Langsung ke konten utama

Resensi: Diplomasi Revolusi Indonesia di Luar Negeri


Negara yang pertama kali mengakui kemerdekaan Indonesia adalah Mesir. Demikian tertulis dalam buku sejarah kemerdekaan Indonesia. Tapi, buku-buku sejarah umumnya tak menjelaskan lebih lanjut, mengapa dan bagaimana Mesir mengakui kemerdekaan Indonesia.

Pengakuan dari negara lain, merupakan syarat penting berdirinya sebuah negara. Dan untuk itu, bangsa ini pantas berterima kasih kepada tokoh-tokoh Ikhwanul Muslimin. Sebab, merekalah yang melobi agar pemerintahnya mendukung kemerdekaan Indonesia 17 Agustus 1945. Ikhwanul Muslimin yang saat itu jaringannya telah tersebar, juga menggalang dukungan negara-negara Arab lainnya untuk mendukung kemerdekaan Indonesia. Dan setelah Mesir, negara-negara Timur Tengah lain pun mendukung kemerdekaan Indonesia.

Para pemimpin Mesir dan negara-negara Arab saat itu, bahkan membentuk Panitia Pembela Indonesia. Mereka mendorong pembahasan soal isu Indonesia di berbagai lembaga internasional, seperti Perserikatan Bangsa-bangsa dan Liga Arab.

Dalam buku Diplomasi Revolusi Indonesia di Luar Negeri, Zein Hassan menulis bahwa pengakuan kemerdekaan itu, pada akhirnya membuat posisi Indonesia setara dengan negara-negara lainnya –termasuk Belanda− dalam perjuangan diplomasi internasional. Proklamator; Bung Hatta; pun menyatakan “Kemerdekaan diplomasi Indonesia dimulai dari Kairo. Karena, dengan pengakuan Mesir dan negara-negara Arab lainnya terhadap Indonesia sebagai negara yang merdeka dan berdaulat penuh, segala jalan tertutup bagi Belanda untuk surut kembali atau memungkiri janji, sebagai selalu dilakukannya di masa-masa yang lampau.”

‘Diplomasi’ menurut Encyclopedia Britanica berarti pembinaan urusan-urusan luar negeri atau pelaksanaan politik luar negeri. Sedangkan dalam kamus Perancis mengartikan ‘revolution’ dengan ‘changement brusque et violent dans la structure economique, sociale ou politik d’un etat’ yang berarti perubahan cepat dan keras pada bentuk ekonomi, sosial atau politik dari suatu negara.

M. Zein Hassan menuliskan, bahwa tujuan diplomasi revolusi ini merupakan sikap, langkah, tindakan, dan hubungan-hubungan serta usaha-usaha di luar negeri selama revolusi fisik di Indonesia, tanpa terikat oleh basa-basi diplomasi konvensional (h.7).

“...Karena itu tertjatutlah bahwa negara-2 Arab jang paling duhulu mengakui RI dan paling dahulu mengirim misi diplomatiknja ke Jogja dan jang paling dahulu memberi bantuan biaja bagi diplomat-2 Indonesia di luar negeri. Mesir, Siria, Irak, Saudi-Arabia, Jemen, memelopori pengakuan de jure RI bersama Afghanistan dan Iran beserta Turki mendukung RI.

Fakta-2 ini merupakan hasil perdjuangan diplomat-2 revolusi kita. Dan simpati terhadap RI jang tetap luas di negara-2 Timur Tengah merupakan modal perdjuangan kita seterusnja, jang terus harus dibina untuk perdjuangan jang ditentukan oleh UUD ‘45: “ikut melaksanakan ketertiban dunia jang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.

Karena itulah sewadjarnja di masa 50-an dan awal 60-an RI, dan terutama TNI memberikan dukungan-2 dan bantuan-2 kepada perdjuangan nasional/kemerdekaan di Timur Tengah, walaupun Indonesia sendiri sedang menghadapi berbagai operasi militer.

Insja Allah buku ini dapat ikut mensedjarahkan perdjuangan kemerdekaan Indonesia sebaik-baiknja.”

Djakarta, 10 Agustus 1972
Wassalam,
A. H. Nasution
(h.17)

Kata pengantar dari buku Diplomasi Revolusi Indonesia di Luar Negeri yang ditulis oleh M. Zein Hassan, Lc., Lt., penerbit Bulan Bintang Jakarta, 1980, ini ditulis oleh Jenderal Besar Abdul Haris Nasution, seorang pahlawan nasional yang sempat menjadi target utama Gerakan 30 September/PKI.

