Memperkenalkan dua pelaku dialog: Pastur Zwimer adalah seorang pendeta Nasrani yang
mempelajari Islam dengan maksud tidak terpuji. Ia mempelajari Islam tidak untuk mencari kebenaran. Ia
meneliti Islam tidak dalam
kedudukannya sebagai seorang Pastur Nasrani yang baik, tetapi ia bermaksud
untuk memperoleh bahan yang dapat menimbulkan keraguan-raguan seorang Muslim terhadap agamanya, dengan
mengemukakan beberapa hal yang dianggap kabur dan mengajukan pemikiran yang
kontras. Seandainya dia mempelajari Islam
untuk memperolah pandangan yang benar, niscayalah hal-hal yang masih kabur itu
gampang dimengerti dan tentu tidak akan senang mereka mengajukan hal-hal yang
kabur tersebut terhadap seorang Muslim
agar timbul keraguannya terhadap kebenaran agamanya, sehingga ia menghadapi
agamanya dengan rasa menghina, karena sifat remeh dan sepele masalahnya.
Sedangkan Muhammad Muhktar -salah seorang penduduk Kairo- adalah seorang anak yang oleh ayahnya
sejak kecil dididik dalam suasana keagamaan. Ia telah hafal Al-Qur’an, mengerti aqidah-aqidah agamanya
secara benar, bersopan santun secara baik menurut Islam,
dan berkepribadian terpuji. Pada waktu ia berumur sepuluh tahun, ia dimasukkan
sekolah dasar Amiriyah. Ia
tergolong murid rajin, sehingga setiap tahun memperoleh derajat bintang kelas.
Setelah menamatkan sekolah dasarnya, oleh ayahnya dimasukkan ke sekolah
lanjutan Pertama di Amiriyah. Di sini pun ia
memperoleh keberhasilan seperti ketika di Sekolah Dasar, sehingga ayahnya
sangat mencintainya dan menjadi anak yang memperoleh perhatian besar. Setiap
tahun dibawa oleh ayahnya berlibur ke kota Iskandariyah untuk menghabiskan waktu liburan di
musim panas dan untuk menghilangkan ketegangan belajar selama setahun. Ketika
tiba musim panas tahun 1345 H, atau 1926 M, ayahnya berangkat lebih dahulu ke
kota Iskandaryah, sedangkan Muhammad ditinggal untuk mengikuti ujian dan supaya
ia menyusul nanti.
Tatkala Muahammad telah menyelesaikan
ujiannya, lalu dia berjalan-jalan menelusuri separuh kota Iskandariyah. Ia menumpang kereta api pagi hari yang
berangkat di kota Kairo ke Iskandariyah.
Ia mengambil tempat duduk di dalam kereta api bersebelahan dengan Pastur Zwimer yang pada hari itu juga berpergian menuju kota Iskandariyah dalam tugas misionaris Nasrani. Sang
Pastur ini dengan teman-temannya sesama misionaris Nasrani mencurahkan seluruh
hidupnya untuk kegiatan misi Kristen, sehingga kesempatan sekecil apapun
pasti mereka gunakan sebaik-baiknya dan tidak pernah berhenti, baik ketika dalam perjalanan maupun di
kampung halaman. Demi misinya ini, mereka bertebaran di berbagai kota dan desa,
di rumah-rumah dan jalan-jalan, di tempat pertemuan umum maupun khusus, tidak
pernah mau merasa jenuh maupun letih, dan tidak pernah mempedulikan kesulitan
dan rintangan apapun. Sekalipun demikian,
toh mereka tidak memperoleh sukses dakwah di negeri-negeri Islam. Ketidaksuksesan ini bukanlah lantaran
usaha mereka yang kurang, tetapi hanyalah karena kekuatan aqidah Islam. Aqidah
yang kuat semacam ini seandainya berada di tangan para da’i yang memiliki
semangat dan aktivitas yang ada pada kaum misionaris Nasrani tersebut,
niscayalah berduyun-duyun manusia menjadi Muslim. Islam seperempat abad setelah
munculnya, telah berhasil menyebar ke sebagian besar daerah di belahan bumi
ini, padahal tidak memiliki sarana dakwah yang terorganisir seperti yang
dipergunakan oleh kaum misionaris Kristen. Maka betapalah jadinya keadaan
sekarang kalau Islam
memiliki sarana-sarana lengkap seperti itu dan dalam pengembangan dakwahnya
menggunakan berbagai jalan seperti tersebut yang menyediakan dana yang tidak
terbatas seperti yang dilakukan oleh golongan Nasrani.
