“Pelihara
TNI! Pelihara angkatan perang kita! Jangan sampai TNI dikuasai oleh partai
politik manapun juga! Ingatlah, bahwa prajurit kita bukan prajurit sewaan.
Bukan prajurit yang mudah dibelokkan haluannya. Kita masuk dalam tentara karena
keinsyafan jiwa dan sedia berkorban bagi bangsa dan negara.”
–Panglima
Besar Jenderal Soedirman–
Pada
Pendahuluan buku ini, Penulis berusaha memberikan gambaran sejarah yang
melatarbelakangi perjuangan 1 tahun Pak Dirman, yaitu ketergabungan beliau
dalam PETA bentukan Jepang hingga pengambilalihan komando perang bentukan
Jepang wilayah Banyumas dan sekitarnya seketika saat Proklamasi diikrarkan.
Menjelaskan pula secara singkat sifat dan perawakan tubuhnya.
Pada
pembahasan awal, diberikan judul “Sudirman Strateeg yang Ulung”, di mana
mengisahkan beberapa kejadian darurat yang sudah dapat dibaca proyeksinya oleh
Sudirman. Sehingga memang jauh-jauh hari, angkatan perang sudah dilatih dan
dipersiapkan untuk menghadapi kondisi yang cepat berubah, meskipun para
politisi berbeda cara membaca situasinya. Dan nyaris semua prediksi itu
terbukti. Hanya orang yang mahir dalam strategi peranglah yang mampu membaca
situasi.
“Saya
akan meninggalkan Yogya, kalau bom pertama sudah meledak,” (hal. 14) kukuh
Sudirman ketika diminta beristirahat total di lereng gunung yang tenteram
sebakda operasi TBC-nya yang menyisakan satu paru-paru lagi.
PERINTAH
KILAT
No.
I/P.B/D/1948
(1) Kita
telah diserang.
(2) Pada
tanggal 19 Desember 1948 Angkatan Perang Belanda menyerang kota Yogyakarta dan
lapangan terbang Maguwo.
(3) Pemerintah
Belanda telah membatalkan persetujuan Gencatan Senjata.
(4) Semua
Angkatan Perang menjalankan rencana yang telah ditetapkan untuk menghadapi
serangan Belanda.
Dikeluarkan
di tempat.
Tanggal
19 Desember 1948
Jam
08.00
Instruksi
pertama selaku Panglima Angkatan Perang tersebut (hal. 23) mengisi pembahasan
kedua buku ini yang diberi judul “Tidak Bersedia Menyerah”. Dan dari sanalah
gerilya itu bermula.
Jika
membaca peta dari alur gerilya Pak Dirman, sungguh luar biasa: Yogyakarta–Bantul–Parangtritis–Wonosari–Pracimantoro–Wonogiri–Ponorogo–Trenggalek–Tulungagung–Kediri–Gedangklutuk–Wayang–Sawo–Trenggalek–Pringapus–Baturetno–Karangmojo–Prambanan–Yogyakarta.
(hal. 29)
Selepas
dari Ponorogo, Pak Dirman dan pasukan terkepung dalam hutan rotan. Tak ada
celah untuk lepas. Hingga Alloh berikan hujan besar berpetir yang merupakan
jalan pertolongan Alloh untuk Pak Dirman meloloskan diri dari kepungan Belanda.
Perjalanan
gerilya ini tak lepas dari infiltrasi. Di Karangnongko –sebakda dari Kediri,
intuisi Pak Dirman akan adanya orang dalam yang membocorkan keberadaan beliau
ke Belanda terbukti dengan siasat pengalihan.
Setelah
dari Kediri, beliau lanjutkan ke gunung Wilis dan masuk Pacitan. Di daerah
Sobo, Pak Dirman sempat bermarkas sejenak dengan semua kelengkapan
administrasinya. Kemudian berlanjut ke Pracimantoro dan masuk ke Yogyakarta. Di
sanalah Pak Dirman menerapkan strategi “bajing loncat” dengan memanfaatkan
garis batas demarkasi Jawa Tengah dan DI Yogyakarta. Hingga kemudian memutuskan
berpindah dan bermarkas di Kulon Progo. Sampai Belanda menarik pasukannya
meninggalkan Yogyakarta, Markas Besar Komando Djawa (MBKD) ini tak terdeteksi
oleh Belanda.
