Sedikitnya literatur
yang membahas tentang sejarah Islam Indonesia. Hal ini cenderung bertujuan
untuk mengaburkan bukan saja pentingnya Islam Indonesia itu sendiri, tetapi
juga perbedaan-perbedaan yang mendalam antara para pemimpin Muslim dan kelompok
sosial dan politik Indonesia lainnya, baik yang tradisional maupun yang modern
di zaman kolonial. Demikian papar Prof. Dr. Harry Jundrich Benda dalam
pengantar bukunya The Crescent and the Rising Sun: Indonesian Islam under the Japanese
Occupation 1942-1945 (The Hague, 1958), yang terjemahannya kini kita
baca. Buku ini mencoba menelusuri perkembangan Islam Indonesia dan peranan
penuh liku-liku yang dimainkannya di zaman modern dalam sejarah politik
Indonesia di bawah kekuasaan asing.
Prof. Benda yang wafat
tahun 1972 pada akhir hayatnya menjabat Guru Besar Sejarah Asia Tenggara di
Universitas Yale, Amerika Serikat. Karyanya ini merupakan sumbangan sangat
berharga bagi penulisan sejarah Indonesia terutama periode mutakhir.
Bagian Pertama, “Warisan Kolonial” (tiga bab), merupakan
uraian situasi Indonesia ―khususnya umat Islam― pada masa-masa terakhir
kekuasaan Belanda. Bagi orang Belanda, menurut Prof. Benda, tidak terlalu
mempedulikan penaklukan yang bersifat agama dibandingkan dengan
keuntungan-keuntungan di bidang perdagangan. Akan tetapi dalam batas-batas di
mana tujuan-tujuan komersial mengharuskan keterlibatan mereka dalam
masalah-masalah politik Indonesia, maka perlawanan kepada campur tangan Belanda
tidak jarang cenderung untuk memperkuat sentimen agama Islam (h.29).
Di awalnya, Prof. Benda
menyebutkan bahwa masuknya Islam ke Nusantara dimulai abad ke-13 dengan
keberadaan kerajaan Islam di ujung Sumatera Utara. Merambah ke Aceh, Malaka,
Maluku, pesisir Utara Jawa.
Bab Satu, “Dasar-dasar Politik Belanda terhadap Islam”,
Prof. Benda mengklasifikasi masyarakat Islam Indonesia dalam tiga kelompok yang
disarankan Clifford Geertz dalam buku The Religion of Java (Chicago,
1955), yaitu abangan, priyayi, dan santri. Kemudian menguraikan ulasan politik
Belanda terhadap Islam yang dirumuskan Christiaan Snouck Hurgronje. Meskipun
klasifikasi Geertz mengandung kelemahan dan mengundang kritik, kenyataannya
kelompok priyayi perlu ditinjau secara khusus —setidak-tidaknya dalam
pembahasan mengenai pandangan Snouck tentang Islam. Snouck merekomendasikan
bahwa untuk mengalahkan pengaruh Islam di Indonesia, kaum priyayi harus diberi
pendidikan Barat (Westernized Indonesia),
sehingga terjauhkan dari agamanya (geemancipeerd
van het Islam stelsel).
Prof. Benda melukiskan
pembagian Islam oleh Snouck menurut dua aspek yang dapat dipisahkan: Islam
religius dan Islam politik (h.44). Sebenarnya Snouck melihat Islam memiliki
tiga aspek: sebagai religi (godsdienstig),
sebagai sistem sosial kemasyarakatan (maatschappelijk),
dan sebagai sistem kenegaraan (staatkundig).
Dalam rekomendasinya kepada pemerintah Belanda Snouck menyarankan agar terhadap
yang pertama pemerintah bersikap netral dan jangan ikut campur. Terhadap yang
kedua, pemerintah memberikan kelonggaran, malahan jika perlu dibantu sebagai
upaya mengambil hati umat Islam. Tetapi terhadap yang ketiga, Snouck mengharap
pemerintah jangan sekali-kali memberikan toleransi dan harus selalu siaga untuk
menumpasnya. Musuh bukanlah Islam sebagai agama, kata Snouck, akan tetapi Islam
sebagai doktrin politik (h.44). Kenyataannya, buah pikiran Snouck ini turut
mewarnai garis politik kolonial baru yang dikenal dengan politik etis.
