Resensi: Jangan Lukai Ibumu!

 

Bicara tentang bakti terhadap ibu, semua bangsa dan semua agama memiliki birama yang sama.

Seseorang yang degup jantungnya senada dengan detak jantung kita, seseorang yang saripatinya menyatu dengan tubuh kita, seseorang yang laktasinya mengalir menggemukkan kita, seseorang yang kehangatannya mampu menghidupkan saraf-saraf kita.

Beragam bangsa memiliki kisah unik tentang “kekeramatan” seorang ibu yang harus dimuliakan —terlepas dari beberapa penyimpangan fitrah seorang ibu.

Jangankan membantah, mendikte orangtua dalam hal selera pun adalah bentuk dari ketidakpatuhan anak kepada orangtua. Seperti ketika seorang anak menawarkan pilihan kepada orangtua —sebelum orangtua menentukan, segera kita memberikan referensi pilihan yang terbaik menurut kita. Hal itu merupakan kelancangan anak terhadap orangtua. Itu adalah penjelasan dari maksud kata “uf” pada ayat 23 surat Al-Isro’. Meskipun mereka menuruti kemauan kita, betik pertama dalam hati mereka akan pilihan merekalah yang sejatinya bertabur berkah.

Tentang menjaga hati orangtua (ibu), —saya lupa tokohnya— ketika ia harus menjaga hati orangtuanya saat membersamai kedua orangtuanya hingga selesai makan tetapi ia belum berani ikut makan. Karena khawatir jika ia membersamai keduanya makan dan ada hidangan yang ia ambil, ternyata hidangan tersebut disukai orangtuanya.

Dan selama bukan dalam hal kemaksiatan, jika menurut kita yang terbaik itu adalah pilihan A, ketika orangtua memilih pilihan B, maka semua keberkahan pada pilihan A akan Alloh pindahkan ke pilihan B.

Buku ini berusaha memberikan beragam kasus anak yang melukai hati ibu dan memberikan hikmah serta penguatan tersendiri terkait “sesakralan” ibu.

Dari 16 kisah dalam buku ini, setidaknya ada satu bahasan yang —menurut saya— perlu ditinjau ulang untuk menjadi bagian dari bahasan, yakni pada kisah ke-13.

Sisi menarik yang diupayakan penulis adalah memberikan cuplikan kisah untuk diambil hikmahnya. Hanya saja, sebagian kisah terkesan fiksi demi mengejar hikmah yang ingin disampaikan.

 

Resume buku

Halaman: 1-21

Bab: Dong Ye dan Feng Su dalam Wasiat Ibunya

Kisah dua anak yatim di Tiongkok. Dong Ye seorang anak dungu, tolol, lugu. Sedangkan Feng Su seorang anak cerdas, rajin, dan cekatan. Jelang wafat, ibunya berwasiat agar Dong Ye mengambil satu hal bermanfaat kemudian konsisten melakukannya. Sedangkan kepada Feng Su, ibu berpesan agar mengabdi di kuil dengan mengajak adiknya; Dong Ye.

Di kuil, seorang kakek pengemis yang jago kungfu menganjurkan mereka berdua ikut dengannya meninggalkan kuil karena hidup terikat di kuil. Dong Ye menuruti ajakan sang kakek, sedangkan Feng Su memilih di kuil.

Berpuluh tahun kemudian, Dong Ye jadi guru kungfu yang disegani dan bijaksana. Sedangkan Feng Su jadi perampok yang mati digantung atasannya karena misi merampoknya digagalkan Dong Ye.

 

Boleh jadi, Dong Ye selalu menjaga wasiat sang ibu, dan Feng Su merasa cerdas kemudian mengkritisi dan mengabaikan wasiat sang ibu.

 

Halaman: 22-33

Bab: Membuang Muka, Zen Kualat

Zen berkehendak kuliah ambil jurusan Filsafat di Yogyakarta. Ayahnya yang seorang pengasuh pondok pesantren mengizinkan, tetapi ibunya menghendaki Zen ambil jurusan Tafsir Al-Quran. Dan Zen bersikeras memilih Filsafat.

