Pembelajaran efektif
merupakan salah satu prediktor mutu pendidikan. Sementara mutu pendidikian itu
sendiri tidaklah mudah didefinisikan, lebih sulit dibanding mendefinisikan mutu
di bidang lainnya. Meskipun tidak mudah didefinisikan, mutu pendidikan harus
diupayakan untuk didefinisikan, setidaknya diperlukan sebuah parameter terukur
guna memudahkan proses penjaminan mutu, monitoring, dan evaluasi
kegiatan pendidikan. Pada saat ini, pemerintah telah
menetapkan Standar Nasional Pendidikan (SNP) sebagai rujukan atau parameter
dalam penyelenggaraan pendidikan bermutu, yakni standar; isi, proses,
kompetensi lulusan, pendidik dan tenaga kependidikan, sarana dan prasarana,
pengelolaan, pembiayaan dan penilaian pendidikan. Satu diantara standar
tersebut adalah standar kompetensi kelulusan menyita perhatian dan menjadi
pembicaraan serius di masyarakat dewasa ini. Prof. Dr. H. Djaali selaku anggota
Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP) mengakui secara jujur bahwa tugas BSNP
yang paling berat adalah penilaian atau pengukuran standar kompetensi kelulusan
yang saat ini dilakukan melalui Ujian Nasional (UN). Hal ini dapat dimaklumi
karena semua standar nasional pendidikan bermuara pada standar kompetensi
kelulusan tersebut.
Pro kontra UN
sesungguhnya mudah dipahami karena asumsinya sangat sederhana, bahwa UN menjadi
masalah karena belum terpenuhinya standar pendidikan nasional lainnya,
khususnya belum terpenuhinya pencapaian standar proses atau belum
terselenggaranya pembelajaran efektif.
Richard Dunne & Ted
Wragg (1996) dalam bukunya “Effective Teaching” menyatakan bahwa “Pembelajaran
efektif (effective teaching) adalah
jantungnya sekolah efektif atau sekolah yang berhasil mencapai tujuannya. Di
bagian pengantar buku tersebut di atas, Anwar Jasin menyatakan bahwa “Mutu
hasil pendidikan sebagian besar ditentukan oleh mutu kegiatan belajar mengajar.
Mutu profesional guru harus terlihat pada kemampuannya mengelola kelas dan
mengajar secara efektif dalam arti dia mampu membelajarkan para siswa menguasai
bahan pelajaran yang diberikannya sesuai dengan tuntutan kurikulum.”
Diyakini bahwa kotak
hitam (black box) pendidikan ada di
ruang kelas, lebih khusus ada pada proses pembelajaran, tidak sedikit siswa
telah menjadi korban salah ajar (malteaching),
dan selama ini pikiran siswa tidak tersekolahkan (unschool mind) akibat dari pembelajaran yang kurang efektif
tersebut, misalnya pembelajaran yang mengingkari bagaimana/gaya belajar siswa
sebagaimana terjadi pada sebuah “Universitas Rimba” yang rektornya seekor
“Singa” dan “Sekolah Para Binatang”, yang kepala sekolahnya seekor “Kancil”.
Sebaliknya, esensi dari sekolah yang cerdas (intelligence school) ditandai dari siswanya yang menjadi manusia
pembelajar (learning person). Dan
guru efektif adalah guru yang melahirkan peserta didik yang terus belajar (learning person). Oleh karena itu, jangan
mengaku atau mengklaim diri sebagai seorang guru/pendidik yang
efektif, profesional, dan bermartabat sebelum ia mampu memberi kemudahan dalam
pembelajaran dan melahirkan siswa yang rajin belajar.
Pengertian pembelajaran
efektif bukanlah sesuatu yang sederhana atau tentu tidak memadai lagi jika
hanya diartikan sebatas transfer
of knowledge, justru menjadi penting ketika diartikan sebagai
pembelajaran konstruktivistik yang lebih berorientasi pada siswa (student sentries). Dalam
arti, peserta didik atau si belajar menjadi pusat pembelajaran. Sementara teaching-learning berada melingkari
peserta didik tersebut. Keberhasilan teaching
learning tergantung pada; (1) enabling
environment; (2) knowledge infrastructure;
(3) human and physical resource, and
(4) school management and governance.