Pemisahan yang dilakukan
Snouck antara agama dan politik dalam Islam, menurut Prof. Benda tidak
realistis, bahkan tidak mencerminkan sifat universal agama ini. Pemisahan agama
dan politik, kata Prof. Benda, hanya merupakan fenomena sementara Islam dalam
masa kemerosotannya. Dalam masa kesadaran Islam hal itu tak dapat berlangsung
lama (h.50-51).
Ketidaktepatan tafsiran
Snouck itu dijelaskan dalam Bab Dua, “Renesans
Islam Indonesia”. Pengarang menguraikan kebangkitan Islam yang dinamis,
sehingga pada awal abad ke-20, Islam Indonesia tumbuh lebih luas daripada
batasan abad ke-19 yang menjadi dasar analisis dan rekomendasi Snouck. Gema
pemikiran para reformis Islam (Pan-Islamis) di Timur Tengah, seperti Jamaluddin
Al-Afghani dan Muhammad Abduh, terwujud di Indonesia dalam bentuk organisasi
Sarekat Islam dan Muhammadiyah. Pada gilirannya, gerakan-gerakan reformis ini
menimbulkan reaksi baru dalam bentuk kebangunan kaum tradisionalis yang
dipelopori Nahdlatul Ulama.
Sesungguhnya, sejak
tahun 1930-an sudah muncul peringatan-peringatan terhadap politik Belanda.
Misalnya Prof. George Henri Bousquet dari Perancis, yang menilai pemerintah
Belanda terlalu lemah menghadapi Islam dan meremehkan bahaya politik yang
dikandung gerakan sosio-religius seperti Muhammadiyah. Namun api telah terlalu
menjalar sehingga sukar dipadamkan. “Kekurangpahaman tentang gerakan
pembaharuan Islam menyebabkan politik pemerintah Hindia Belanda terhadap Islam
menjadi impoten,” komentar Prof. Dr. W.F. Wertheim yang turut memberikan Kata
Pengantar dalam buku Prof. Benda ini. Juga perlu kita garisbawahi bahwa Jong
Islamieten Bond yang didirikan H. Agus Salim dan kawan-kawannya tahun 1925
memberikan fenomena baru yang barangkali tidak terbayangkan oleh Snouck, yaitu
munculnya para modernis Islam dari kalangan priyayi.
Bab Tiga, “Tantangan dan Jawaban”, Prof. Benda
mengungkapkan bertambah mantapnya gerakan Islam dengan bersatunya kelompok
modernis dan kelompok tradisionalis dalam wadah MIAI (Majlis Islam A’la Indonesia)
pada bulan September 1937. Dibayangi ketakutan perang melawan Jepang, Belanda
mulai menyadari kebutuhan memperoleh sekutu di kalangan Islam. Hal ini ditandai
dengan membuka Sekolah Penghulu di Jawa Barat, subsidi yang cukup besar bagi
jemaah haji, serta perangko amal bagi kepentingan Muhammadiyah. Namun keharusan
sejarah agaknya tak dapat ditahan. “Matahari Terbit” melanda Nusantara dan
menghapuskan Hindia Belanda.
Bagian Kedua karya Prof.
Benda, terdiri atas lima bab yang membahas masa “Pendudukan Jepang”, sesuai dengan judul bukunya. Bagian ini dicatat
dari sumber tangan pertama, terutama dari harian berbahasa Indonesia dan dari
berkala tahun-tahun tersebut. Masuknya Jepang ke Indonesia membuka era baru
dalam tingkah laku politisi Indonesia. Jika di zaman
Belanda penjara dan pembuangan merupakan hukuman paling kejam, di zaman Jepang
penyiksaan dan kematian dijatuhkan bagi mereka yang dicurigai tidak taat. Jika
di zaman Belanda dikenal istilah kooperasi dan non-kooperasi, di zaman Jepang
perbendaharaan istilah politik bertambah dengan kolaborasi. Dan rupanya Jepang
telah merumuskan politiknya terhadap Islam jauh hari sebelumnya.
