Resensi: 1948-1949; Dari Atas Tandu Pak Dirman Memimpin Perang Rakyat Semesta (Gerilya)


“Pelihara TNI! Pelihara angkatan perang kita! Jangan sampai TNI dikuasai oleh partai politik manapun juga! Ingatlah, bahwa prajurit kita bukan prajurit sewaan. Bukan prajurit yang mudah dibelokkan haluannya. Kita masuk dalam tentara karena keinsyafan jiwa dan sedia berkorban bagi bangsa dan negara.”
Panglima Besar Jenderal Soedirman

Pada Pendahuluan buku ini, Penulis berusaha memberikan gambaran sejarah yang melatarbelakangi perjuangan 1 tahun Pak Dirman, yaitu ketergabungan beliau dalam PETA bentukan Jepang hingga pengambilalihan komando perang bentukan Jepang wilayah Banyumas dan sekitarnya seketika saat Proklamasi diikrarkan. Menjelaskan pula secara singkat sifat dan perawakan tubuhnya.

Pada pembahasan awal, diberikan judul “Sudirman Strateeg yang Ulung”, di mana mengisahkan beberapa kejadian darurat yang sudah dapat dibaca proyeksinya oleh Sudirman. Sehingga memang jauh-jauh hari, angkatan perang sudah dilatih dan dipersiapkan untuk menghadapi kondisi yang cepat berubah, meskipun para politisi berbeda cara membaca situasinya. Dan nyaris semua prediksi itu terbukti. Hanya orang yang mahir dalam strategi peranglah yang mampu membaca situasi.

“Saya akan meninggalkan Yogya, kalau bom pertama sudah meledak,” (hal. 14) kukuh Sudirman ketika diminta beristirahat total di lereng gunung yang tenteram sebakda operasi TBC-nya yang menyisakan satu paru-paru lagi.

PERINTAH KILAT
No. I/P.B/D/1948

(1) Kita telah diserang.
(2) Pada tanggal 19 Desember 1948 Angkatan Perang Belanda menyerang kota Yogyakarta dan lapangan terbang Maguwo.
(3) Pemerintah Belanda telah membatalkan persetujuan Gencatan Senjata.
(4) Semua Angkatan Perang menjalankan rencana yang telah ditetapkan untuk menghadapi serangan Belanda.

Dikeluarkan di tempat.
Tanggal 19 Desember 1948
Jam 08.00
 Panglima Besar Angkatan Perang Republik Indonesia, Letnan Jenderal Sudirman

Instruksi pertama selaku Panglima Angkatan Perang tersebut (hal. 23) mengisi pembahasan kedua buku ini yang diberi judul “Tidak Bersedia Menyerah”. Dan dari sanalah gerilya itu bermula.

Jika membaca peta dari alur gerilya Pak Dirman, sungguh luar biasa: Yogyakarta–Bantul–Parangtritis–Wonosari–Pracimantoro–Wonogiri–Ponorogo–Trenggalek–Tulungagung–Kediri–Gedangklutuk–Wayang–Sawo–Trenggalek–Pringapus–Baturetno–Karangmojo–Prambanan–Yogyakarta. (hal. 29)

Selepas dari Ponorogo, Pak Dirman dan pasukan terkepung dalam hutan rotan. Tak ada celah untuk lepas. Hingga Alloh berikan hujan besar berpetir yang merupakan jalan pertolongan Alloh untuk Pak Dirman meloloskan diri dari kepungan Belanda.

Perjalanan gerilya ini tak lepas dari infiltrasi. Di Karangnongko –sebakda dari Kediri, intuisi Pak Dirman akan adanya orang dalam yang membocorkan keberadaan beliau ke Belanda terbukti dengan siasat pengalihan.

Setelah dari Kediri, beliau lanjutkan ke gunung Wilis dan masuk Pacitan. Di daerah Sobo, Pak Dirman sempat bermarkas sejenak dengan semua kelengkapan administrasinya. Kemudian berlanjut ke Pracimantoro dan masuk ke Yogyakarta. Di sanalah Pak Dirman menerapkan strategi “bajing loncat” dengan memanfaatkan garis batas demarkasi Jawa Tengah dan DI Yogyakarta. Hingga kemudian memutuskan berpindah dan bermarkas di Kulon Progo. Sampai Belanda menarik pasukannya meninggalkan Yogyakarta, Markas Besar Komando Djawa (MBKD) ini tak terdeteksi oleh Belanda.