Akhirnya hal tersebut di atas sangat ditentukan oleh sebuah kebijakan
pendidikan.
Pendapat senada
menyatakan bahwa, “Mutu pendidikan ditentukan oleh Effective Teaching and Learning (ETL).” ETL itu
sendiri dipengaruhi oleh; (1) teacher
supply, training, and
professional development support;(2) school leadership internal organization and
culture; (3) quality assurance and
support system; (4) accountability
mechanisms and processes, including school governance; (5) the physical environment of the school;
(6) the curriculum and it’s assessment: instructional aid; (7) links and partnerships with parent and the
community; and (8) the well-being
attendance and motivation of all pupils.
Penulis tambahkan
pembelajaran menjadi efektif apabila pembelajaran diberikan kepada siswa yang
telah mengetahui informasi atau pesan yang akan diajarkan. Informasi awal
tersebut berguna dalam mengkonstruksi informasi atau pengetahuan baru yang
masuk ke dalam otak atau pikiran peserta didik yang dilakukan melalui berbagai
metode atau strategi pembelajaran.
Bagaimana halnya dengan
metode ceramah yang mendominasi hampir seluruh proses pembelajaran atau
perkuliahan selama ini? Sebuah penelitian menunjukkan bahwa “Dalam perkuliahan
bergaya ceramah, mahasiswa kurang menaruh perhatian selama 40% dari seluruh
waktu kuliah mereka. Penelitian lain menunjukkan bahwa sekitar 60% dari
mahasiswa berorientasi praktis ketimbang teoritis dalam
pembelajaran”, dikutip dari Melvin L. Silberman (2004) dalam bukunya “Active Learning”.
Pendapat Confusius yang
sering dikutip sejak lebih dari 2400 tahun lalu mengatakan; “Yang saya dengar,
saya lupa. Yang saya lihat, saya ingat. Yang saya kerjakan, saya pahami”.
Kebanyakan manusia
belajar melalui dan berdasarkan konteks. Karena itu, sedapat
mungkin perkayalah konteks di seputar hal dan bidang yang sedang dipelajari,
dikenal saat ini sebagai “Contextual
Learning”.
Penelitian otak yang
lebih mutakhir menyatakan bahwa “belajar dapat diselesaikan
dengan paling baik bila kegiatan pembelajaran tersebut dikaitkan secara
langsung dengan pengalaman fisik, atau learning
by doing, dan melibatkan emosi peserta didik, terutama pada periode krusial
yakni pada anak usia dini”, dikutip dari Daniel Muijs & David Reynolds
(2008) dalam bukunya “Effective Teaching”.
Parker J. Palmer (2009)
dalam bukunya “The Caurage to Teach” menambahkan
tidak sebatas itu saja, pembelajaran efektif ditentukan oleh identitas dan
integritas seorang guru. Beliau menegaskan bahwa kemampuan untuk bisa mendidik
siswa dengan baik tergantung pada hubungan kepercayaan. Hubungan kepercayaan
sangat bergantung pada kemampuan pendidik menjelajahi ruang nurani hidupnya
sendiri atau mengenal identitas diri. Ditegasnya bahwa “Pengajaran yang baik
tidak dapat disederhanakan menjadi bentuk-bentuk, teknik-teknik pengajaran
belaka. Pengajaran yang baik berasal dari identitas dan integritas gurunya.”
Daftar Isi
Unit 1—Apakah Pembelajaran Efektif
Unit 2—Meningkatkan Kemampuan Pribadi
Unit 3—Memahami Bagaimana Anak-anak Belajar
Unit 4—Organisasi dan Pengelolaan Kelas
Unit 5—Rancangan Instruksional
Unit 6—Sembilan Dimensi Pembelajaran
Bibliografi
Judul: Pembelajaran Efektif
Penulis: Richard Dunne
& Ted Wragg
Penerjemah: Anwar Jasin
Tebal: viii+93 hlm.
Dimensi:
Cetakan: II, 1996
ISBN: 979-553-870-5
Penerbit: Grasindo,
Jakarta
0 Komentar