Sejak pertengahan tahun
1920-an, lembaga studi dan majalah yang membahas masalah Islam telah muncul di
Jepang. Pada November 1939 suatu pameran dan kongres Islam diadakan di Tokyo
dan Osaka. Delegasi MIAI dari Indonesia juga turut hadir. Segera seusai
kongres, seorang ahli Islam, Prof. Kanaya, berangkat ke Indonesia untuk
memperkuat ikatan umat Islam kedua bangsa. Sesudah Jepang menduduki Indonesia,
pendekatan terhadap Islam Indonesia terus gencar: menekankan persamaan Shinto
dan Islam mengenai konsep hakkoichiu
(persaudaraan sejagad), shilaturrahim dengan para pemuka MIAI, membuka Kantor
Urusan Agama (Shumubu), menjamu para
pemimpin Islam di Hotel Des Indes yang mewah, dan menampilkan ‘haji-haji Tokyo’
seperti Abdul Hamid Ono, Abdul Mun’im Inada, Muhammad Taufik Suzuki, Yusuf
Saze. Bahkan ada tentara Jepang yang ikut bersembahyang di masjid-masjid! Jika
organisasi lain tak diizinkan membuat majalah, Soeara MIAI sejak Januari 1943
diizinkan terbit.
Para tokoh Islam
mempunyai senjata moral dengan mengemukakan prasyarat kerjasama dengan
penyembah berhala itu: asalkan agama Islam tidak diganggu. Maka terjadilah
permainan kucing-kucingan para tokoh Islam yang mencoba mengambil manfaat dari
kerjasama itu. Prof. Benda mengemukakan bahwa pada zaman Jepang, elite Islam
memperoleh bagian yang lebih besar dibandingkan dengan yang diperoleh pada
zaman Belanda (h.169). Kaum Muslimin juga berperan dalam pembentukan tentara
lokal. Pada Juli 1943, para kiai dilatih kemiliteran di Jakarta, dan latihan
korps perwira Indonesia pada Oktober 1943 dengan melibatkan jumlah kiai yang
cukup besar.
Menurut Prof. Benda,
kelompok Islam mendapat dukungan yang jauh lebih besar di desa-desa
dibandingkan dengan kaum nasionalis sekuler. Itulah sebabnya ketika mendirikan
angkatan bersenjata Indonesia yang pertama, penguasa Jepang memalingkan muka
kepada Islam. Bendera Peta bukanlah Merah-Putih, melainkan Bulan-Sabit di atas
Matahari-Terbit, melukiskan perang suci Islam Indonesia terhadap imperialis
Barat yang Kristen (h.174-175):
“Bendera (demikian
terbaca tulisan resmi) menunjukkan sebuah bidang hijau, dengan matahari bulat
di tengah..., sinar-sinarnya... yang merah memancar ke segala arah. Di dalam
matahari ini, bulan sabit dan bintang muncul dalam warna putih, sebuah simbol
yang dihormati oleh para penduduk Jawa...”
Sangat menarik mengikuti
bagaimana cara Jepang memandulkan MIAI. Shumubu
sering melangkahi MIAI dalam mendekati para ulama. Usaha para pemimpin MIAI
untuk mengadakan rapat umum tidak diizinkan. Meskipun MIAI berhasil mengusahakan
berdirinya Baitul-Maal, organisasi itu terus dikuras sehingga yang tinggal
hanya kantor pusatnya di Jakarta. Akhirnya, September 1943, pemerintah
pendudukan Jepang memberikan status hukum kepada Muhammadiyah dan Nahdlatul
Ulama beserta cabang-cabangnya di Jawa, dan sebulan kemudian MIAI terpaksa
bubar.
Sebagai pengganti MIAI,
dibentuk wadah Majelis Syuro Muslimin Indonesia ―dengan singkatan Masyumi yang
mirip-mirip nama Jepang― dengan Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama sebagai tulang
punggungnya. Berbeda dengan MIAI, Masyumi mempunyai keanggotaan yang meyakinkan
di seluruh Jawa. Menurut Prof. Benda, Jepang tetap mengharapkan penggalangan
kaum Muslimin demi tujuannya (h.216). Pendekatan Jepang ini dimanfaatkan pula
oleh Masyumi untuk membentuk pasukan Hizbulloh (Tentara Alloh) pada bulan
Januari 1945.
