Resensi : Peristiwa 3 Juli 1946


Tahun 1946. Negara Indonesia belum genap berusia satu tahun ketika krisis politik yang hebat melanda negeri ini.

Para ahli menggambarkan revolusi Indonesia —yang berlangsung pada 1945-1950— sebagai keadaan yang “multi kompleks”. Mengapa demikian? Kala itu, yang terjadi bukan hanya dekolonisasi, melainkan juga revolusi yang penuh dengan tensi sosial dan konflik politik di antara kelas-kelas sosial. Revolusi tidak hanya menyerap energi yang sedemikian besar, namun juga sarat dengan romantisme.

Revolusi Indonesia dapat dikatakan berkisar pada pilihan strategi perjuangan, apakah dengan memakai jalan diplomasi atau pertempuran. Hanya ada dua pilihan; tidak ada pilihan ketiga atau keempat. Para pendukung strategi perundingan diwakili oleh pemerintah lewat empat orang tokoh kunci, yakni Presiden Soekarno, Wakil Presiden Muhammad Hatta, Perdana Menteri Sutan Sjahrir, dan Menteri Pertahanan Amir Sjarifuddin.

Di pihak lain, berdiri para penyokong opsi merdeka 100% tanpa kompromi. Mereka tergabung dalam Persatoean Perdjoeangan yang diawaki oleh Tan Malaka, Muhammad Yamin, Iwa Kusuma Sumantri, dan para pemuda radikal, seperti Adam Malik, Soekarni, dan Chaerul Saleh. Dengan memakai sejumlah pertimbangan —meski masih kontroversial, Panglima Besar Jenderal Soedirman juga dapat dimasukkan sebagai pendukung Persatoean Perdjoeangan.

Menurut pandangan seorang pejuang revolusi; Soebadio Sastrosatomo; perbedaan pandangan antara pemerintah Sjahrir dan Persatoean Perdjoeangan Tan Malaka adalah perbedaan ideologi. Pemerintahan Sjahrir —yang didukung penuh oleh orang-orang sosialis, umumnya berpaham Marxisme-Leninisme. Sementara itu, Tan Malaka dan Persatoean Perdjoeangan-nya cenderung mengikuti paham perjuangan Trotski yang menganut revolusi permanen.

Bagi Tan Malaka, keempat tokoh politik terkemuka saat itu; Soekarno, Hatta, Amir Sjarifuddin, dan Sutan Sjahrir; tidak lebih dari sekelompok “borjuis kecil”. Mereka terlalu lunak, sampai-sampai mau berunding dengan musuh —yang oleh Tan Malaka dibahasakan sebagai “berunding dengan maling di dalam rumah”. Sebuah ungkapan yang sinis, tapi sayangnya benar.

Senada dengan ini, surat kabar “Merdeka” (Jakarta) edisi 8 Oktober 1945 menurunkan sebuah karangan berisi pengandaian yang dengan sangat tepat menggambarkan keinginan sebagian besar rakyat Indonesia waktu itu. Redaksi menulis, “Kita soedah kasih thalaq lima pada Belanda. Tidak moengkin maoe kembali lagi. Kita soedah kawin djiwa dengan Iboe Pertiwi. Dan (kita) tidak perloe tjari-tjari bini baroe lagi.

Buku ini berusaha menyigi salah satu bagian penting dalam kontestasi politik antara pemerintah dan pihak oposisi itu, yakni Peristiwa 3 Juli 1946. Peristiwa yang dinamakan sesuai dengan tanggal kejadiannya itu merupakan puncak dari konflik antara pemerintah dan Persatoean Perdjoeangan —yang sebelumnya telah panas— karena peristiwa penculikan Perdana Menteri Sutan Sjahrir, rapat raksasa kaum oposisi, serta penahanan Tan Malaka dan kawan-kawan. Pada tanggal 3 Juli 1946 itu, sekelompok tentara dan sipil mendatangi Presiden Soekarno dan mendesaknya untuk menandatangani empat helai surat maklumat yang intinya adalah perombakan struktur pemerintahan. Dalam bahasan tertentu, kejadian ini bisa dianggap sebagai kudeta; kudeta pertama dalam sejarah Indonesia.