Tak seberapa lama Muhammad duduk di samping Pastur Zwimer yang lihai tersebut, sudah muncullah
semangatnya untuk menjadikan Muhammad sebagai mangsa dan Muhammad terpedaya
oleh gaya pakaian Eropanya. Sang Pastur mengira anak kecil ini tidak mengerti
apa-apa tentang agamanya.
Ia merasakan menemukan jalanan yang
beruntung, karena duduk di samping
seorang pemuda belia yang dapat dijadikan umpan menanamkan pengaruhnya dan
menimbulkan keraguan di dalam
agamanya.
Sang Pastur berpaling kepada Muhammad
seraya berujar;
Pastur (P): “Mari silakan, Affandi” (bahasa Jawanya sama dengan “Mas”)
Muhamamd (M): “Terima kasih,
Mr.”
P: “Saya
bukan Mr., tetapi saya Pastur Zwimer, penginjil di Mesir ini.” Lalu dia menanyakan nama sang pemuda.
M: “Nama saya Muhammad.”
P: “Jadi, Anda seorang Muslim?”
M: “Ya,
saya Muslim”
P: “Adakah
Anda menghafal sesuatu ayat Al-Qur’an
yang diturunkan kepada Muhammad, Nabi Anda?”
M: “Saya
hafal semuanya.”
Sang Pastur nampak sekali terkejut. Sebab
ia belum pernah mengenal anak seumur Muhammad ini yang menaruh kesungguhan
dalam menghafal Al-Qur’an. Lalu sang Pastur berkata kepadanya.
P: “Golongan
Nasrani mendapat pujian yang baik di dalam Al-Qur’an
surat Al-Maidah ayat 82-85;
Sesungguhnya kamu dapati orang-orang yang paling keras permusuhannya terhadap orang-orang yang beriman ialah orang-orang Yahudi dan orang-orang musyrik. Dan sesungguhnya kamu dapati yang paling dekat persabahatannya dengan orang-orang yang beriman ialah orang-orang yang berkata: “Sesungguhnya kami ini orang Nasrani”. Yang demikian itu disebabkan karena di antara mereka itu (orang-orang Nasrani) terdapat pendeta-pendeta dan rahib-rahib, (juga) karena sesungguhnya mereka tidak menyombongkan diri. Dan apabila mereka mendengarkan apa yang diturunkan kepada Rosul (Muhammad), kamu melihat mata mereka mencucurkan air mata disebabkan kebenaran (Al-Qur’an) yang telah mereka ketahui (dari kitab-kitab mereka sendiri); seraya berkata: “Ya Tuhan kami, kami telah beriman. Maka catatlah kami bersama orang-orang yang menjadi saksi (atas kebenaran Al-Qur’an dan kenabian Muhammad saw). Mengapa kami tidak akan beriman kepada Alloh dan kepada kebenaran yang datang kepada kami, padahal kami sangat ingin agar Tuhan kami memasukkan kami ke dalam golongan orang-orang yang sholih?”. Maka Alloh memberi mereka pahala terhadap perkataan yang mereka ucapkan, (yaitu) surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya, sedang mereka kekal di dalamnya. Dan itulah balasan (bagi) orang-orang yang berbuat kebaikan (yang ikhlas keimanannya). (QS. Al-Maidah [5]: 82- 85).”
