“Dari berbagai instrumen manusia, tak syak lagi yang
paling mencengangkan adalah buku. Yang lain adalah perpanjangan ragamu. Mikroskop
dan teleskop adalah perpanjangan penglihatan; telepon adalah perpanjangan
suara; lalu kita memiliki bajak dan pedang, perpanjangan lengan. Namun buku
berbeda: buku adalah perpanjangan ingatan dan imajinasi.”
Jorge Luis Borges
Pakar
Perbukuan asal Venezuela, Fernando Baez, tengah berada di Irak saat pasukan
Amerika Serikat menggempur Baghdad pada Mei 2003. Di Universitas
Baghdad, ia melihat bagaimana salah satu pusat pendidikan di Timur Tengah
itu hancur dan semua buku yang ada di perpustakaan universitas tersebut dibakar
dan dijarah. Ketika itu, seorang mahasiswa sejarah menghampiri dan bertanya
kepadanya, “Mengapa orang menghancurkan buku-buku, bukankah Anda ahlinya?”
Tema
penghancuran buku memang telah menjadi obsesinya pribadi Baez yang ia wujudkan
dalam objek penelitiannya selama ini . Karenanya, pertanyaan “Kenapa
manusia membakar buku?” yang diajukan oleh mahasiswa itu memicu dirinya untuk
menyelesaikan penelitiannya dan membuat buku yang kelak akan diberi judul “Historia
universal de la destruccion de libros” (2004) yang telah diterjemahkan
ke dalam berbagai bahasa, dan kini bisa kita baca terjemahannya dengan
judul “Penghancuran Buku dari Masa ke Masa”.
Dalam
buku yang merupakan hasil penelitiannya selama 12 tahun ini, Fernando Baez
memaparkan sejarah penghancuran buku berdasarkan kronologi waktu yang dibagi
dalam tiga bagian, mulai dari zaman Dunia Kuno, dari Byzantium hingga abad
ke-19, dan dari abad ke-20 hingga sekarang.
Di
bagian pertama, Penulis mengemukakan bahwa penghancuran buku dalam sejarah
dimulai di Sumeria dimana di tempat itu pula buku muncul untuk pertama kalinya dalam
peradaban manusia. Berdasarkan temuan arkeologis di tahun 1924, ada
100.000 buku yang saat itu masih dalam bentuk tablet (lempengan yang dibuat
dari tanah liat) telah hancur akibat perang yang terus berkecamuk di wilayah
itu. Temuan ini mengandung paradoks; penemuan buku-buku paling awal juga
menandakan penghancurannya yang paling perdana.
Selanjutnya
−masih di bagian ini, Penulis mengungkap berbagai kejadian penghancuran
buku di Mesir, Yunani, Israel, Cina, Romawi, beserta kisah berdiri dan runtuhnya
perpustakaan Alexandria dan perpustakaan kuno lainnya. Semua mengungkap
bagaimana buku dihancurkan dengan berbagai cara. Yang mengejutkan adalah
terungkapnya bahwa filsuf terkenal Plato juga pernah membakar buku.
“Laersius
yang mengenal baik kepustakaan Plato, menuduhnya sebagai bibliokas (istilah
untuk para perusak buku) yang mencoba menghabisi risalah-risalah Demokritus,
seorang penulis yang sama sekali tak hendak disitir oleh Plato. Untuk
menegaskan kecenderungan hendak membakar teks-teks tertentu ini, Laersius juga
mengatakan bahwa Plato −semasa mudanya− seusai kontes di Teater Dionisius,
menemui Sokrates dan membakar puisi-puisinya.” (hal. 51)
Di
bagian kedua −di era Byzantium hingga abad ke-19, terungkap bahwa era
perang Salib tidak hanya menyebabkan korban jiwa yang besar, melainkan
turut hancurnya manuskrip dan buku-buku berharga. Ini tidak hanya dilakukan
oleh salah satu pihak saja. Kedua pihak, baik dari Pasukan Kristen
maupun Islam, secara berbalasan menghancurkan perpustakaan dan buku-buku ketika
mereka berhasil menaklukkan wilayah lawannya.
Pada
1108, pasukan Perang Salib menghancurkan Perpustakaan Zahiriya di
Damaskus. Lebih dari 3 juta buku dimusnahkan. Juli 1109 di
Tipoli, pasukan Kristen membakar 100.000 volume dari Perpustakaan Islam
yang terkenal.
Pada
1453 −saat Kontantinopel runtuh, selama tiga hari pasukan Turki menghancurkan
patung-patung, gereja, dan buku. Buku-buku dibuang setelah terlebih dahulu
permata yang ditempel di sampulnya dicongkel dan 120.000 manuskrip yang tidak
sejalan dengan para pengikut Muhammad diikat dan dibuang ke laut.
Selain
karena perang, penghancuran buku juga dilakukan oleh otoritas gereja terutama
untuk buku-buku yang dianggap sesat atau bid’ah. Semua buku yang
dianggap sesat, dibakar di muka umum. Bahkan tidak hanya buku,
penulisnya pun kerap dibakar bersama dengan buku-bukunya yang ia tulis.
