Resensi: Sejarah Bangsa Israel dalam Bibel dan Al-Qur'an

Sekitar pertengahan abad ke-17 SM, Yusuf yang masih anak-anak dibawa ke Delta Timur di Mesir yang berada di bawah kekuasaan orang-orang Hyksos. Dia kemudian dapat menduduki posisi yang sangat tinggi, mungkin jabatan kedua setelah Raja. Ayahnya, Ya’qub, ibunya, 11 saudaranya, dan keluarga mereka kemudian datang dan menetap di wilayah yang sama. Terusirnya orang-orang Hyksos oleh Firaun Ahmose I sekitar pertengahan abad ke-16 SM, menyebabkan Bani Israel diperbudak seperti banyak orang asing lain di tanah Mesir. Mereka disebarkan, baik secara individual maupun kelompok ke berbagai wilayah Mesir sesuai dengan kebutuhan tenaga kerja.

Pada awal dekade ketiga dari abad ke-13 SM, budak-budak Israel −bersama dengan budak-budak yang lain− dikumpulkan dari berbagai wilayah Mesir dan dikirim ke wilayah lama mereka di Delta Timur. Di tempat ini, Ramses II memutuskan untuk membangun sebuah kota baru pada situs yang sama dari Avariz kuno −yang pernah menjadi ibukota Hyksos dan tempat tinggal awal Bani Israel. Setelah membangun ibukota baru, Pi-Raamses, para budak disebar kembali ke wilayah lain Mesir sesuai dengan kebutuhan tenaga kerja. Sebagian budak −termasuk budak-budak Bani Israel− ditempatkan di kota itu untuk menggarap pekerjaan yang diperlukan dan ambil bagian dalam proyek pembangunan selanjutnya. Keluarga Musa hidup dalam komunitas kecil Israel di Pi-Raamses.

Suatu saat, Fir’aun entah bagaimana mengetahui kelahiran seorang anak laki-laki Israel yang akan tumbuh menjadi pemimpin Bani Israel dan akan menyebabkan keruntuhannya dan mengalahkan tentaranya. Untuk mencegah terjadinya skenario yang muram ini, Fir’aun mencanangkan operasi brutal dengan membunuh setiap bayi laki-laki Israel yang baru lahir. Namun, Musa −yang menjadi sasaran− lepas dari maut. Dengan bertindak sesuai perintah Allah, ibu Musa menyusuinya dan kemudian ketika dia merasa bahwa kehidupan anaknya dalam bahaya, dia meletakkannya di peti dan menghanyutkannya di sungai. Musa kemudian dipungut oleh keluarga Fir’aun dan dibesarkan di Istana Fir’aun.

Pada usia 20-22 tahun, Musa turut campur dalam perkelahian antara salah seorang kaumnya dan seorang musuh. Dia membunuh lawan orang sekaumnya itu. Akibatnya, para petinggi Mesir di Istana Fir’aun berencana membunuh Musa, sehingga dia harus melarikan diri ke Midian. Dia hidup di sana selama 9-10 tahun sebelum pergi bersama keluarganya. Dalam perjalanan, Musa diajak bicara oleh Alloh yang memerintahkan agar kembali ke Mesir untuk mengajak Fir’aun beriman kepada Alloh dan membebaskan Bani Israel dari perbudakan, sehingga mereka dapat pergi bersama Musa ke tanah suci yang telah dijanjikan Alloh kepada mereka.

Setelah tuntutannya ditolak oleh Fir’aun yang arogan, Musa menunjukkan kepada Fir’aun mukjizat yang Alloh anugerahkan kepadanya. Dia juga menunjukkan para tukang sihir yang dikumpulkan Fir’aun untuk bertanding dengan Musa. Setelah itu, setelah itu Musa diperintahkan Alloh untuk tinggal bersama saudaranya, Harun, di Delta Timur dan menjadikan tempat tinggalnya sebagai titik pertemuan Bani Israel dari seluruh penjuru Mesir.

Setelah sadar dirinya sama sekali tak mampu menyakiti Musa dan Harun yang dilindungi kekuatan Ilahi, Fir’aun kemudian memulai operasi baru dengan membunuh bayi-bayi laki-laki Israel yang baru dilahirkan untuk menghalangi Bani Israel mengikuti Musa. Pembantaian kedua ini mungkin dihentikan setelah kaum Fir’aun ditimpa hukuman Ilahi dalam bentuk tulah (10 bencana yang Alloh datangkan untuk Mesir). Setelah datang tulah terakhir, Fir’aun menyerah dan berjanji kepada Musa akan mengizinkan Bani Israel pergi jika Musa memohon kepada Alloh untuk mengakhiri tulah itu. Akan tetapi, setelah tulah itu berakhir, Fir’aun mengkhianati janjinya. Merasa bahwa dia mampu mengalahkan Musa dan kaumnya, dan tidak tahan lagi terhadap mereka, Fir’aun memutuskan untuk kembali menyebar Bani Israel. Untuk menggagalkan rencana Fir’aun, Alloh memerintahkan Musa membawa kaumnya meninggalkan Mesir pada malam hari.

