Tahun 1946. Negara
Indonesia belum genap berusia satu tahun ketika krisis politik yang hebat
melanda negeri ini.
Para ahli menggambarkan
revolusi Indonesia —yang berlangsung pada 1945-1950— sebagai keadaan yang
“multi kompleks”. Mengapa demikian? Kala itu, yang terjadi bukan hanya
dekolonisasi, melainkan juga revolusi yang penuh dengan tensi sosial dan
konflik politik di antara kelas-kelas sosial. Revolusi tidak hanya menyerap
energi yang sedemikian besar, namun juga sarat dengan romantisme.
Revolusi Indonesia dapat
dikatakan berkisar pada pilihan strategi perjuangan, apakah dengan memakai
jalan diplomasi atau pertempuran. Hanya ada dua pilihan; tidak ada pilihan
ketiga atau keempat. Para pendukung strategi perundingan diwakili oleh
pemerintah lewat empat orang tokoh kunci, yakni Presiden Soekarno, Wakil
Presiden Muhammad Hatta, Perdana Menteri Sutan Sjahrir, dan Menteri Pertahanan
Amir Sjarifuddin.
Di pihak lain, berdiri
para penyokong opsi merdeka 100% tanpa kompromi. Mereka tergabung dalam
Persatoean Perdjoeangan yang diawaki oleh Tan Malaka, Muhammad Yamin, Iwa Kusuma
Sumantri, dan para pemuda radikal, seperti Adam Malik, Soekarni, dan Chaerul
Saleh. Dengan memakai sejumlah pertimbangan —meski masih kontroversial,
Panglima Besar Jenderal Soedirman juga dapat dimasukkan sebagai pendukung
Persatoean Perdjoeangan.
Menurut pandangan
seorang pejuang revolusi; Soebadio Sastrosatomo; perbedaan pandangan antara
pemerintah Sjahrir dan Persatoean Perdjoeangan Tan Malaka adalah perbedaan ideologi.
Pemerintahan Sjahrir —yang didukung penuh oleh orang-orang sosialis, umumnya
berpaham Marxisme-Leninisme. Sementara itu, Tan Malaka dan Persatoean
Perdjoeangan-nya cenderung mengikuti paham perjuangan Trotski yang menganut
revolusi permanen.
Bagi Tan Malaka, keempat
tokoh politik terkemuka saat itu; Soekarno, Hatta, Amir Sjarifuddin, dan Sutan
Sjahrir; tidak lebih dari sekelompok “borjuis kecil”. Mereka terlalu lunak,
sampai-sampai mau berunding dengan musuh —yang oleh Tan Malaka dibahasakan
sebagai “berunding dengan maling di dalam rumah”. Sebuah ungkapan yang sinis,
tapi sayangnya benar.
Senada dengan ini, surat
kabar “Merdeka” (Jakarta) edisi 8 Oktober 1945 menurunkan sebuah karangan
berisi pengandaian yang dengan sangat tepat menggambarkan keinginan sebagian
besar rakyat Indonesia waktu itu. Redaksi menulis, “Kita soedah kasih thalaq lima pada Belanda. Tidak moengkin maoe kembali
lagi. Kita soedah kawin djiwa dengan Iboe Pertiwi. Dan (kita) tidak perloe
tjari-tjari bini baroe lagi.”
Buku ini berusaha
menyigi salah satu bagian penting dalam kontestasi politik antara pemerintah
dan pihak oposisi itu, yakni Peristiwa 3 Juli 1946. Peristiwa yang dinamakan
sesuai dengan tanggal kejadiannya itu merupakan puncak dari konflik antara
pemerintah dan Persatoean Perdjoeangan —yang sebelumnya telah panas— karena
peristiwa penculikan Perdana Menteri Sutan Sjahrir, rapat raksasa kaum oposisi,
serta penahanan Tan Malaka dan kawan-kawan. Pada tanggal 3 Juli 1946 itu,
sekelompok tentara dan sipil mendatangi Presiden Soekarno dan mendesaknya untuk
menandatangani empat helai surat maklumat yang intinya adalah perombakan
struktur pemerintahan. Dalam bahasan tertentu, kejadian ini bisa dianggap
sebagai kudeta; kudeta pertama dalam sejarah Indonesia.