Khusus
mengenai penghancuran buku yang dilakukan oleh otoritas gereja, Penulis
membahasnya dalam bagian tersendiri. Inkuisisi merupakan lembaga hukum
keagamaan paling berkuasa yang pernah didirikan untuk menumpas perbedaan
pemikiran di seluruh Eropa. Di masa ini, sensor, penangkapan,
penyiksaan, dan penghancuran terhadap buku yang dianggap bid’ah terjadi
secara merajalela.
Pada
tahun 1559 −saat pemerintahan Paus IV, disusunlah daftar buku yang paling
membahayakan iman yang diberi nama “Index
Librorum Prohibitorum” atau
Indeks Buku-buku Terlarang yang melarang buku-buku karya 550 penulis untuk
memudahkan para Inkuisitor dalam menjalankan tugasnya.
“Para
Insikuitor sibuk menginspeksi pelabuhan, mencari buku-buku yang tertera dalam
Index: Alkitab dalam bahasa lokal, novel-novel ksatria, serta karya-karya
ilmiah dan politik. Penerbit terus menerus diawasi, para pedagang tidak dapat
berjualan buku sebelum stok mereka didaftar, dan perpustakaan-perpustakaan
pribadi diperiksa secara cermat.” (hal. 166)
Di
bagian ketiga dari abad ke-20 hingga sekarang, Penulis membeberkan tentang
Holocaust dan bibliocaust Nazi di Jerman. Jika kita membaca bagian
ini, maka kita diajak melihat bahwa sesungguhnya Holocaust yang dilakukan
Nazi Jerman terhadap jutaan orang Yahudi selama PD II diawali oleh sebuah
bibliocaust dimana jutaan buku secara sistematis dihancurkan oleh Nazi melalui
sebuah ritual pembakaran buku yang diawali pengumpulan massa, menyanyikan
himne, pidato, dan diakhiri pembakaran buku.
Apa
yang dilakukan Nazi ini seolah mengaminkan pendapat Heinreich Heine dalam
karyanya Almansor (1821); “Dimanapun mereka membakar buku, pada akhirnya
mereka akan membakar manusia.” Dan memang seperti itulah yang terjadi setelah
buku-buku dibakar.
“Penghancuran
buku sepanjang 1933 adalah awal dari pembantaian manusia pada tahun-tahun
berikutnya. Gunungan buku-buku yang dilalap api mengilhami tungku-tungku
krematorium kamp konsentrasi.” (hal. 221)
Selain
tentang Nazi yang membakar buku, di bagian ini juga kita akan menemui
bagaimana buku dihancurkan dan di sensor di Cina, Uni Soviet, Spanyol, Chile,
Argentina, Bosnia hingga penghancuran situs budaya dan penjarahan buku secara
besar-besaran yang terjadi di Irak pasca jatuhnya rezim Saddam Hussein.
Penghancuran
situs-situs budaya dan buku di Irak kini mendapat sorotan dunia. Berdasarkan
laporan pustakawan Irak, hampir satu juta buku lenyap dalam penjarahan dan
pembakaran. Ironis, karena di Irak-lah tempat buku pertama di dunia
dilahirkan. Bagaimana peran pemerintahan AS selaku negara yang menginvasi Irak
demi jatuhnya Saddam Hussein? Di sini pemerintah AS dianggap gagal melindungi
situs-situs budaya dan buku-buku dari propaganda kebencian dan penjarahan dari
rakyat Irak sendiri.
“Irak kini
menjadi negara yang tanpa arah, miskin karena perang, ditimpa konflik agama dan
terorisme, dan jatuh dalam krisis ekonomi: sebuah bangsa yang telah kehilangan
sebagian besar ingatannya. Buku-bukunya kini menjadi abu, karya-karya budayanya
dijual di pasar. Irak adalah korban pertama pemusnahan kebudayaan pada abad
ke-21.” (hal. 319).
Demikianlah
buku ini merangkai sejarah penghancuran buku dari masa ke masa. Dalam
rentang waktu 55 abad di seluruh dunia termasuk di Indonesia. Walau Indonesia
memiliki sejarah panjang juga tentang pemberangusan buku, namun dalam buku ini
hanya disebutkan satu kasus saja, yaitu yang terjadi di tahun 2007.
“Atas
alasan yang lebih politis, pada 2007 pihak berwenang di Jawa Barat, Jawa
Tengah, dan Sulawesi Selatan, Indonesia, juga membakar lebih dari 30.000 buku
ajar SMA di hadapan para siswa. Buku-buku itu tidak sejalan dengan sejarah
versi pemerintah tentang usaha kudeta tahun 1965 di Indonesia, yang selama
puluhan tahun dikambinghitamkan pada orang-orang komunis.” (hal. 246-247)
Membaca
sejarah penghancuran buku lewat paparan Fernando Baez di buku ini, kita
akan melihat bahwa sejak buku pertama dibuat, orang sudah menyadari
pengaruh dahsyat dari buku. Karenanya, ketika sebuah negara merebut negara
lain, maka langkah selanjutnya setelah mendudukinya adalah memusnahkan
ingatan dan budaya daerah kekuasaannya dengan cara membakar buku-buku yang ada.