Beliau adalah pelaku sejarah bagaimana proklamasi kemerdekaan terjadi dan mengetahui berbagai pula diplomasi yang dilakukan oleh Indonesia kepada negara-negara lainnya untuk juga turut mengakui kemerdekaan Indonesia.

Dan fakta menariknya yang ditulis baik oleh Almarhum Jenderal Besar A. H. Nasution (Pahlawan Nasional Indonesia) dan juga M. Zein Hassan sebagai Ketua Panitia Pusat Perkumpulan Kemerdekaan Indonesia (wadah perjuangan diplomasi revolusi kemerdekaan Indonesia di luar negeri) adalah, justru negara-negara Arab-lah yang pertama kali mengakui kemerdekaan Indonesia. Bukan negara-negara Barat (Amerika Serikat dan Eropa), bukan pula negara-negara Timur (Cina, Jepang dan lainnya).

Ketika tidak ada suatu negara dan pemimpin dunia yang berani memberi dukungan secara tegas dan terbuka terhadap kemerdekaan bangsa Indonesia, maka dengan keberaniannya, Syeikh Muhammad Amin Al-Husaini, Mufti Besar Palestina menyampaikan selamat atas kemerdekaan Indonesia. Selain itu, beliau pun mendesak agar Negara-negara Timur Tengah mengakui kemerdekaan Indonesia sehingga berhasil meyakinkan Mesir dan kemudian diikuti oleh Suriah, Irak, Lebanon, Yaman, Arab Saudi, dan Afghanistan.

Selanjutnya, Mesir melalui pemimpin pergerakan Ikhwanul Muslimin; Syeikh Hasan Al-Banna. Syeikh Hasan Al-Banna mengerahkan massa untuk berdemonstrasi, termasuk menghalau kapal-kapal Belanda yang melewati Terusan Suez. Terutama, saat Indonesia sedang dalam revolusi fisik melawan kembalinya Belanda.

Bahkan, Muhammad Hatta, Wakil Presiden Pertama Indonesia sekaligus Proklamator Kemerdekaan Indonesia pun menyatakan: “Kemenangan diplomasi Indonesia dimulai dari Kairo. Karena, dengan pengakuan Mesir dan negara-negara Arab lainnya terhadap Indonesia sebagai negara yang merdeka dan berdaulat penuh, segala jalan tertutup bagi Belanda untuk surut kembali atau memungkiri janji, sebagai selalu dilakukannya di masa-masa yang lampau.”

Sebagai sumbangan terhadap perjuangan Indonesia, Muhammad Mahmud Jalal menulis sebuah pengantar,

“Pada hari-hari belakangan ini, surat-surat kabar penuh dengan berita gerakan kemerdekaan Indonesia dan perjoangan bersenjata bangsa Indonesia dalam mempertahankan kemerdekaannya melawan Belanda dan Inggris. Sedikit sekali penduduk Lembah Sungai Nil yang mengetahui negeri ini dan penderitaannya dari kerakusan penjajah yang mengisap bangsa ini dan kekayaannya yang raya itu. Lebih sedikit lagi mereka yang mengetahui perjoangannya yang tak kunjung padam...”

Baru saja mendengar pidato-pidato yang diucapkan tt. Muhammad Zein Hassan dan Ismail Banda, saya merasa berkeyakinan bahwa mereka berdua membaca satu buku yang semua lembarannya penuh dengan kebanggaan perjoangan nasional. Yang satu membaca lembaran-lembaran pertamanya, dan yang kedua menamatkan lembaran-lembaran seterusnya.

Sinar keyakinan harus memancar dari Lembah Sungai Nil. Lembah ini harus yang pertama sekali memperhatikan lembaran perjoangan dan menolong orang yang teraniaya. Karena semenjak dahulu kala Lembah Nil mengerti akan makna kemerdekaan, kebebasan dan pendudukan bangsa asing yang sampai sekarang masih merantainya.

Yang lebih mendorong perhatian dan lebih mewajibkan sokongan dan bantuan adalah kenyataan bahwa Inggris yang menduduki Lembah Sungai Nil semenjak tahun 1882, mereka itulah juga menyokong Belanda menghadapi bangsa Indonesia. Karena Belanda ini tidak mempunyai kekuatan darat dan udara ataupun laut yang akan dapat menghadapi pejoang-pejoang Indonesia itu.

Maka kiranya adalah baik sebagai penghargaan pertama dan pembuka pintu bantuan bagi bangsa Indonesia dalam perjoangan mereka yang mulia itu, bahkan sebagai sambutan pertama, jika kita menyebar-luaskan soal perjoangan mereka itu dengan mencetak pidato-pidato tersebut (h.70-71).”