Sesungguhnya kamu dapati orang-orang yang paling keras permusuhannya terhadap orang-orang yang beriman ialah orang-orang Yahudi dan orang-orang musyrik. Dan sesungguhnya kamu dapati yang paling dekat persabahatannya dengan orang-orang yang beriman ialah orang-orang yang berkata: “Sesungguhnya kami ini orang Nasrani”. Yang demikian itu disebabkan karena di antara mereka itu (orang-orang Nasrani) terdapat pendeta-pendeta dan rahib-rahib, (juga) karena sesungguhnya mereka tidak menyombongkan diri. Dan apabila mereka mendengarkan apa yang diturunkan kepada Rosul (Muhammad), kamu melihat mata mereka mencucurkan air mata disebabkan kebenaran (Al-Qur’an) yang telah mereka ketahui (dari kitab-kitab mereka sendiri); seraya berkata: “Ya Tuhan kami, kami telah beriman. Maka catatlah kami bersama orang-orang yang menjadi saksi (atas kebenaran Al-Qur’an dan kenabian Muhammad saw). Mengapa kami tidak akan beriman kepada Alloh dan kepada kebenaran yang datang kepada kami, padahal kami sangat ingin agar Tuhan kami memasukkan kami ke dalam golongan orang-orang yang sholih?”. Maka Alloh memberi mereka pahala terhadap perkataan yang mereka ucapkan, (yaitu) surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya, sedang mereka kekal di dalamnya. Dan itulah balasan (bagi) orang-orang yang berbuat kebaikan (yang ikhlas keimanannya). (QS. Al-Maidah [5]: 82- 85).”
M: “Benar, Pastur. Ayat itu memuji kaum Nasrani dan melebihkan mereka dari kaum
Yahudi. Secara keseluruhan umat Nasrani lebih dekat rasa kecintaannya kepada kaum
Muslimin dibandingkan dengan umat Yahudi. Karena
kaum Nasrani agamanya diikuti oleh berbagai macam bangsa; bangsa Romawi, bangsa Mesir, Habsy, dan lain sebagainya. Sedangkan agama
Yahudi hanya diikuti bangsa Yahudi saja. Jadi, mereka punya fanatisme keagamaan dan
kebangsaan sekaligus. Di samping
itu, mereka punya anggapan
sebagai bangsa pilihan dan memandang bangsa lain dengan penuh kebencian dan penghinaan. Mereka sangat berbangga
diri dengan agamanya sebagai bukti Tuhan melebihkan mereka dari bangsa-bangsa
lainnya. Sikap ini membuat mereka menaruh jarak dengan bangsa-bangsa lain dan
tidak mau menyempaikan dakwah kepada orang luar untuk masuk agamanya. Karakter
ini mereka bawa sampai zaman kita sekarang. Selain itu, dapat pula dilihat betapa besarnya pengaruh-pengaruh
Islam di negara-negara Nasrani dan sambutan rakyat
kepada agama ini, sehingga dapat menjadi agama mayoritas. Sebaliknya, dengan bangsa Yahudi, mereka menjauh diri dari Islam dan lebih
senang diusir dari negeri Arab
yang beriman kepada Islam. Umat
Islam tidaklah berbuat jahat karena mengusir
Yahudi dari negari mereka tetapi hanyalah mengembalikan mereka ke tanah air
mereka semula, yakni negeri Syam
(Syria) yang sejak mereka terusir dari bangsa Romawi dilarang menetap di negeri
ini, bahkan negeri mereka
digusur.”
