Mayoritas
yang Tak Berdaya
Inilah kisah
‘Abdulloh bin Suwaid al-Manqory tentang Qois bin Ashim. Ia menuturkan peristiwa
yang terjadi pada detik-detik terakhir kehidupan Qois bin Ashim. Qois memanggil
anak-anaknya yang berjumlah tiga puluh orang yang semuanya laki-laki, lalu
berwasiat kepada mereka.
“Wahai anak-anakku,”
kata Qois bin Ashim, “jika aku sudah meninggal, angkatlah orang yang paling tua
di antara kalian sebagai pemimpin menggantikan ayah kalian dan janganlah
mengangkat orang yang paling muda di antara kalian, sehingga hal itu
menyinggung orang yang lebih layak untuk itu di antara kalian.”
Qois bin
Ashim melanjutkan wasiatnya, “Janganlah kalian menolerir wanita yang meratap
tangis karena aku pernah mendengar Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam melarang ratap tangis (karena
kematian seseorang). Hendaklah kalian mencari harta karena ia merupakan
peringatan bagi yang mulia dan dibutuhkan orang yang hina.”
“Janganlah
kalian memberikan kepada leher unta kecuali menurut haknya dan janganlah kalian
menghalangi haknya. Waspadailah orang yang asal-usul keturunannya buruk karena
meskipun suatu hari ia membuatmu senang, maka dia akan lebih banyak
menyakitimu. Waspadailah anak-anak musuh kalian, karena mereka pun merupakan
musuh kalian yang mengikuti jalan ayah mereka. Jika aku sudah meninggal,
kuburlah aku di suatu tempat yang tidak diketahui orang-orang dari Bani Bakar
bin Wa’il karena antara diriku dan mereka ada permusuhan dan perseli-sihan pada
masa Jahiliyah. Aku khawatir mereka menggali kuburku, sehingga merusak dunia
dan akhirat mereka,“ kata Qois bin Ashim meneruskan.
Kemudian Qois
bin Ashim meminta tabung penyimpan anak panah dan memanggil anaknya yang paling
besar bernama ‘Ali, lalu ia berkata, “Keluarkanlah satu anak panah dari tabung
ini.”
Maka anaknya
mengeluarkan satu batang anak panah. Kemudian Qois berkata, “Patahkan!”
Anaknya pun
mematahkan anak panah itu. Lalu Qois berkata, “Keluarkan dua batang anak
panah!”
Anaknya
mengeluarkan dua batang anak panah. Qois berkata, “Patahkan keduanya!”
Anaknya
mematahkannya. Kemudian Qois berkata, “Keluarkanlah tiga batang anak panah!”
Anaknya
mengeluarkan tiga batang anak panah. Qois berkata, “Ikatlah tiga batang anak
panah ini dengan tali!”
Maka anaknya
mengikat anak panah tersebut. Lalu Qois berkata, “Patahkan!” Tetapi anaknya
tidak mampu mematahkan. Maka Qois pun berkata, “Wahai anakku, beginilah kalian
apabila bersatu-padu. Begitu pula perumpamaan kalian jika bercerai-berai.”
Kisah
menjelang kematian Qois bin Ashim kita hentikan sampai di sini. Ada yang perlu
kita ambil dari pesan Qois kepada anak-anaknya tentang mahalnya kesatuan
langkah dan kesatuan hati kita sebagai anak panah agama dengan saudara-saudara
kita lainnya. Seperti anak panah itu, kalau kita satu ayunan langkah dengan
saudara kita yang lain dalam satu bendera kepemimpinan, maka insya Alloh
kedudukan kita akan kokoh di hadapan ummat manusia. Kita memiliki kehormatan (‘izzah) sebagai ummat sehingga meskipun
tak ada yang kita miliki, tetapi kita tetap dapat menegakkan kepala dengan
berwibawa.
Sebaliknya,
andaikata seluruh kekuatan dan kelebihan diberikan kepada kita, tetapi apabila
hati kita saling berselisih, antar kita saling berebut memimpin dan saling
menolak untuk dipimpin, maka seluruh kekuatan itu tidak ada artinya apa-apa.