Ekses Peristiwa 3 Juli
1946 sangat hebat. Sejumlah tokoh yang dulunya dianggap sebagai pahlawan
kemerdekaan, dipenjarakan. Orang yang belum tentu bersalah —dalam hal ini Tan
Malaka, bahkan tidak diberi kesempatan membela diri dalam pengadilan yang sah.
Yang lebih buruk, Peristiwa 3 Juli 1946 dan akibat-akibat yang mengikutinya,
membuktikan adanya masalah besar dalam perlawanan mempertahankan kemerdekaan
Indonesia, seperti ketidakpercayaan kepada teman seperjuangan, kepentingan
kelompok yang dipaksakan, serta lemahnya kemampuan para elite politik dalam
membangun jembatan komunikasi yang produktif.
Daftar Isi
I—Penculikan
Perdana Menteri Sutan Syahrir: Awal dari Sebuah Akhir
II—Sebuah
Negara Baru Bernama Indonesia
[Pendudukan Jepang di Indonesia | Kekalahan
Jepang dan Ketergesaan Pemuda | Penolakan Sukarno dan Hatta | Terlaksananya
Proklamasi Kemerdekaan]
III—Krisis
Politik dan Diplomasi
[Pemerintah Berpacu dengan Waktu | Belanda
Kembali ke Indonesia | Perang antara Belanda-Inggris dan Indonesia | Perjuangan
di Jalur Diplomasi | Surat Wasiat Sukarno-Hatta | Buku Perjuangan Kita |
Perkembangan di Ibu Kota | Pembentukan Tentara Nasional | Perundingan dengan
Belanda | Legislatif dan Yudikatif Saling Mendukung | Pemindahan Ibu Kota
Indonesia]
IV—Oposisi
Bernama Persatuan Perjuangan
[Ibrahim Gelar Datuk Tan Malaka | Memimpin
Partai | Keluar dari PKI | Menyembunyikan Identitas di Negeri Sendiri |
Berseberangan dengan Pemerintah | Minimum Program | Komposisi dan Afiliasi |
Kontroversi Sudirman | Oposisi yang Rumit | Kongres Kedua Persatuan Perjuangan
| Keterangan Singkat | Tanggapan dan Jawaban]
V—Segitiga
Retak: Pemerintah, KNIP, dan Persatuan Perjuangan
[Ketetapan-ketetapan BP KNIP | Sidang Lengkap
KNIP | Pembentukan Kabinet Baru | Kabinet Syahrir II | Kisruh di Persatuan
Perjuangan | Kegalauan Menyebar]
VI—Tan Malaka
Cs Disingkirkan
[Kongres Persatuan Perjuangan di Madiun |
Menciduk Pemimpin Persatuan Perjuangan | Persatuan Perjuangan Usai | Dari
Oposisi Menjadi Partisan | Sudirman Bertemu Tahanan | Perkembangan di Tubuh
Tentara | Setelah Penghalang Menghilang]
VII—Penculikan
Perdana Menteri Sutan Syahrir
[Surakarta Ibu Kota Oposisi | Ketidakpastian
Memicu Penculikan | Respons Pemerintah | Penangkapan Balasan | Tan Malaka
Bertanggung Jawab?]
VIII—Hari H,
3 Juli 1946
[Perkembangan di Yogyakarta | Kronik 3 Juli |
Tindak Lanjut Pemerintah | Mencuatnya Suharto | Misteri Keterlibatan Tan
Malaka]
IX—Penghukuman
[Peradilan Peristiwa 3 Juli | Kasus Penculikan
Syahrir | Kesaksian Sudirman: Menyelamatkan Diri Sendiri? | Vonis Hakim | Ke
Mana Tan Malaka?]
X—Grasi,
Sebuah Akhir
[Revolusi dan Oposisi | Grasi dari Pemerintah |
Dari Oposisi ke Afiliasi | Ada Apa dengan Tan Malaka?]
Bibliografi
Judul: Peristiwa 3 Juli
1946; Menguak Kudeta Pertama dalam Sejarah Indonesia
Penulis: M. Yuanda Zara
Tebal: xvi+276 hlm.
Dimensi: 14,5x21 cm
Cetakan: I, 2009
ISBN: (13)
978-979-788-031-6
Penerbit: Media
Pressindo, Yogyakarta
0 Komentar