P: “Tetapi
kami melihat Al-Qur’an Anda memuji umat Nasrani di dalam ayat-ayat
tersebut, kemudian di ayat-ayat lain mencelanya. Celaan itu diantara lain
terdapat juga dalam surat Al-Maidah 72-73:
Sesungguhnya telah kafirlah
orang-orang yang berkata: “Sesungguhnya Alloh adalah Al-Masih putra Maryam”, padahal Al-Masih (sendiri)
berkata: “Hai Bani Isroil,
sembahlah Alloh
Tuhanku dan Tuhanmu.”
Sesungguhnya orang yang mempersekutukan (sesuatu dengan) Alloh, maka pasti Alloh mengharamkan kepadanya surga, dan
tempatnya ialah neraka. Tidaklah ada bagi orang-orang zholim itu seorang penolong pun. Sesungguhnya
kafirlah orang-orang yang mengatakan: “Bahwasanya Alloh salah satu dari yang tiga”, padahal
sekali-kali tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) selain Tuhan yang Esa. Jika mereka tidak berhenti dari
apa yang mereka katakan itu, pasti orang-orang yang kafir di antara mereka akan
ditimpa siksaan yang pedih.
(QS. Al-Maidah [5]: 72-73).
Bagaimana Al-Qur’an Anda ini, sekali memuji tetapi kali ini
mencela umat Nasrani di dalam surat yang sama pula, serta caci maki dan
berdebat secara tidak sehat dan tidak sanggup menerima kritik terhadap
agamanya, sehingga seolah-olah ia memaksa kehendaknya kepada orang lain dan
bukan bermaksud membuat lawan bicaranya menerima dengan penuh rasa hormat?”
M: “Al-Qur’an kami mengajarkan kepada kami
cara-cara bertukar pikiran di dalam urusan agama. Kami diperintahkan untuk
bertukar pikiran secara lemah lembut dan berlaku baik. Alloh berfirman di dalam surat Al-Ankabut [29]: 46:
Dan janganlah kamu berdebat
dengan Ahli Kitab melainkan dengan cara yang paling baik, kecuali dengan
orang-orang zholim
di antara mereka, dan katakanlah: “Kami telah beriman kepada (kitab-kitab) yang
diturunkan kepada kami dan yang diturunkan kepadamu; Tuhan kami dan Tuhanmu
adalah satu; dan kami hanya kepada-Nya berserah diri.
Boleh jadi, wahai Pastur, Anda sepakat
dengan saya bahwa cara untuk memperoleh kebenaran agama yakni dengan melakukan
pembahasan tentang pokok-pokok agama. Sedangkan cara yang Anda tempuh dengan menaburkan keraguan
disana sini tidaklah akan dapat memperoleh kebenaran dan hanya bertujuan
memasang duri di tengah jalan menuju ketidakbenaran yang membuat manusia menjadi
bingung memikirkan masalahnya.”
P: “Wahai Muhammad, kalau demikian, tidak ada lagi peluang baik terhadap Anda kecuali menyetujui apa yang Anda sebutkan tadi. Tetapi
saya melihat Anda
menyia-nyiakan waktu begitu banyak
dengan urusan-urausan kecil agama Anda.
Anda telah mengabaikan usaha di dalam urusan keduniaan Anda,
sehingga Anda hanya mengikuti
undang-undang buatan manusia. Tetapi anehnya, saya melihat Anda ini tetap bersikap fanatik memegang
prinsip-prinsip keislaman yang begitu hebat.
Cobalah Anda katakan kepadaku, wahai Muhammad, apa sebabnya Anda menjadi seorang Muslim? Padahal perintah Islam telah abaikan
dan Anda sibuk melaksanakan
hal-hal sepele dari ajaran Islam.”
M: “Memang,
wahai Pastur. Akan saya terangkan kepada Anda
mengapa saya menjadi Muslim. Mengapa keislaman kami tetap bertahan
sekali pun kami berlebih-lebih melaksanakan
hal-hal yang sepele. Akan saya terangkan kepada Anda betapa
kuatnya prinsip-prinsip Islam
yang menyebabkan orang-orang tetap bertahan dengan cara yang mengangumkan itu,
padahal mereka begitu berlebih-lebihan dalam soal-soal yang sepele dan tersita perhatiannya
pada hal-hal yang remeh tersebut.”