Semua nasihat sang ibu ia abaikan. Bahkan tak jarang Zen naik pitam jika ibunya menasihati Zen untuk tidak menekuni filsafaf.

Zen pun menikmati filsafat, hingga terjerumus pada liberalisasi berpikir dan antifeodalisme. Kehidupan rebel ia jalani dengan menuhankan prinsip pribadinya. Hingga suatu hari ia mati mengenaskan karena dipukuli massa setelah meninggalkan rumah dan hidup menggelandang di jalanan Jakarta kemudian mencuri.

 

Halaman: 34-45

Bab: Lebih Mementingkan Istri Ketimbang Ibunya, Al-Qimah Sulit Naza’

Alqomah hidup sezaman dengan Nabi Muhammad. Ia anak yang berbakti kepada sang ibu. Setelah Alqomah menikah, ia hidup bersama istrinya dan lebih memperhatikan istrinya daripada sang ibu. Tanpa disadari Alqomah, hal itu melukai perasaan sang ibu. Sumpah pun keluar dari lisan sang ibu. Dan Alqomah tak bisa mengucapkan syahadat saat sakarotul maut. Dengan upaya Nabi Muhammad, sang ibu akhirnya memaafkan Alqomah. Dan Alqomah pun dapat meninggal dengan mengucapkan syahadat.

 

Halaman: 46-54

Bab: Balasan untuk Samiun, Raja Penebas Leher Ibunya

Kisah di Madura kuno. Raja Samiun adalah putra dari Raja Jai dari selir bernama Misna. Misna memiliki tampilan fisik tidak menarik dibanding istri-istri raja lainnya. Rasa minder Misna dihibur dengan keberadaan anaknya; Samiun.

Penghinaan yang diterima Misna membuat Samiun marah. Dan ia diam-diam belajar ilmu beladiri. Karena motif balas dendam, tak ada guru beladiri aliran putih yang mau menerima. Dan Samiun menempuh jalan aliran hitam.

Sang ibu bercita-cita sederhana: hidup di desa dengan meninggalkan atribusi dan fasilitas kerajaan. Tetapi Samiun tak mau. Ia harus jadi raja pengganti ayahnya untuk menunjukkan pembelaannya terhadap sang ibu.

Perebutan kekuasaan terjadi antar-putra Raja Jai. Mereka berkoalisi melawan Samiun. Karena sang ibu tak ingin ada perang, ia meminta Samiun mengalah. Tanpa di nyana, Samiun marah kepada sang ibu dan menebas leher sang ibu. Dalam perang itu, Samiun menang dan menjadi raja zholim.

Anak Samiun yang lebih suka bermain di desa, mendengar kezholiman sang ayah dan telah membunuh sang nenek dari warga desa. Ia pun menjebak dan membunuh sang ayah dengan motif menghentikan kezholiman sang ayah dan karena telah membunuh nenek lantaran ambisi kekuasaan.

 

Halaman: 55-64

Bab: Jangan Menghina Ibu, Meskipun Ia Seorang Pelacur

Kisah seorang anak perempuan yang sejak kecil hanya hidup bersama sang ibu tanpa mengetahui siapa ayahnya. Semua kebutuhan pendidikan dan keagamaan sang anak dipenuhi sang ibu. Dan sang ibu selalu menyembunyikan profesinya. Sampai suatu saat —ketika sang anak sudah menginjak SMA, selentingan tentang siapa dan apa pekerjaan ibunya mulai dicelakan padanya. Dan diam-diam ia memata-matai sang ibu saat berangkat ‘kerja’. Dari sanalah ia melihat sendiri apa pekerjaan sang ibu. Tetapi sang anak tak pernah mengkonfrontir kepada sang ibu tentang profesi dan celaan yang ia alami. Ia tetap bersabar dan memilih mendoakan sang ibu. Kisah tersebut selesai sampai di sana tanpa menjelaskan bagaimana akhir perjalanan kedua anak beranak ini.