Setelah menyadari bahwa Bani Israel ini pergi diam-diam, Fir’aun mengumpulkan tentara dan −mungkin− dalam beberapa pekan dia mengejar orang-orang yang melarikan diri itu. Kecilnya jumlah Bani Israel yang melarikan diri menyebabkan mereka tidak memiliki peluang jika berhadapan dengan tentara Fir’aun yang jauh lebih unggul. Fir’aun dan tentaranya menyusul Bani Israel yang telah sampai di tepi laut. Di sini, Alloh campur tangan lagi, sehingga Musa bisa membelah laut supaya kaumnya dapat menyeberangi laut itu. Ketika Fir’aun dan tentaranya mengejar mereka di jalan kering itu, laut kembali menyatu dan mereka semua tenggelam. Saat melihat dirinya berada di ambang kematian, Ramses II menyatakan keimanannya kepada Tuhan Musa. Sangat terlambat baginya. Alloh hanya menyelamatkan jasad Ramses II untuk menjadikannya sebagai peringatan bagi kaum yang datang sesudahnya. Dan terbukti jasadnya dapat disaksikan oleh manusia dari berbagai generasi dan tempat.

Setelah eksodus, Bani Israel yang tidak taat terus menimbulkan masalah bagi Musa. Misalnya, ketidaktaatan telah mendorong mereka menolak perintah Ilahi untuk memasuki tanah suci. Alloh menghukum mereka karena ketidaktaatan dan ketidakpatuhan itu dengan melarang mereka memasuki tanah suci selama 40 tahun, sehingga mereka terpaksa harus mengembara di tanah lain.

Di samping menafsirkan kisah Al-Quran tentang Musa dan membandingkannya dengan fakta yang kuat tentang Mesir kuno, buku ini juga menyoroti penjelasan Al-Quran tentang kekeliruan Perjanjian Lama dan Baru yang berkaitan dengan kisah Musa;
Pertama, tidak pernah ada pembantaian bagi laki-laki yang baru lahir di Betlehem dengan tujuan membunuh bayi Isa sebagaimana diklaim Penulis Injil Matius. Kisah ini sepenuhnya dikarang-karang untuk meniru pembantaian sesungguhnya yang terjadi pada masa kelahiran Musa.
Kedua, klaim Bibel bahwa istilah Ibrani adalah nama lain Bani Israel yang terbukti sama sekali keliru.
Ketiga, etimologi istilah yang diterjemahkan dalam bahasa Inggris dengan “Jew” (Yahudi) adalah salah. Istilah ini bukan berasal dari Yuda”, nama putra Ya’qub, melainkan dari kata kerja yang berarti bertobat atau kembali ke jalan yang benar.
Keempat, begitu pula istilah yang diterjemahkan dalam bahasa Inggris dengan “Nazarene bukanlah berasal dari Nazaret, tempat Isa diduga pernah tinggal, melainkan dari kata kerja yang berarti mendukung atau menolong”. Nazarene pada mulanya digunakan dalam konteks khusus yang berarti “penolong Alloh”.
Kelima, Yahudi dan Nazarene adalah gelar para pengikut Musa dan Isa, tetapi bukan gelar Musa dan Isa itu sendiri.
Keenam, istilah Yahudi dan Nazarene” bukanlah pemberian manusia, tetapi keduanya diberikan Alloh. Istilah “Muslim juga diberikan Alloh. Tetapi setelah ini menjadi nama umum bagi setiap manusia yang beriman kepada Alloh, meskipun mereka disebut pula dengan nama-nama lain sebagaimana Dia berikan.

Tujuan buku ini bukan sekedar menunjukkan bahwa kisah Musa dalam Bibel tidak akurat. Sejak lama sudah umum diketahui bahwa kisah di Bibel ini −dan bahkan narasi Bibel secara umum− penuh dengan inkonsistensi internal di samping bertentangan dengan fakta historis yang teruji. Studi ini tidak membahas semua informasi yang salah dalam kisah Musa menurut Bibel, tetapi sebaliknya menunjukkan hanya kekeliruan dalam Bibel yang tidak terdapat atau disanggah oleh Al-Quran. Kesalahan-kesalahan dalam kisah Musa menurut Bibel yang tidak disebutkan Al-Quran tidak dibahas dalam buku ini.

