam Sejarah)
Peninggalan Islam Zaman Kuno di Kudus (Pengertian tentang Masjid;
Masjid Kuno Kudus; Menara Masjid Kudus; Makam Sunan Kudus; Gapura-gapura;
Bangunan-bangunan Lainnya; Makam-makam Suci)
Kudus dalam Rangka Sejarah (Inkripsi Masjid Kudus; Beberapa Perbandingan;
Kemungkinan; Kesimpulan)
Pada zamannya, kajian Solichin
Salam ini memang memberikan cara baca tersendiri tentang sejarah Kudus; meskipun
pada perkembangannya, ada temuan-temuan baru terkait identitas dan alur dakwah para
Walisongo –Solichin menyebutkan bahwa jumlah Sunan ada sembilan. Selain itu, penempatan catatan pada endnote memaksa pembaca untuk melacak di akhir buku.
Judul: Kudus Purbakala dalam Perjoangan Islam
Penulis: Solichin Salam
Tebal: x+70 hlm.
Dimensi: 14,5x20,5 cm
Cetakan: VI, 1982
Penerbit: Menara, Kudus
Resentator: Harmasto
Hendro Kusworo
0 Komentar