 

Halaman: 65-73

Bab: Dalamnya Sesal Lisa karena Menghardik Ibunya

Penyesalan seorang anak kelas 2 SMA yang merasa malu memiliki seorang ibu yang ia nilai terlalu ketinggalan zaman hingga tak segan membentak-bentak sang ibu. Air matanya membanjir di punggung telapak tangan ibunya yang sedang koma melawan kanker darah. Momen tersebut menyadarkan Lisa akan butuhnya dirinya kepada sosok ibu.

 

Halaman: 74-81

Bab: Getirnya Hidup Ahmad Akibat Menyimpan Dendam kepada Ibunya

Ahmad dulunya tumbuh manja di keluarga berada di bilangan Jawa Tengah. Akibat kelakuannya tersebut, keluarga Ahmad mengalami kebangkrutan dan hidup prihatin. Ahmad harus putus sekolah karena tak ada biaya. Ahmad pun tak bisa menerima kenyataan tersebut dan pergi meninggalkan rumah dan orangtuanya. Ia dendam dan menyumpahi kedua orangtuanya, terutama sang ibu.

Di Jakarta —tanpa surat berharga, Ahmad hidup menggelandang dan kerja serabutan. Bahkan jadi pemulung. Ahmad pun menikah dan tinggal di kampung kumuh dengan luas sekitar 3x4 m².

 

Halaman: 82-90

Bab: Mengambil Harta Ibu tanpa Hak, Ainur Terpidana Korupsi

Ainur sejak kecil terkenal nakal dan suka mencuri. Hukuman sudah sering ia terima. Tetapi tak pernah membuatnya jera.

Suatu ketika, sang ibu mengutuk kelakuan Ainur yang mencuri uang ibunya agar Ainur celaka.

Selepas menyelesaikan gelar masternya, Ainur jadi anggota DPRD. Di akhir masa baktinya, ia tersandung kasus korupsi dengan hukuman seumur hidup dan uang denda.

 

Halaman: 91-98

Bab: Rofik yang Berkacak Pinggang, Rofik yang Malang

Sejak kecil hingga ia berkeluarga, Rofik selalu berlaku kasar kepada ibunya. Menjawab dengan bahasa kasar dan bentakan adalah kebiasaan Rofik.

Berkacak pinggang sambil menceramahi sang ibu ketika ia menolak untuk membersihkan makam sang kakek, menjadi awal hukuman Alloh. Anaknya mewarisi sifat Rofik.

Meski Rofik menyesal dan sudah meminta maaf kepada kedua orangtuanya, Jamal —sang anak— tak berubah karakternya. Tetapi Rofik siap dengan konsekuensinya. Ia kemudian mendampingi dan mendidik Jamal sebaik mungkin.

 

Halaman: 99-107

Bab: Membantah Perintah Ibu, Perahu Sudjipto Disambar Petir

Sudjibto seorang anak nelayan. Ia yatim sejak usia awal SD. Ibunya bersikeras anaknya dapat bersekolah sampai kuliah dengan bekerja sebisa mungkin.

Akibat salah memilih teman bergaul, Sudjibto memilih hidup dengan komunitas geng dan kabur dari rumah. Hingga Sudjibto terjebak dalam kemaksiatan. Sudjibto pun mendapat sanksi moral dari warga. Tak satu pun teman geng yang menolongnya. Karena malu, sang ibu tak mau menerima kehadiran Sudjibto lagi. Rasa terbuang memaksa Sudjibto mencuri perahu dan berniat kabur sejauh mungkin. Sesaat setelah pemilik perahu menyumpahi dan mengutuk Sudjibto, petir menyambar dan menghancurkan tubuh dan perahu curiannya.

