Pendidikan
karakter adalah proses yang tak pernah berhenti. Pemerintah boleh berganti,
raja boleh turun takhta, presiden boleh berakhir masa jabatannya. Namun
pendidikan karakter harus berjalan terus. Pendidikan karakter bukanlah sebuah
proyek yang ada awal dan akhirnya. Pendidikan karakter diperlukan agar setiap
individu menjadi orang yang lebih baik, menjadi warga masyarakat yang lebih
baik, dan menjadi warga negara yang lebih baik.
Menyaksikan
keadaan di Indonesia sekarang ini, lebih dari tujuh dekade sesudah Proklamasi
kemerdekaan, kita berani menyatakan bahwa kita belum mencapai kemajuan dalam
pendidikan karakter, bahkan dalam berbagai hal kita mengalami kemunduran. Masih
maraknya korupsi, makin meningkatnya penggunaan kekerasan terhadap orang yang
berbeda kepercayaan, berbeda suku atau berbeda golongan, makin semrawutnya lalu
lintas, dan makin rusaknya lingkungan hidup. Semua itu menunjukkan, bahwa makin
banyak diantara kita yang makin kehilangan kejujuran, makin kehilangan rasa
kebangsaan, makin kehilangan kemampuan untuk menghargai perbedaan, kehilangan
disiplin, kehilangan tata krama di ranah publik, dan kehilangan rasa tanggung
jawab sosial.
Negara-negara
yang pada tahun 1970-an dan 1980-an berada “di belakang” Indonesia, sekarang
berada jauh “di depan” Indonesia. Masalah terbesar Indonesia adalah pendidikan.
Ketika suatu negara tidak menaruh perhatian terhadap pendidikan, maka negara
tersebut tidak membangun sumber kekuatan, sumber kemajuan, sumber
kesejahteraan, dan sumber martabatnya yang selalu bisa diperbarui, yaitu
kualitas manusia dan kualitas masyarakat. Kualitas ini ditentukan oleh tingkat
kecerdasan dan kekuatan karakter rakyat.
Besarnya
anggaran yang digelontorkan untuk pendidikan saat ini oleh pemerintah, namun
hasil yang dicapai tidak sesuai dengan yang diharapkan. Oleh sebab itu, satu
hal yang perlu ditetapkan dengan cermat adalah arah pendidikan. Dan Indonesia
sekarang ini sangat memerlukan pendidikan yang berorientasi pada pengembangan
karakter.
Meningkatnya
kompetensi manusia dalam penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi tidak dengan
sendirinya disertai peningkatan kebajikan yang ada di hati manusia. Tanpa
karakter baik, manusia kehilangan segala-galanya. Termasuk kehilangan
kemanusiaannya.
“Kebahagiaan sejati berasal dari mengenali dan memupuk kekuatan karakter Anda yang paling mendasar dan menggunakannya setiap hari dalam pekerjaan, dalam hubungan kasih sayang, dalam bermain, dan dalam menjalankan peran sebagai orangtua.” —Martin E.P. Seligman
Kondisi
karakter di Indonesia saat ini yang terjadi adalah kebiasaan korupsi yang sulit
diberantas, lemahnya disiplin, melemahnya keindonesiaan, menurunnya kemampuan
untuk menerima dan menghargai perbedaan, kurangnya rasa keterdesakan, dan
kesenjangan antara yang diketahui dan yang dilakukan.
Tantangan
besar bagi pendidikan di Indonesia sekarang ini adalah mewujudkan Pancasila
menjadi sikap dan perilaku nyata semua warga negara Indonesia dalam kehidupan
sehari-hari dan mencegahnya dari hanya menjadi pengetahuan, wacana, atau
slogan.
Patterson
dan Seligman menempatkan enam komponen untuk membangun kekuatan karakter adalah
adanya kearifan dan pengetahuan (wisdom
and knowledge), keberanian (courage),
kemanusiaan (humanity), keadilan (justice), pembatasan diri (temperance), dan transendensi (transcendency). Sedangkan empat faktor
yang berperan besar membentuk karakter adalah keluarga, media massa,
lingkungan, dan sekolah.
Sedangkan
cara meningkatkan efektivitas pendidikan karakter di sekolah adalah membenahi
cara pandang, mengembangkan suasana lingkungan pembelajaran untuk mendukung
pengembangan karakter, pengembangan proses pembelajaran, pengembangan bahan
pelajaran, pengembangan kriteria dan cara menilai keberhasilan, dan membangun
kerjasama dengan orangtua siswa.
Reorientasi
pendidikan merupakan upaya untuk memprakarsai, merancang, merencanakan,
mempersiapkan, melaksanakan, dan memantau proses perubahan besar dengan
pendekatan kokreasi yang merupakan upaya menciptakan dan membangun bersama.
Dengan rendahnya komitmen menjadi faktor utama upaya perubahan tidak tuntas.
Dan pendekatan kokreasi sangat mementingkan proses dan tidak terpaku pada
hasil. Pendekatan ini perlu keterlibatan aktif dari kepala sekolah dan para
guru, di mana hubungan keduanya menjadi subjek-subjek atau mitra dalam
mencipta, mengembangkan, dan melaksanakan gagasan.
Sedangkan
prioritas penguatan karakter di Indonesia yang dibutuhkan saat ini adalah
kejujuran, rasa tanggung jawab, semangat belajar, disiplin diri, kegigihan,
apresiasi terhadap kebhinnekaan, semangat berkontribusi, dan optimisme.
Pendekatan
kokreasi akan mendapatkan pengalaman langsung dari lapangan dengan bekal
bertanya pada diri sendiri, jangan menunggu, berhenti meremehkan diri sendiri,
mulai dari yang dikuasai, ciptakan suasana gembira, proyek bersama,
memanfaatkan duplikasi dari success story
pihak lain, nikmati perjalanannya, dan rayakan keberhasilan bersama.
Buku ini
memberikan banyak manfaat dari sejak memupuk, menguatkan, memotivasi para guru
dan kepala sekolah yang belum memiliki gambaran langkah-langkah menyusun
program pendidikan karakter di sekolah dan mengalami kebingungan harus memulai
dari mana dan bagaimana menyusun programnya.
Buku ini
rekomendasi untuk dipelajari dan ditindaklanjuti dalam program nyata di sekolah
oleh kepala sekolah dan guru. Hanya dua komponen itu sajakah? Tidak! Pendidikan
karakter harus melibatkan semua komponen. Li Lanqing; mantan Perdana Menteri
senior China; ketika melakukan transformasi pendidikan melakukan reorientasi
pendidikan menuju pendidikan karakter bukan hanya memupuk pada siswa atau
mahasiswa. Tetapi 1,3 miliar penduduk China mesti terlibat!
Bibliografi
Judul: Pendidikan Karakter di Sekolah; dari Gagasan ke Tindakan
Penulis: Gede Raka, Yoyo Mulyana, Suprapti Sumarmo Markam, Conny R. Semiawan, Said Hamid Hasan, Hana Djumhana Bastaman, Nani Nurachman
Tebal: xvi+245 hlm.
Genre: Pendidikan moral, Karakter
Cetakan: I, Mei 2011
ISBN: 978-692-00-0385-6
Penerbit: Elex Media Komputindo, Jakarta
0 Komentar