Jika Al-Quran berasal dari Bibel, kesalahan yang begitu banyak terdapat dalam Bibel pasti mempengaruhinya. Misalnya, mengapa Al-Quran mendeskripsikan Bani Israel sebagai sebuah bangsa kecil padahal Bibel mengklaim bahwa mereka berjumlah 2-3 juta. Sebuah angka yang sangat melambung, sehingga tidak ada sarjana yang mengakuinya? Harus dicatat bahwa informasi jumlah Bani Israel yang sangat besar sehingga berbahaya bagi Mesir itu begitu menarik pikiran orang yang tidak menyadari fakta historis sehingga para mufasir Muslim pun menerima. Mengapa Al-Quran tidak sepakat dengan keyakinan Bibel −yang terkesan lebih logis− bahwa jasad Fir’aun hilang ditelan laut, tetapi sebaliknya menyatakan bahwa “jasad Fir’aun diselamatkan? Dan mengapa Al-Quran menyatakan hal itu khusus mengenai Fir’aun, tetapi tidak mengenai orang-orang lain yang juga dibinasakan Alloh? Mengapa “Hamam” −yang namanya sekarang dapat kita kaitkan dengan Dewa Mesir Amon− muncul dalam kisah Musa di Mesir pada Kerajaan Baru −bukan di Persia seperti dalam Bibel? Mengapa Al-Quran mengabaikan sepenuhnya etimologi Musa yang salah −tetapi menarik dalam Bibel? Dan jika Al-Quran ditulis manusia, tidakkah dia akan menyalin motif pembantaian bayi laki-laki dalam kisah kelahiran Isa? Juga bahwa orang-orang Ibrani adalah Bani Israel dan Isa adalah orang Nazarene karena dia berasal dari Nazaret yang tidak dikenal. Al-Quran tidak menerima satu pun dari klaim-klaim ini dan banyak lagi klaim Bibel yang salah. Bagaimana proses penyaringan ini terjadi? Keyakinan yang tersebar luas bahwa Al-Quran berasal dari Bibel tegas-tegas tertolak oleh fakta. Klaim yang berusia 14 abad ini seringkali merupakan akibat dari ketidaktahuan tentang isi Al-Quran, dan kadang-kadang isi Bibel juga.

Aspek lain dari teks Al-Quran adalah konsistensinya. Tidak seperti Bibel, Al-Quran tidak menyatakan sesuatu yang beberapa halaman kemudian membantahnya sendiri. Studi Fatoohi dan Shetha ini juga menegaskan fakta bahwa tidak ada data historis Al-Quran yang berlawanan dengan fakta historis yang teruji dan bahwa Al-Quran memberikan informasi historis yang baru. Al-Quran hanya dapat dikarang oleh Sejarawan Mahasempurna yang menciptakan sejarah dan tidak pernah salah, Alloh, yang menggambarkan Al-Quran sebagai berikut:
Maka apakah mereka tidak memperhatikan Al-Quran? Kalau kiranya Al-Quran itu bukan dari sisi Alloh, tentulah mereka mendapat pertentangan yang banyak di dalamnya. (QS. An-Nisa’ [4]: 82)

Daftar Isi
Bab 1−Eksodus dalam Bibel: Penjelasan dan Inkonsistensi
Bab 2−Eksodus Menurut Bibel dan Sejarah
Bab 3−Pengantar kepada Al-Qur’an
Bab 4−Hakikat dan Sejarah Bibel
Bab 5−Petunjuk Al-Qur’an tentang Waktu dan Tempat Masuknya Bani Israel ke Mesir
Bab 6−Nabi Musa dalam Al-Qur’an
Bab 7−Identifikasi Al-Qur’an tentang Fir’aun Eksodus
Bab 8−Paparan Al-Qur’an tentang Eksodus
Bab 9−Kelahiran dan Pembantaian: Fakta dan Fiksi
Bab 10−Nama-nama Religius: Fakta dan Fiksi

Judul: Sejarah Bangsa Israel dalam Bibel dan Al-Qur’an; Sebuah Penelitian Islamic Archaeology
Penulis: Dr. Louay Fatoohi dan Prof. Shetha Al-Dargazelli
Penerjemah: Munir A. Mu’in
Tebal: 360 hlm.
Dimensi: 15,5x23,5 cm
Cetakan: I, Desember 2007
ISBN: 979-8394-89-5
Penerbit: Mizania, Bandung

Resentator: Harmasto Hendro Kusworo

Posting Komentar

0 Komentar