Kekuatan yang sangat besar itu bisa tenggelam begitu saja di hadapan sebuah
kekuatan kecil yang bersatu.
Hari ini,
kondisi kita rasanya seperti itu. Kita tidak satu langkah dalam berbuat dan
satu hati dalam bersikap sehingga keadaan kita begitu mengenaskan. Sebagai
mayoritas, kita justru tak berdaya karena banyak di antara kita yang berebut
saling membusungkan dada. Terpecah menjadi dua saja sudah terlalu banyak.
Apalagi lebih dari itu!
Semoga kita bisa belajar
dari kebodohan kita sendiri.
***
Buku
ini berisi tentang nasihat-nasihat Mohammad Fauzil Adhim dengan caranya
bertutur seakan tengah berbicara dengan kita ―yang membaca― tanpa ada kesan
menggurui. Buku ini lebih berkesan sebagai ajakan untuk memahami agama dari
sudut pandang yang sering tak terpukau oleh kita.
Pada
hari ini, ketenangan seolah menjadi barang langka yang sulit ditemukan. Tidak
sedikit orang yang rela mengeluarkan uang dalam jumlah yang besar untuk
mendapatkan ketenangan batin; mengikuti kegiatan ini dan itu, menghadiri
meditasi sana-sini, mengikuti acara-acara yang membuatnya mengeluarkan air
mata. Sayang, setelah sejumlah rangkaian kegiatan kegiatan tadi, hati kembali
kosong dan dada terasa sesak kembali; terasa ada yang kurang.
“Ada
saat-saat ketika kita perlu mengambil barang sejenak dari kesibukan yang
membuat jiwa dan badan kita penat. Ada saat-saat ketika kita harus menemukan
keheningan di saat bertambahnya kekayaan namun tidak menambah ketenangan dan
kedamaian di hati kita.” (Mohammad Fauzil Adhim)
Kolumnis
parenting di majalah Hidayatullah ini ―lewat tulisan-tulisan didalamnya― tidak
jarang akan membuat kita terbelalak sambil menganggukkan kepala tanda setuju
sembari mengajak kita untuk merenung dengan sendirinya. Wawasan Penulis yang
luas tentang sejarah Islam, menjadi kekuatan buku ini. Kita akan dikisahkan
tentang banyak dialog sejumlah kejadian yang pernah terjadi saat zaman-zaman
awal Islam berdiri dan selanjutnya kita akan dibawa pada realitas kondisi kita
hari ini.
Sejarah
telah memberikan banyak informasi kepada kita tentang kekuatan jiwa, tentang
kebesaran hati, tentang kekuatan tekad untuk meraih cita. Sayangnya, kita
sering alpa untuk memetik pelajaran dari sejarah, bahkan tidak jarang kita
sering berujar, “Ah, itu kan dulu. Sekarang, tidak.” Lewat buku ini, anggapan
itu secara tersirat terbantahkan. Bukankah kita memang diperintahkan belajar
dari sejarah? Bukankah sejarah adalah peristiwa yang berulang, kecuali pelaku,
tempat, dan waktunya saja yang berubah?
Tulisan-tulisan
dalam buku “Mencari Ketenangan di Tengah Kesibukan” ini kaya akan hikmah. Tulisan
yang baik, insya Alloh dihasilkan
oleh Penulis yang baik, dengan proses yang baik pula. Bila Elizabeth Gilbert
dalam novelnya “Eat, Pray, and Love”
berjalan ke Italia, India, dan Indonesia untuk menemukan jati diri dan
ketenangan jiwanya sebagai perempuan... Andaikan boleh untuk mengubah alur
cerita dari novel yang diangkat dari kisah nyata tersebut, saya akan
menyarankan Elizabeth ―di saat ia sampai ke Indonesia― membaca buku ini.