Secara kronologis, peta perjalanan Pak Dirman seperti berikut:
18 Des. 1948: Jenderal Sudirman dalam keadaan sakit, memegang kendali pimpinan Angkatan Perang Republik Indonesia.
19 Des. 1948: Yogyakarta diserang Belanda. Dimulailah gerilya.
20 Des. 1948: dari desa Grogol ke desa Panggang berlanjut ke desa Palihan.
21 Des. 1948: dari Palihan menuju Playen.
22 Des. 1948: dari Semanu ke desa Pracimantoro.
23 Des. 1948: meninggalkan Wonogiri pukul 6.
24 Des. 1948: dari Kediri ke desa Sukorame.
25 Des. 1948: pindah ke desa Karangnongko.
26 Des. 1948: menuju Gunung Wilis.
27 Des. 1948: di desa Giliman, lereng Gunung Wilis.
28 Des. 1948: ke desa Bajulan dan menginap sampai tanggal 6 Jan. 1949.
6 Jan. 1949: menuju desa Salamjudeg.
7 Jan. 1949: menuju desa Liman.
8 Jan. 1949: menuju desa Serang, puncak Gunung Wilis.
9 Jan. 1949: menuju desa Jambu.
10 Jan. 1949: pindah ke desa Wayang.
11 Jan. 1949: bertemu Menteri Supeno dan Susanto Tirtoprojo di desa Banyutowo.
12 Jan. 1949: menerima tamu di desa Banyutowo sampai 17 Jan. 1949.
17 Jan. 1949: menuju desa Sedayu.
18 Jan. 1949: Belanda menyerang Sedayu.
20 Jan. 1949: Belanda beroperasi di Sedayu.
21 Jan. 1949: Pak Dirman terkepung Belanda di hutan rotan.
22 Jan. 1949: melakukan barter pakaian untuk dapat makanan ke warga desa, sebab Pak Dirman tidak makan selama 5 hari.
23 Jan. 1949: berada di desa Jambu.
24 Jan. 1949: menuju desa Warungbung.
25 Jan. 1949: tiba di desa Gunung Tukul dan berlanjut ke desa Ngendong.
27 Jan. 1949: menuju desa Sawo, berlanjut ke desa Tumpakpelem.
29 Jan. 1949: pindah ke desa Suruhwetan.
30 Jan. 1949: menuju desa Dongko.
31 Jan. 1949: di desa Panggul berlanjut ke desa Badak.
4 Feb. 1949: menuju desa Nogosari (Pacitan).
7 Feb. 1949: menuju desa Pringapus.
15 Feb. 1949: ke desa Gebyur.
18 Feb. 1949: ke desa Sobo, dan tinggal selama sebulan.
17 Mar. 1949: menuju desa Nawangan (Solo) sampai desa Ngambarsari.
21 Mar. 1949: berpindah-pindah tempat selama 10 hari.
31 Mar. 1949: di desa Sobo (Pakis).
1 Apr. 1949: bermarkas di Sobo.

Mengenai sakitnya Pak Dirman, para dokter sepakat menutup info tersebut, bahkan kepada Pak Dirman. Hanya pesan-pesan yang harus dipatuhi Pak Dirman yang keluar dari para dokter. Tetapi pada kondisi yang menghajatkan untuk keamanan negara, Pak Dirman terpaksa tidak mematuhi saran dokter.
“Kalau di jaman damai, saya akan menuruti saja segala nasehat dokter. Tetapi kalau seperti sekarang, jaman perang, diharap maaf saja, kalau saya terpaksa menyalahi nasehat dokter, bahkan sering tidak mengindahkannya.”

Rekomendasi dokter agar Pak Dirman istirahat total, bahkan disarankan tinggal di lereng gunung yang sejuk dan sepi. Tetapi beliau tolak. Tiga bulan beliau berbaring istirahat dengan tetap memonitor situasi keamanan Yogyakarta. Saat bom pertama meledak di Maguwo, beliau bahkan bisa bangkit dari ranjang yang mengagetkan seluruh tim dokter; menyiapkan diri tetapi dengan piyamanya kemudian bermantel tebal warna hijau, memakai ikat kepala hitam, berselop, bertongkat, dan menyelipkan keris. Itulah pakaian kebesaran seorang Panglima Besar.

Dengan satu paru-paru, beliau pimpin perang gerilya selama 7 bulan melintasi lereng-lembah, gunung-sawah, kampung-hutan, panas-hujan, lima hari tak bertemu makanan layaknya di meja makan... Prediksi dokter, Pak Dirman tak akan bertahan lebih dari 3 bulan dengan sakitnya. Semangat pantang menyerah demi negara dan ketawakalan beliau kepada Alloh-lah yang membuktikan bahwa 7 bulan dapat beliau lewati dengan tanpa gangguan kesehatan yang dikhawatiri para dokter.

Kepedulian orang-orang dekat Pak Dirman juga datang dari Kolonel Gatot Subroto melalui surat:
“...tidak asing bagi saya, tentu saya juga mempunyai pendirian begitu. Semua-semuanya Tuhan yang menentukan, tetapi sebagai manusia diharuskan ikhtiar. Begitu dengan keadaan adikku. Karena kesehatannya terganggu, harus ikhtiar. Mengaso. Sungguh-sungguh jangan menggalih (Jawa= melakukan pekerjaan) apa-apa. Laat alles waaien.

Ini bukan supaya jangan mati konyol. Tetapi supaya cita-cita adik tercapai. Meskipun buah-buahnya kita tidak turut memetik, melihat pohonnya subur, kita merasa gembira dan mengucapkan banyak terima kasih pada Tuhan yang Maha Kuasa. Ini kali saya selaku Saudara tua dari adik, minta ditaati...” (hal. 82)

Ada hal yang patut kita ambil pelajaran dari pola hidup Pak Dirman:
...betapa inginnya merasakan rokok menyan kegemarannya, tetapi dilarang dokter. Akhirnya beliau berkata, “Mas dokter, coba isap rokok menyan itu. Saya hanya ingin menghirup baunya saja!” (hal. 87)

“Suatu ketika, Pak Dirman –walau dalam keadaan sakit– sempat menulis surat untuk Presiden guna memohon kenangan sebuah pipa (rokok) yang terbuat dari siung ikan duyung... Sang rokok yang sudah lama terpaksa ditinggalkan.” (hal. 88)

29 Januari 1950 selepas maghrib, Sang Jenderal Besar itupun menghadap Alloh. Ia tak meninggalkan apa-apa. Hanya pesan perjuangan yang terus berkumandang. Mirip. Mirip jalan hidup Nabi Muhammad saw.

Judul: 1948-1949; Dari Atas Tandu Pak Dirman Memimpin Perang Rakyat Semesta (Gerilya)
Penulis: N.S.S. Tarjo
Cetakan: X, tahun 1984
Tebal: vii+144 hal.
Dimensi: 14,5x20,5 cm
Penerbit: Yayasan Wiratama 45 Yogyakarta

Posting Komentar

0 Komentar