Tidak
hanya membakar buku, di buku ini kita akan menemukan metode lain penghancuran
buku lainnya seperti membuang buku ke laut atau sungai, dijadikan bahan bakar
pemandian umum, dilemparkan keluar jendela agar dipakai tuna wisma sebagai
penghangat badan, dihapus tintanya untuk ditulis kembali menjadi buku baru,
sebagai pembungkus mesiu atau mercon, hingga dijadikan sebagai alas kaki.
Selain
oleh manusia, buku ini juga membahas musuh alami buku, yaitu iklim
dan keasaman kertas pada buku yang mudah hancur karena iklim. Hal ini
menjadi perhatian para pustakawan dunia, Millicent Abell dari Perpustakaan Yale
memperkirakan sekitar 76 juta buku di seluruh Amerika Serikat
tengah berubah menjadi debu dalam arti harfiahnya.
Selain
karena iklim, serangga juga berperan dalam hancurnya buku.
Berikut ini Penulis mendaftar berbagai jenis serangga penghancur buku
antara lain semut tukang kayu, Componotus, serangga yang tergolong paling rakus
dan mampu membuat “terowongan” antar buku yang dijajar di atas rak.
Di
bagian paling akhir, buku ini juga menyertakan bab khusus Penghancuran Buku dalam
Cerita Fiksi yang dimulai dari novel Don Quixote (1605); Carventes, Time
Machine (1895); H.G Well, Fahrenheit 451 (1953); Bradbury, The Name
of The Rose
(1980); Umberto Eco, hingga novel Voices (2006) karya Ursula K., Le
Guin.
Buku
yang dipersiapkan selama lebih dari 12 tahun dengan riset yang mendalam yang
terepresentasikan dengan begitu rincinya, Penulis memaparkan sejarah
penghancuran buku yang bersumber lebih dari 550 buku yang dicatat dalam
32 halaman daftar pustaka buku. Maka buku ini layak dijadikan sumber
referensi mengenai sejarah penghancuran buku di dunia. Karena seperti yang
ditulis Fernando Baez dalam pendahuluannya,
“Selama
55 abad buku telah dimusnahkan, dan kita sama sekali tidak tahu apa sebabnya.
Ada ratusan kajian mengenai asal mula buku dan perpustakaan, tapi tidak ada
satu pun sejarah mengenai penghancurannya. Tidakkah ini mengherankan?”
(hal. 9)
Buku
ini menjawab keheranan Penulisnya sendiri karena hingga saat ini baru buku
ini yang membahas sejarah penghancuran buku di dunia dengan lengkap.
Sayangnya, buku ini tidak menyertakan daftar indeks sehingga pembaca akan
mengalami kesulitan jika kita ingin mencari secara cepat sebuah nama, tempat,
judul buku, dll yang terkandung dalam buku ini.
Lalu
apa yang bisa kita pelajari dari buku ini? Dari sejarah penghancuran buku
selama 55 abad yang ditulis dalam buku ini, kita akan melihat bahwa selalu ada
usaha dari manusia untuk menghancurkan buku yang dianggap membahayakan atau
tidak sesuai dengan keyakinannya.
Muhidin
M. Dahlan (Gus Muh) dalam resensinya mengatakan bahwa dalam DNA setiap
manusia sebetulnya mengalir darah seorang penjagal buku.
Jadi, bagaimana
kita menyelamatkan isi buku dari para penjagalnya? Hanya ada satu
cara, yaitu dengan membacanya! Fisik buku bisa dihancurkan, tapi isi buku
yang terekam dalam ingatan sulit untuk dihapus selama manusia masih dalam
keadaan hidup.
Sebagai
penutup, berikut adalah surat Helen Keller, penulis tuna-netra kepada Mahasiswa
Jerman yang membakar buku-bukunya di era Nazi.
“Kalian
bisa saja membakar buku-buku saya dan buku-buku yang ditulis dari
pemikiran terbaik di Eropa. Tapi pemikiran yang dimuat dalam buku-buku itu
telah melewati ribuan saluran dan akan terus mengalir.” (hal. 227)
Ketidaknyamanan
buku ini adalah semua catatan berbentuk endnote, sehingga pembaca
harus mencari dan menemukan catatan penjelas di bagian akhir buku. Alangkah
lebih nyaman jika berbentuk footnote.
Judul:
Penghancuran Buku dari Masa ke Masa
Penulis:
Fernando Baez
Penerjemah:
Lita Soerjadinata
Tebal: xiv+410 hal.
Dimensi:
14x20,5 cm
Cetakan:
II, Mei 2017
ISBN:
978-979-1260-68-8
Penerbit:
Margin Kiri, Tangerang Selatan
0 Komentar