Secara
kronologis, peta perjalanan Pak Dirman seperti berikut:
18
Des. 1948: Jenderal Sudirman dalam keadaan sakit, memegang kendali pimpinan
Angkatan Perang Republik Indonesia.
19
Des. 1948: Yogyakarta diserang Belanda. Dimulailah gerilya.
20
Des. 1948: dari desa Grogol ke desa Panggang berlanjut ke desa Palihan.
21
Des. 1948: dari Palihan menuju Playen.
22
Des. 1948: dari Semanu ke desa Pracimantoro.
23
Des. 1948: meninggalkan Wonogiri pukul 6.
24
Des. 1948: dari Kediri ke desa Sukorame.
25
Des. 1948: pindah ke desa Karangnongko.
26
Des. 1948: menuju Gunung Wilis.
27
Des. 1948: di desa Giliman, lereng Gunung Wilis.
28
Des. 1948: ke desa Bajulan dan menginap sampai tanggal 6 Jan. 1949.
6
Jan. 1949: menuju desa Salamjudeg.
7
Jan. 1949: menuju desa Liman.
8
Jan. 1949: menuju desa Serang, puncak Gunung Wilis.
9
Jan. 1949: menuju desa Jambu.
10
Jan. 1949: pindah ke desa Wayang.
11
Jan. 1949: bertemu Menteri Supeno dan Susanto Tirtoprojo di desa Banyutowo.
12
Jan. 1949: menerima tamu di desa Banyutowo sampai 17 Jan. 1949.
17
Jan. 1949: menuju desa Sedayu.
18
Jan. 1949: Belanda menyerang Sedayu.
20
Jan. 1949: Belanda beroperasi di Sedayu.
21
Jan. 1949: Pak Dirman terkepung Belanda di hutan rotan.
22
Jan. 1949: melakukan barter pakaian untuk dapat makanan ke warga desa, sebab
Pak Dirman tidak makan selama 5 hari.
23
Jan. 1949: berada di desa Jambu.
24
Jan. 1949: menuju desa Warungbung.
25
Jan. 1949: tiba di desa Gunung Tukul dan berlanjut ke desa Ngendong.
27
Jan. 1949: menuju desa Sawo, berlanjut ke desa Tumpakpelem.
29
Jan. 1949: pindah ke desa Suruhwetan.
30
Jan. 1949: menuju desa Dongko.
31
Jan. 1949: di desa Panggul berlanjut ke desa Badak.
4
Feb. 1949: menuju desa Nogosari (Pacitan).
7
Feb. 1949: menuju desa Pringapus.
15
Feb. 1949: ke desa Gebyur.
18
Feb. 1949: ke desa Sobo, dan tinggal selama sebulan.
17
Mar. 1949: menuju desa Nawangan (Solo) sampai desa Ngambarsari.
21
Mar. 1949: berpindah-pindah tempat selama 10 hari.
31
Mar. 1949: di desa Sobo (Pakis).
1
Apr. 1949: bermarkas di Sobo.
Mengenai
sakitnya Pak Dirman, para dokter sepakat menutup info tersebut, bahkan kepada
Pak Dirman. Hanya pesan-pesan yang harus dipatuhi Pak Dirman yang keluar dari
para dokter. Tetapi pada kondisi yang menghajatkan untuk keamanan negara, Pak
Dirman terpaksa tidak mematuhi saran dokter.
“Kalau
di jaman damai, saya akan menuruti saja segala nasehat dokter. Tetapi kalau
seperti sekarang, jaman perang, diharap maaf saja, kalau saya terpaksa
menyalahi nasehat dokter, bahkan sering tidak mengindahkannya.”