Ekses Peristiwa 3 Juli 1946 sangat hebat. Sejumlah tokoh yang dulunya dianggap sebagai pahlawan kemerdekaan, dipenjarakan. Orang yang belum tentu bersalah —dalam hal ini Tan Malaka, bahkan tidak diberi kesempatan membela diri dalam pengadilan yang sah. Yang lebih buruk, Peristiwa 3 Juli 1946 dan akibat-akibat yang mengikutinya, membuktikan adanya masalah besar dalam perlawanan mempertahankan kemerdekaan Indonesia, seperti ketidakpercayaan kepada teman seperjuangan, kepentingan kelompok yang dipaksakan, serta lemahnya kemampuan para elite politik dalam membangun jembatan komunikasi yang produktif.

Daftar Isi
I—Penculikan Perdana Menteri Sutan Syahrir: Awal dari Sebuah Akhir

II—Sebuah Negara Baru Bernama Indonesia
[Pendudukan Jepang di Indonesia | Kekalahan Jepang dan Ketergesaan Pemuda | Penolakan Sukarno dan Hatta | Terlaksananya Proklamasi Kemerdekaan]

III—Krisis Politik dan Diplomasi
[Pemerintah Berpacu dengan Waktu | Belanda Kembali ke Indonesia | Perang antara Belanda-Inggris dan Indonesia | Perjuangan di Jalur Diplomasi | Surat Wasiat Sukarno-Hatta | Buku Perjuangan Kita | Perkembangan di Ibu Kota | Pembentukan Tentara Nasional | Perundingan dengan Belanda | Legislatif dan Yudikatif Saling Mendukung | Pemindahan Ibu Kota Indonesia]

IV—Oposisi Bernama Persatuan Perjuangan
[Ibrahim Gelar Datuk Tan Malaka | Memimpin Partai | Keluar dari PKI | Menyembunyikan Identitas di Negeri Sendiri | Berseberangan dengan Pemerintah | Minimum Program | Komposisi dan Afiliasi | Kontroversi Sudirman | Oposisi yang Rumit | Kongres Kedua Persatuan Perjuangan | Keterangan Singkat | Tanggapan dan Jawaban]

V—Segitiga Retak: Pemerintah, KNIP, dan Persatuan Perjuangan
[Ketetapan-ketetapan BP KNIP | Sidang Lengkap KNIP | Pembentukan Kabinet Baru | Kabinet Syahrir II | Kisruh di Persatuan Perjuangan | Kegalauan Menyebar]

VI—Tan Malaka Cs Disingkirkan
[Kongres Persatuan Perjuangan di Madiun | Menciduk Pemimpin Persatuan Perjuangan | Persatuan Perjuangan Usai | Dari Oposisi Menjadi Partisan | Sudirman Bertemu Tahanan | Perkembangan di Tubuh Tentara | Setelah Penghalang Menghilang]

VII—Penculikan Perdana Menteri Sutan Syahrir
[Surakarta Ibu Kota Oposisi | Ketidakpastian Memicu Penculikan | Respons Pemerintah | Penangkapan Balasan | Tan Malaka Bertanggung Jawab?]

VIII—Hari H, 3 Juli 1946
[Perkembangan di Yogyakarta | Kronik 3 Juli | Tindak Lanjut Pemerintah | Mencuatnya Suharto | Misteri Keterlibatan Tan Malaka]

IX—Penghukuman
[Peradilan Peristiwa 3 Juli | Kasus Penculikan Syahrir | Kesaksian Sudirman: Menyelamatkan Diri Sendiri? | Vonis Hakim | Ke Mana Tan Malaka?]

X—Grasi, Sebuah Akhir
[Revolusi dan Oposisi | Grasi dari Pemerintah | Dari Oposisi ke Afiliasi | Ada Apa dengan Tan Malaka?]

Bibliografi
Judul: Peristiwa 3 Juli 1946; Menguak Kudeta Pertama dalam Sejarah Indonesia
Penulis: M. Yuanda Zara
Tebal: xvi+276 hlm.
Dimensi: 14,5x21 cm
Cetakan: I, 2009
ISBN: (13) 978-979-788-031-6
Penerbit: Media Pressindo, Yogyakarta


Posting Komentar

0 Komentar