 

Halaman: 108-116

Bab: Juraji yang Ahli Ibadah Disambat Doa Ibunya

Dalam sebuah hadits —disebut Juroij, seorang anak berbakti kepada ibunya. Ia ahli ibadah. Ia terkena kutuk sang ibu karena tidak menyahuti panggilan sang ibu sebanyak tiga kali kesempatan. Pemuda tersebut saat itu sedang sholat. Kutukannya agar pemuda ini jangan meninggal sebelum tersandung kasus dengan pelacur!

Pelacur di kampung pemuda ini begitu cantik. Dan ia tertantang untuk menggoda sang pemuda alim ini. Karena gagal, sang pelacur melampiaskannya kepada lelaki lain. Ketika hamil, ia mengklaim anak tersebut hasil hubungannya dengan pemuda alim tersebut.

Hukuman baginya tertunda sampai sang bayi lahir setelah amuk massa dialami sang pemuda. Dan pemuda alim ini setelah sholat dua roka’at, menanyai sang bayi sambil tentang sejati ayahnya. Dan sang bayi menjawab, bahwa ayahnya seorang penggembala (bukan pemuda alim tersebut).

 

Halaman: 117-128

Bab: Gagal Kerja Akibat Mengabaikan Kepentingan Ibu

Yusri seorang sarjana IT yang kuliah di Jakarta. Ia enggan pulang kampung, terlebih berkarya di kampungnya. Upaya sang ibu yang berkeinginan Yusri bekerja di kampung, ia tolak. Ia anti pulang kampung. Dan musibah pemfitnahan, pemecatan, dan penindasan dialami Yusri.

Nasihat seorang ustadz menyadarkannya, bahwa kunci kebahagiaan adalah kepatuhan anak kepada orangtua (ibu). Yusri pun pulang dan menuruti semua nasihat sang ibu. Hidupnya lempang.

 

Halaman: 129-142

Bab: Surga Menolak Anak Durhaka

Dalam kitab _Miftahul Jannah; Qishosh Haulal Umm_ disebutkan, Rosululloh SAW meminta Baqi’ —yang sudah lama meninggal— untuk keluar dari kubur karena selalu terdengar teriakan minta tolong dari dalam kuburnya.

Setelah diusut, ternyata semasa hidupnya, Baqi’ pernah terbakar emosi akibat aduan sang istri kepada sang ibu dan membantingnya salam tungku hingga beberapa bagian tubuh sang ibu terbakar. Kutukan sang ibu menimpa Baqi’, bahkan setelah Baqi’ meninggal. Setelah sang ibu memaafkan, makam Baqi’ tak terdengar teriakan minta tolong lagi.

 

Halaman: 143-149

Bab: Akibat Memaki dan Menendang Kepala Ibu

Di bilangan Labuhan Batu, Sumatera Utara, tertemui makhluk berkepala anjing, berbadan ular, dan bertangan seperti biawak. Ia jelmaan dari siswi SMP yang memang berperangai buruk. Ibunya bekerja serabutan. Dan sang anak memiliki keinginan yang harus dituruti orangtua. Sang anak yang naik pitam, menendang kepala sang ibu yang sedang sujud sholat maghrib dengan sumpah serapah. Kontan, anak tersebut menjelma jadi makhluk aneh.

 

Halaman: 149-164

Bab: Setelah Menghina Islam, Ismail Kembali ke Pangkuan Ibunya

Namanya Ismail. Ia ber- _partner_ kerja dengan Karolina. Beda suku, beda agama. Ismail pindah agama demi menikahi Karolina. Dan sang ibu mengutuk pernikahan anaknya tidak berkah. Seiring waktu, rumah tangga Ismail mendapat ujian: sang istri selingkuh dengan pemuda ber- _trah_ Kristen. Ismail pun cerai. Penyesalan yang amat dalam menuntunnya kembali ke pangkuan sang ibu dengan memeluk Islam kembali.

#Selesai

 

Bibliografi

Judul: Jangan Lukai Ibumu!

Penulis: Muhammad Ridhafi

Tebal: 164 halaman

Genre: -

Cetakan: I, September 2014

ISBN: -

Penerbit: Saufa, Yogyakarta

 

Posting Komentar

0 Komentar