Resensi: Saifuddin Quthuz


Sultan Al-Muzhoffar Saifuddin Quthuz memasuki ruang terbuka sejarah melalui celah perbudakan yang menyesakkan. Setelah itu, dengan cepatnya terbuka lebar-lebar di hadapannya pintu sejarah umat Islam yang luas ini, yaitu tatkala dia mencurahkan keahliannya dalam bidang militer dan seni berpolitik untuk membela wilayah-wilayah umat Islam yang suci.

Peran yang ditorehkannya dalam sejarah mengungguli banyak penguasa di masanya karena pribadi yang satu ini merupakan jelmaan keinginan umat Islam dalam pertempuran ‘Ain Jalut. Pertempuran ini berhasil menghancurleburkan gelombang dahsyat serbuan pasukan Mongol yang terkenal kejam. Pertempuran ini menjadi permulaan dari rangkaian perubahan untuk masa-masa setelahnya. Di antaranya yang paling penting adalah berbondong-bondongnya orang Mongol masuk ke dalam agama Islam. Di kemudian hari, merekalah yang menjadi kekuatan aktif dalam pembangunan peradaban Islam.

Kisah Saifuddin Quthuz, seorang Mamluk (mantan budak) yang di kemudian menjadi Sultan, merupakan contoh nyata bahwa seorang penguasa tidak akan pernah menempati singgasana dalam sejarah bangsanya kecuali dengan mewujudkan prestasi yang sesuai dengan impian bangsa yang dipimpinnya. Lama atau pendeknya masa dia berkuasa bukanlah syarat yang menentukan. Yang menjadi syarat hanyalah sejauh mana kemampuan seorang penguasa dalam memimpin bangsanya serta kerelaannya dalam menghadapi masa-masa sulit bersama mereka. Dengan itulah rakyatnya akan menempatkan dia pada posisi yang memang layak baginya diantara tokoh semua bangsa yang ada di atas muka bumi ini.

Periode sejarah di mana sang pahlawan Saifuddin Quthuz muncul merupakan periode yang sangat penting dalam sejarah umat Islam. Ketika itu, pasukan Salib Katholik masih bercokol di tengah-tengah kawasan Arab Islam, khususnya Syam. Meskipun kaum Muslimin di bawah pimpinan Sholahuddin Al-Ayyubi setelah memainkan peran cukup gemilang dalam mengurangi warna Salibis dari atas peta kawasan Arab, namun sikap politik para penguasa penggantinya justru lembek dan cenderung berdamai. Bahkan mereka membiarkannya tetap bercokol di situ selama 100 tahun berikutnya, padahal orang-orang Eropa itu masih menyimpan semangat permusuhan untuk mengokohkan hegemoni orang-orang Fanka di kawasan Arab. Mereka juga masih berusaha memperluas wilayah jajahannya. Dengan alasan inilah mereka menyerang Mesir di bawah pimpinan Louis IX. Para sejarawan militer dari Prancis Salibis menyebutnya sebagai Perang Salib VII. Ada tiga hal penting yang dihasilkan dari perang ini:
1. Hancurnya pasukan penyerbu Salib secara total, tertawannya raja dan komandan senior mereka, dan gagalnya Perang Salib VII;
2. Berakhirnya Dinasti Ayyubiyah di Mesir;
3. Berdirinya Kesultanan Mamluk.

Erat hubungannya dengan hasil ketiga di atas, yaitu tampilnya pahlawan yang dibahas dalam kajian ringkas ini, dia adalah Sultan Al-Muzhoffar Saifuddin Quthuz. Dia pimpin bangsanya untuk menghadapi ancaman lain dari arah timur yang datang dengan cepatnya membinasakan negeri-negeri di dunia Islam. Itulah ancaman dari bangsa Mongol yang di persatukan oleh Jenghish Khan.

Di antara kepentingan sejarah yang mencengangkan, Saifuddin Quthuz –nama aslinya adalah Mahmud bin Mamdud– berasal dari keluarga Khowarizmi Syah. Keluarga ini termasuk korban perang yang dilancarkan oleh orang-orang Mongol terhadap negeri-negeri kaum Muslimin pada awal serbuannya. Kemudian dia ditakdirkan menjadi amir atau komandan di mana pasukannya berhasil menghancurkan tentara Mongol yang bengis itu dalam pertempuran‘Ain Jalut di Syam.

Bagaikan para pahlawan dalam tragedi Yunani, Saifuddin Quthuz juga harus rela menghadapi kematiannya secara tragis setelah kemenangannya. Seakan-akan sejarah menyimpannya untuk suatu tugas tertentu di mana setelah itu dia tidak diperkenankan untuk hidup lebih lama lagi. Pahlawan yang muncul secara tiba-tiba bagaikan meteor di langit sejarah umat Islam ini juga padam secara tiba-tiba. Meskipun demikian, kecemerlangannya yang teramat singkat cukup untuk menjadi bahan bakar semangat para penguasa Muslim yang lemah di masa itu, bahkan juga membakar kesombongan tentara Mongol.

Kajian ringkas ini dengan mengemukakan informasi-informasi yang langka tentang periode sejarah yang singkat, tidak bertujuan mengangkat seorang anak manusia ke tingkat pahlawan mitos atau dewa sebagaimana kebiasaan dunia lama. Namun kajian ini berusaha menyatakan secara apa adanya bahwa pelaku sejarah ini adalah seorang manusia dengan segala kelebihan dan kekurangan manusiawinya. Meskipun demikian, dia memang pantas mendapatkan kedudukan yang tinggi karena keimanan, kejelasan visi, keberanian moral, dan pengorbanannya pembela tanah air umat Islam. Orang-orang pun berkumpul di sekelilingnya. Mereka mendukung dan membantunya dalam meraih kemenangan untuk mengambil tempatnya di panggung sejarah.

Oleh karena sejarah adalah perbuatan-perbuatan aktif manusia, maka ia mempersembahkan para pelakunya –manusia– kepada kita apa adanya dengan ketinggian dan kerendahannya, cita-cita dan kegagalannya, kehalusan dan kekasarannya, serta ketaatan dan pembangkangannya.

Daftar Isi:
Bagian 1 – Latar Belakang Sejarah Berdirinya Kesultanan Mamluk;
Bagian 2 – Pondasi Politik Kesultanan Mamluk;
Bagian 3 – Perjalanan Quthuz dari Budak Menjadi Sultan;
Bagian 4 – Ancaman Pasukan Tartar;
Bagian 5 – Pertempuran ‘Ain Jalut;
Bagian 6 – Akhir Hayat Sang Pahlawan.

Judul: Saifuddin Quthuz; Sang Ksatria Perang ‘Ain Jalut
Penulis: Dr. Qasim Abduh Qasim
Penerjemah: M. Isa Anshori
Tebal: 184 hlm.
Dimensi: 14x20,5 cm
Cetakan: I, Februari 2017
ISBN: 978-979-1093-46-0
Penerbit: Al-Wafi Publishing, Solo

Posting Komentar

0 Komentar