“Aku akan memberikan seluruh tanah ini kepada keturunanmu, dan mereka akan mewarisinya selama-lamanya. Aku akan membuat keturunanmu sangat banyak seperti debu tanah sehingga tak seorang pun dapat menghitungnya.” —Genesis Apocryphon (1QapGen ar) Ismael. Sebuah nama dari salah satu anak Abraham yang sering kita temui menjadi pihak pesakitan bagi kaum Yahudi dan Nasrani yang menganggap Isha q jauh lebih mulia dari Ismael. Nama Ismael faktanya telah dikenal sejak era pra-Islam. Bahkan nama Ismael telah termaktub dalam teks Qumron. Berkaitan dengan persoalan tersebut, selama ini nalar Kristiani terkait sosok dan karakter Ismael selalu dalam paradigma negatif. Sebenarnya nalar Kristiani yang tidak respektif terhadap ketokohan Ismael tersebut disebabkan oleh dua hal yang amat mendasar, yakni otoritas teks mushaf Ben Asher yang menjadi dasar penerjemahan teks Alkitab Kristen, dan teks terjemahan Alkitab yang disakralkan dan diotoritaskan umat Kristiani. Selama ini, iman Kristiani tentang
“Kuasai dan tahanlah perut besarmu. Karena itulah yang merusak tubuhmu. Ia mendatangkan penyakit dan menyia-nyiakan sholat.” —‘Umar bin Khoththob Masih menjadi misteri bagi sebagian kaum Muslim tentang bagaimana puasa kaum terdahulu seperti yang tersebut dalam Al-Quran surat Al-Baqoroh ayat 183; “...sebagaimana telah diwajibkan pada umat-umat sebelumnya.” Jejak-jejak syariat puasa sebelum turunnya perintah puasa wajib di bulan Romadhon, di dapatkan dalam ibadah umat Yahudi. Di mana Yahudi mewajibkan puasa sehari pada tanggal 10 Tishri sebagai momen peringatan terselamatkannya Nabi Musa dan Bani Israel dari kejaran Fir’aun yang bertepatan dengan penanggalan Islam di 10 Muharrom atau Asyuro. Dan bagi kaum Muslim —sebelum turun wahyu tentang puasa wajib di bulan Romadhon, Nabi Muhammad melakukan puasa Asyuro sebagai puasa wajib di tahun pertama setelah hijroh ke Madinah. Menginjak tahun kedua, turun ayat tentang waktu khusus puasa wajib, yakni di bulan Romadhon selama satu bulan. Se