Rekomendasi
dokter agar Pak Dirman istirahat total, bahkan disarankan tinggal di lereng
gunung yang sejuk dan sepi. Tetapi beliau tolak. Tiga bulan beliau berbaring
istirahat dengan tetap memonitor situasi keamanan Yogyakarta. Saat bom pertama
meledak di Maguwo, beliau bahkan bisa bangkit dari ranjang yang mengagetkan
seluruh tim dokter; menyiapkan diri tetapi dengan piyamanya kemudian bermantel
tebal warna hijau, memakai ikat kepala hitam, berselop, bertongkat, dan
menyelipkan keris. Itulah pakaian kebesaran seorang Panglima Besar.
Dengan
satu paru-paru, beliau pimpin perang gerilya selama 7 bulan melintasi
lereng-lembah, gunung-sawah, kampung-hutan, panas-hujan, lima hari tak bertemu
makanan layaknya di meja makan... Prediksi dokter, Pak Dirman tak akan bertahan
lebih dari 3 bulan dengan sakitnya. Semangat pantang menyerah demi negara dan
ketawakalan beliau kepada Alloh-lah yang membuktikan bahwa 7 bulan dapat beliau
lewati dengan tanpa gangguan kesehatan yang dikhawatiri para dokter.
Kepedulian
orang-orang dekat Pak Dirman juga datang dari Kolonel Gatot Subroto melalui
surat:
“...tidak asing bagi saya, tentu saya juga mempunyai pendirian begitu. Semua-semuanya Tuhan yang menentukan, tetapi sebagai manusia diharuskan ikhtiar. Begitu dengan keadaan adikku. Karena kesehatannya terganggu, harus ikhtiar. Mengaso. Sungguh-sungguh jangan menggalih (Jawa= melakukan pekerjaan) apa-apa. Laat alles waaien.
“...tidak asing bagi saya, tentu saya juga mempunyai pendirian begitu. Semua-semuanya Tuhan yang menentukan, tetapi sebagai manusia diharuskan ikhtiar. Begitu dengan keadaan adikku. Karena kesehatannya terganggu, harus ikhtiar. Mengaso. Sungguh-sungguh jangan menggalih (Jawa= melakukan pekerjaan) apa-apa. Laat alles waaien.
Ini
bukan supaya jangan mati konyol. Tetapi supaya cita-cita adik tercapai.
Meskipun buah-buahnya kita tidak turut memetik, melihat pohonnya subur, kita
merasa gembira dan mengucapkan banyak terima kasih pada Tuhan yang Maha Kuasa.
Ini kali saya selaku Saudara tua dari adik, minta ditaati...” (hal. 82)
Ada
hal yang patut kita ambil pelajaran dari pola hidup Pak Dirman:
...betapa
inginnya merasakan rokok menyan kegemarannya, tetapi dilarang dokter. Akhirnya
beliau berkata, “Mas dokter, coba isap rokok menyan itu. Saya hanya
ingin menghirup baunya saja!” (hal. 87)
“Suatu
ketika, Pak Dirman –walau dalam keadaan sakit– sempat menulis surat untuk
Presiden guna memohon kenangan sebuah pipa (rokok) yang terbuat dari siung ikan
duyung... Sang rokok yang sudah lama terpaksa ditinggalkan.” (hal. 88)
29
Januari 1950 selepas maghrib, Sang Jenderal Besar itupun menghadap Alloh. Ia
tak meninggalkan apa-apa. Hanya pesan perjuangan yang terus berkumandang.
Mirip. Mirip jalan hidup Nabi Muhammad saw.
Judul: 1948-1949;
Dari Atas Tandu Pak Dirman Memimpin Perang Rakyat Semesta (Gerilya)
Penulis:
N.S.S. Tarjo
Cetakan:
X, tahun 1984
Tebal:
vii+144 hal.
Dimensi:
14,5x20,5 cm
Penerbit:
Yayasan Wiratama 45 Yogyakarta
Resentator: HarmastoHendro Kusworo
0 Komentar