Pertanyaannya sekarang adalah dengan begitu besar dukungan negara-negara Arab ini, lalu untuk alasan apa bangsa ini kemudian digiring untuk menjadi anti-Arab (baca: Anti Islam)? Padahal, dengan dukungan Arab (baca: Islam)-lah, negara ini diakui sebagai negara yang merdeka dan berdaulat. Ada agenda apakah gerangan sebenarnya? Liberalisasi? Sekularisasi? atau Komunisisasi?

Di mana Amerika, Eropa, Cina, dan negara-negara lainnya yang dielu-elukan sebagai negara kiblat modernitas dan hak asasi manusia? Justru mereka sedang menjadi negara penjajah. Bahkan sampai dengan saat ini juga.


Daftar Isi
Sambutan Mohammad Hatta
Sambutan Mohammad Natsir
Sambutan Adam Malik
Sambutan A.H. Nasution
Diplomasi Revolusi di Luar Negeri
Pra Proklamasi
Proklamasi 17 Agustus 1945
Campur Tangan Inggris
Soal Indonesia di Dewan Keamanan
Pengakuan De Facto Kedaulatan Republik Indonesia
Delegasi R.I. Pertama ke Luar Negeri di Kairo
17-8-1946 Ulang Tahun Pertama Kemerdekaan Indonesia
Liga Arab dan Soal Indonesia
Delegasi R.I. di Timur Tengah
Timur Tengah dan Aksi Militer Belanda
Bulan Merah Mesir dan Bulan Merah Indonesia
Saudi Arabia dan Proklamasi
Perkembangan Perwakilan R.I. di Timur Tengah
Serba-serbi Revolusi Diplomasi

Bibliografi
Judul: Diplomasi Revolusi Indonesia di Luar Negeri
Penulis: M. Zein Hassan, Lc.Lt
Tebal: 296 hlm.
Dimensi: 14,5x21 cm
Cetakan: I, 1980
Penerbit: Bulan Bintang


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Resensi: Saksikan bahwa Aku Seorang Muslim

Kalau ada buku yang amat mempengaruhi saya untuk segera menulis adalah buku yang tengah saya buat resensinya ini, ada begitu banyak alasan mengapa buku ini juga yang telah memberikan sentuhan tersendiri bagi saya tatkala menikmati dan mencoba tenggelam dalam lautan buku-buku yang berkutat tentang masalah identitas keislaman seseorang di tengah masyarakat atau masyarakat itu sendiri yang tengah bertransformasi menuju masyarakat I slami. Identitas selalu menjadi kebangg a an tiap orang, identitas yang meliputi simbol, slogan-slogan, bendera, dan lain-lain tanpa jelas bagaimana hakikatnya yang kabur atau bahkan merupakan simbol-simbol yang merupakan penghinaan terhadap agama All o h dan R o sulNya . Buku yang berjudul “Saksikan b ahwa Aku Seorang Muslim ” ini menurut yang menulisnya , yakni Salim A. Fillah pada mulanya merupakan karya pertama yang ia buat sebelum karya-karya lain muncul dan berinduk pada buku ini. Mungkin bagi sebagian pembaca yang telah lebih dahulu membaca b

Resensi: Sejarah Peradaban Islam

Buku Sejarah Per a daban Islam yang dikarang oleh Dr. Badri Yatim , MA ini membahas sejarah perkembangan atau peradaban Islam mulai zaman klasik (Nabi Muhammad), pertengahan (Khulafaurr o syidin dan tabi’in), dan modern (saat ini). Pada masa klasik, peran b angsa Arab sangat dominan , sebab memang Islam lahir di Arab. Pada masa pertengahan , muncul tiga kerajaan besar yang mewakili tiga kawasan budaya, yaitu Kerajaan ‘ U t smani di Turki, kerajaan S y afawi di Persia, dan kerajaan Mugh o l di India. Pembahasan pada masa pertengahan ini dititikberatkan pada persaingan politik yang terjadi. Pada masa modern , yang dibahas adalah kerajaan Islam di Nusantara (Indonesia). Perlu diketahui bahwa pembahasan kerajaan Islam di Indonesia walaupun mendapat porsi besar di dalam buku ini tetapi sebenarnya Islam di Indonesia belum termasuk dalam satu kesatuan kajian sejarah peradaban Islam. Buku menitikberatkan pada masalah percaturan politik karena politik adalah salah satu ikon penting adan