Sementara itu kereta api sudah pun telah masuk kota Iskandariyah.
Kedua orang ini sepakat mengadakan dialog-dialog di dalam masalah agama ini
dengan mengundang banyak orang bertempat di gedung Seminary di kota Iskandariyah
ini.
Lalu kedua orang ini turun dari Kereta Api
dan saling mengucapkan selamat berpisah, setelah menyepakati waktu dan tempat
untuk melakukan dialog-dialog yang akan datang. Muhammad kemudian pindah ke
tempat yang akan menuju ke tempat
ayahnya berlibur musim panas di daerah Ramalah, kota Iskandariyah.
Ketika ia sampai di tempat, ayahnya menanyakan apa yang ia kerjakan selama ujian. Ia
menjawab telah dapat mengerjakan soal-soal
dengan baik. Ayahnya merasa sangat gembira dan berdoa semoga ia lulus dan
berhasil. Lalu Muhammad bercerita kepada ayahnya kejadian yang dialami selama
dalam perjalanan dalam
Kereta Api dengan seorang Pastur. Ayahnya semakin bergembira dan memberinya
semangat untuk melaksanakan dialog-dialog tersebut agar dia bisa tergolong
sebagai pembela-pembela di jalan Alloh
dan memperoleh keridhoan Alloh di dunia dan akhirat.
Pertemuan 1 - Tauhid dalam Islam, Yahudi, dan Nasrani
Pertemuan 2 - Pandangan Islam, Yahudi, dan Nasrani tentang Rosul Alloh
Pertemuan 3 - Prinsip Mengusahakan Kemaslahatan dan Menolak Bahaya
Pertemuan 4 - Faktor-faktor Waktu dan Tempat Moderat
Pertemuan 5 - Poligami dan Posisi Wanita
Pertemuan 6 - Tholaq dan Hak Wanita
Pertemuan 7 - Perbudakan dan Harkat Manusia
Pertemuan 8 - Nabi Muhammad dan Para Raja serta Penguasa Dunia
Pertemuan 9 - Mukjizat Para Nabi Sebelum Muhammad dan Mukjizat Nabi
Muhammad
Pertemuan 10 - Isi Al-Qur’an yang Saling Bertentangan Satu Sama Lainnya
Pertemuan 11 - Benarkah Agama Muhammad Kelanjutan Agama Semua Nabi?
Pertemuan 12 - Benarkah Islam Suatu Agama Universal?
Pertemuan 13 - Sikap Islam terhadap Ilmu dan Filsafat
Pertemuan 14 - Neraka dan Surga Bersifat Rohaniah, Bukan Material
Pertemuan 15 - Perkawinan Nabi Muhammad dengan Zainab, Bekas Istri Zaid
Pertemuan 16 - Kasus Nabi Muhammad dengan Para Istrinya
Pertemuan 17 - Pandangan Islam terhadap Taktik Tipu Daya dan Kebohongan
Pertemuan 18 - Syari’at Islam Sebagian Besar dari Tradisi Bangsa Arab
Pertemuan 19 - Mengapa Saya Menjadi Muslim? Dan Mengapa Saya Menjadi
Nasrani?
Pertemuan 20 - Mengakui Kebesaran Islam Haruskah Meninggalkan Agama-agama yang
Lain?
Judul: Pastur Menuduh Santri Menjawab
Penulis: Dr. Abdul
Muta’al Ash-Sha’idi
Penerjemah: Drs. M. Thalib
Tebal: 195 hlm.
Dimensi: 13x18 cm
Cetakan: 8, September 1993
Penerbit: Pustaka
Mantiq, Solo
Resentator: Harmasto
Hendro Kusworo
e-Book: MediaFire
Format: DjVu
0 Komentar