Daftar
Isi
Bagian
Pertama: Membuka Jalan ke Surga
[Kebanyakan | Airmata Ibu Kita | Membuka Jalan ke Surga |
Menyempurnakan Niat | Engkau Belum Berbuat Baik | Memakmurkan Masjid dengan
Menentang-Nya | Di Mata Kita Ada Nikmat-Nya | Orang-orang yang Dikejar Rezeki |
Kesenangan yang Membahagiakan | Dahaga yang Tak Kunjung Sirna | Pintu-pintu
Kebajikan | Menakar Takwa | Belajar Mencintai Sesama Hamba | Berzikir Tapi
Tidak Tenang | Kasih Sayang Sesama Kita | Berpuasa Tapi Tak Berpahala |
Orang-orang Tercinta | Meraih Kemuliaan | Merenungi Zulqarnain | Mengutamakan
Ibu Kita | Menentramkan Jiwa dengan Harta | Ketika Azab Datang Mengguncang |
Apakah Belum Jelas Bagimu? | Menaati Allah Memuliakan Orangtua | Insya Allah |
Karena Ia Saudara Kita | Bergantung Kepada-Nya | Agama untuk Sesama]
Bagian
Kedua: Menangis Karena Hamdalah
[Bukan Milik Kita | Berhaji Tanpa Pahala | Belajar untuk
Memberi | Bahkan Rasul pun Marah | Menangis Karena Hamdalah | Aku Sakit, Kenapa
Engkau Tak Menjenguk-Ku? | Mencari Telaga di Tengah Kegersangan Zaman | Mendekati
Allah dengan Harta | Gembirakan Hati Mereka | Kebesaran Tanpa Kemegahan |
Memetik Dua Cinta | Sebelum Mereka Marah | Sejarah Panjang Boikot | Meski Hanya
Sekuntum Bunga | Solilokui Pagi Hari | Menakar Iman dari Tetangga | Meraih
Surga Melalui Tetangga | Mendahulukan Ridha Allah | Mendahulukan Surga |
Mendurhakai Istri | Mayoritas yang Tak Berdaya | Kukeluhkan ini pada-Mu | Kamu
Dusta | Agar Tak Ada yang Tersakiti | Berdiri untuk Mengingatkan | Sudah
Muslimkah Kita? | Ada Tanda di Wajah Kita | Kepada Manusia Tuhan Bertanya |
Berkah Karena Syari’ah]
Bagian
Ketiga: Demi Sepotong Nyawa
[Biarkan Ia Kembali | Kembalinya pada Kita | Bercermin
pada Al-Hajaj | Demi Sepotong Nyawa | Masih Ada Jalan | Airmata yang Menetes |
Sama-sama Sakit | Memulai Zuhud dari yang Ringan | Betapa Miskinnya Nabi Kita |
Sekalipun Ia Orang Yahudi | Mati Setiap Hari | Langit Tidak Berduka |
Kemenangan Tanpa Kesuksesan | Darah telah Menetes]
Bagian
Keempat: Keajaiban Kata
[Kekuatan Kata | Berawal dari Kata | Sentuhlah Hatinya |
Seolah-olah Zuhud | Mereka Membawa Pertanda | Katakan, “Saya Tidak Tahu!” |
Sampaikan Menurut Kadarnya | Kelembutan yang Menggerakkan | Menjaga Lidah
Menegakkan Izzah | Pesan Nabi Saw kepada Anak | Kecil yang Menentukan]
Bagian
Kelima: Letaknya Pada Jiwa
[Raihlah Tangannya | Seakan-akan Beriman | Akan Datang
Kengerian | Sejenak Mengingat Nabi | Ada yang Tak Tampak | Walau Hanya Sebiji
Kurma | Pendidikan Harus Berkarakter | Sudah Semakin Dekat | Pendidikan
Integral | Menghalangi Cahaya | Menghampiri Kemuliaan Nabi | Menguatkan Jiwa |
Jiwa-jiwa yang Resah | Jayalah Kita | Agar Pendidikan Tak Salah Arah]
Epilog:
Menjemput Hidayah
Bibliografi
Judul:
Mencari Ketenangan di Tengah Kesibukan
Penulis:
Mohammad Fauzhil Adhim
Tebal:
342 hlm.
Dimensi:
13,5 x 19,5 cm
Cetakan:
I, 2012
ISBN:
979-1273-91-X
Penerbit:
Pro-U Media, Yogyakarta
0 Komentar