Resensi: Lonceng Nagasaki


Segera setelah ledakan bom atom itu, tersiar berita bahwa tak mungkin ada kehidupan di Nagasaki selama 75 tahun mendatang. Berbahaya, kata mereka, kembali ke reruntuhan kota itu.

Tiba-tiba datang sinar yang terangnya bisa membutakan mata, tapi tak ada suara apa-apa. Dengan perasaan kecut, Chimoto-san mengangkat kepalanya. “Bom! Di atas Urakami.” Dan di daerah dekat gereja dilihatnya segumpal besar asap putih mengapung di udara, semakin tinggi semakin besar pula. Tapi yang paling mengecutkan hatinya adalah angin seperti badai yang menyerangnya. Angin itu datang dari bawah asap putih itu menyerbu ke arah bukit tempat dia menyabit dengan kecepatan dan kekuatan sangat menakutkan. Rumah, pepohonan, dan apa saja yang dilandanya roboh dan beterbangan dihantamnya. Lalu semuanya terbanting ke tanah, pecah berkeping-keping dan diterbangkannya kian-kemari. Sekelompok pohon kayu di hadapannya tiba-tiba hilang begitu saja dibawa angin itu. Apakah ini sebenarnya? Dia hanya bisa membayangkan sebuah traktor besar baru saja lewat dengan kecepatan tinggi dan menyapu bersih apa saja yang dilandanya. Aku sekarang akan hancur luluh, pikirnya. Dari mulutnya pun kelur, “Ya Tuhan! Ya Tuhan,” sambil menelungkupkan mukanya kembali ke tanah.

Setelah itu barulah terdengar dentuman yang memekakkan telinga dan Chimoto-san terlempar sejauh lima meter dan membentur dinding tembok. Akhirnya dia membuka matanya dan melihat berkeliling. Pohon-pohon tumbang. Semua cabang dan daun terlepas dari batangnya, dan rumput-rumputan pun tidak kelihatan, semua gundul. Apa saja yang lebih tinggi dari permukaan tanah sudah tak satu pun kelihatan. Yang paling terasa hanyalah bau mesiu.

Takami-san sedang menuntun sapinya ke Koba. Dia sedang berada di Jalan Odorise, kira-kira dua kilometer dari Urakami waktu bom atom itu jatuh. Dia merasakan hawa panas, seperti kalau kita berdiri dekat tungku, dan dia dan sapinya terbakar hangus. Dan tiba-tiba beberapa bola api menimpa mereka. Bola api itu membakar apa saja yang disentuhnya, dan setelah padam yang tinggal hanyalah bau seperti lampu kinyak baru saja dipadamkan. Dan kebakaran pun terjadi di mana-mana di sekitar mereka.

Tanggal 9 Agustus 1945, pukul sebelas lewat dua menit pagi, bom meledak pada ketinggian 500 meter di atas Matsuyama, di pusat distrik Urakami kota Nagasaki. Energi yang dihasilkan ledakan itu menghasilkan angin sekencang 2.000 meter/detik, membanting dan menghancurkan apa saja yang dilandanya. Ruang hampa udara yang terjadi di pusat ledakan menyedot segala macam benda yang berada dekat situ dan menerbangkannya ke udara, lalu membantingnya kembali ke bumi. Panas tinggi 9.000 derajat Fahrenheit (hampir 5.000 derajat Celcius) membakar daerah sekitarnya. Benda-benda dan batu panas beterbangan ke mana-mana dan membakar apa saja yang disentuhnya.

Diperkirakan 30.000 orang mati seketika dan lebih dari 100.000 orang menderita luka berat dan ringan, dan sejumlah besar lagi terkena berbagai penyakit akibat radiasi. Gejala penyakit itu ada yang cepat datangnya dan ada pula yang lambat.

Asap bom itu, serta tanah dan debu yang disedot ruang hampa udara di pusat ledakan menghalangi sinar matahari, sehingga siang itu menjadi gelap seperti waktu gerhana. Tapi setelah kira-kira tiga menit, asap dan debu itu pun jatuh ke bumi atau diterbangkan angin, sehingga hari terang kembali.

Takashi Nagai adalah seorang profesor yang sebakda ledakan bom atom di Nagasaki mengambil peran sebagai seorang dokter. Menangani siapa pun yang membutuhkan pertolongan para korban bom atom, meski pun ia adalah salah satu korban selamat bom atom dengan luka yang cukup parah dan terpapar radioaktif bom atom yang mengantarkannya pada akhir hidup.

Apa yang terjadi siang itu diterangkan dengan jelas oleh Takashi Nagai dalam buku ini. Dan angka-angka di bawah ini bisa dilihat sekarang di Taman Mengenang Perdamaian di Nagasaki:
Meninggal: 73.884
Luka: 74.909
Korban lain: 120.820
Rumah terbakar habis: 11.574
Rumah rusak berat: 5.509
Rumah rusak sebagian: 50.000

Judul: Lonceng Nagasaki
Penulis: Takashi Nagai
Penerjemah: Ismet Fanany
Tebal: 222 hlm.
Dimensi: 11x18 cm
Cetakan: I, Oktober 1989
ISBN: 979-403-619-6
Penerbit: Gramedia, Jakarta
Resentator: Harmasto Hendro Kusworo

Posting Komentar

1 Komentar

  1. Ingin Cari Kaos Dakwah Terbaik, Disini tempatnya:
    Tshirt Dakwah Online

    Mau Cari Bacaan Cinta Generasi Milenia Indonesia mengasikkan, disini tempatnya:
    Buktikan Cintamu dengan Menikah

    BalasHapus