Bahkan sampai saat-saat
terakhir menjelang kejatuhannya, Matahari Terbit berusaha menarik Bulan Sabit
ke dalam orbitnya. Pada tanggal 1 Mei 1945 Gunseikan
memutuskan hari Jum’at libur setengah hari bagi kantor pemerintah. Pada 11
Juni, Al-Quran dicetak pertama kalinya di bumi Indonesia. Dan pada 8 Juli,
Universitas Islam Indonesia didirikan dengan Abdul Kahar Muzakkir sebagai
ketua. Setelah proklamasi kemerdekaan, universitas ini dipindahkan dari Jakarta
ke Yogyakarta.
Sayang sekali kita tidak
menikmati peristiwa bulan Juni dan Juli 1945 dengan cukup mendetail dalam buku
ini. Padahal, bulan-bulan itu penuh dengan kejadian yang menentukan posisi
Islam dalam zaman Indonesia merdeka. Betapa gigihnya para tokoh Islam dalam Dokuritsu Junbi Cosakai memperjuangkan
Islam sebagai dasar negara, dan betapa gigihnya pula para tokoh nasionalis
sekuler menolaknya, sehingga muncul Piagam Jakarta 22 Juni 1945 sebagai titik
kesepakatan.
Kekurangan buku Prof.
Benda ini adalah hanya membahas perkembangan Islam di Jawa. Terhadap terjemahan
Daniel Dhakidae patut kita acungkan jempol. Sayangnya penerjemah tidak sedikit
pun memberikan informasi siapa Prof. Dr. Harry Jundrich Benda. Dan alangkah
baiknya jika buku ini dilengkapi dengan indeks.
Akhirnya, ada baiknya
kita merenungkan kata pengantar W.F. Wertheim dalam permulaan buku ini. “Apa
pun politik terhadap Islam yang akan dilancarkan oleh kekuasaan non-Islam,”
tulis guru besar Universitas Amsterdam itu, “hasilnya senantiasa berbeda dari
apa yang ingin dikejar kekuasaan tersebut. Sekali lagi, kekuatan-kekuatan dunia
sedang mencoba menggunakan Islam untuk mencapai tujuan-tujuan politiknya.
Sekali lagi, mereka akan mengalami bahwa pada gilirannya akan dimanfaatkan oleh
kaum politisi Islam untuk mencapai tujuan-tujuan yang sangat berbeda dengan
tujuan-tujuan kekuatan-kekuatan dunia itu sendiri. Matahari Terbit sia-sia mencoba menarik Bulan Sabit untuk menetap di dalam orbitnya. Bulan Sabit terlalu besar untuk menjadi satelit siapa pun.”
Daftar Isi
Bagian Pertama: Warisan Kolonial
Bab Satu: Islam Indonesia dan Dasar-dasar
Politik Belanda terhadap Islam
Bab Dua: Renesans Islam Indonesia
Bab Tiga: Tantangan dan Jawaban: Islam Indonesia
pada Tahun-tahun Terakhir Penjajahan Belanda
Bagian Kedua: Pendudukan Jepang
Bab Empat: Masa Coba-coba April-Desember 1942
Bab Lima: Islam Indonesia dan Semangat Dai
Nippon
Bab Enam: Konsolidasi Politik Jepang terhadap
Islam selama Tahun 1943
Bab Tujuh: Bangkitnya Masjumi: Nopember
1943-September 1944
Bab Delapan: Menuju Kemerdekaan: September
1944-Agustus 1945
Judul: Bulan Sabit dan Matahari Terbit; Islam
Indonesia pada Masa Pendudukan Jepang
Penulis: Harry Jundrich
Benda
Penerjemah: Daniel
Dhakidae
Tebal: 344 hlm.
Dimensi: 14,5 x 20,5 cm
Cetakan: II, 1985
Penerbit: Pustaka Jaya,
Jakarta
Resentator: Harmasto
Hendro Kusworo
0 Komentar