Langsung ke konten utama

Resensi: Saksikan bahwa Aku Seorang Muslim


Kalau ada buku yang amat mempengaruhi saya untuk segera menulis adalah buku yang tengah saya buat resensinya ini, ada begitu banyak alasan mengapa buku ini juga yang telah memberikan sentuhan tersendiri bagi saya tatkala menikmati dan mencoba tenggelam dalam lautan buku-buku yang berkutat tentang masalah identitas keislaman seseorang di tengah masyarakat atau masyarakat itu sendiri yang tengah bertransformasi menuju masyarakat Islami. Identitas selalu menjadi kebanggaan tiap orang, identitas yang meliputi simbol, slogan-slogan, bendera, dan lain-lain tanpa jelas bagaimana hakikatnya yang kabur atau bahkan merupakan simbol-simbol yang merupakan penghinaan terhadap agama Alloh dan RosulNya.

Buku yang berjudul “Saksikan bahwa Aku Seorang Muslim ini menurut yang menulisnya, yakni Salim A. Fillah pada mulanya merupakan karya pertama yang ia buat sebelum karya-karya lain muncul dan berinduk pada buku ini. Mungkin bagi sebagian pembaca yang telah lebih dahulu membaca buku-buku akan benar-benar dibuat penasaran pada beberapa tema yang penjelasan berikutnya ia rahasiakan dan rahasia tersebut beliau rekomendasikan agar para pembaca untuk bersabar dan menantikan kejutannya pada buku beliau yang satu ini.

Yang membuat karya ini selalu berkesan bagi saya adalah bagaimana buku ini disampaikan dengan gaya bahasa yang ringan, nyastra, kepandaian sang penulis dalam merangkai kata hingga kata-kata tersebut dapat rukun duduk satu tema hingga ke judul-judul yang terletak di bawah beberapa tema besar bagai kita tengah menyimak sebuah buku fiksi atau kumpulan puisi. Ternyata menulis memang bukan sekedar urusan bakat atau hanya terhenti pada semangat yang menggebu tanpa diimbangi dengan kontinuitas amal yang berkesinambungan setidaknya penjabaran dari konsep tadi sudah ditunjukkan oleh sang penulis buku ini yang dengan piawai merangkai kata-kata hingga membuat tema agak rigid dan usang seperti ketika sang penulis dalam salah satu babnya “Menggelas Benang Lelayang” menjadi nikmat bahkan kita seakan tak rela untuk melepaskan begitu saja halaman demi halaman.

Antara dalil-dalil dalam Qur’an dan Sunnah atau kisah-kisah anbiya serta hikmah yang tercecer dalam pelbagai literatur kesusastraan seperti karya-karyanya Leo Tolstoy, seorang pengarang besar dari Rusia dan namanya dicatat dalam Merriam Webster’s Encyclopedia of Literature. Melibatkan beberapa karya Tolstoy seperti Anna Karenina, War and Peace, The Death of Ivan Ilyich bercorak realisme psikologis bahkan mungkin paling mempesona di antara seluruh karya sastra Leo Tolstoy ke semua hal tersebut dirangkai dengan sangat apik dan menyentuh jiwa serta mampu kembali membangkitkan gairah bagi siapa saja yang membaca buku karya Salim A. Fillah ini untuk semakin semangat mencintai Islam dan ikut serta dalam pergerakan Islam sebagai lokomotif dakwah, lokomotif tempat orang-orang yang merindu kebangkitan peradaban Islam berkumpul dan berjamaah menjalankan kereta dakwah.

Karena yang dibedah oleh Salim A. Fillah dalam buku ini tak hanya melulu berkaitan dengan keislaman dan amal ibadah namun sejatinya bila kita membaca urut dari Bagian Pertama yang diberi judul “Kain-kain Rombeng” kemudian pada bagian kedua yang diberi judul “Memintal Seutas Benang” yang bertutur akan dimensi ruhiyah yang bersumber dari bangganya kita terhadap identitas sebagai seorang Muslim. Kebanggaan yang pekat mengental saat kita mendeklarasikan di hadapan dunia bahwa kita adalah Muslim, atau ada kerinduan tak tertahan pada sesosok Nabi saw dan perjuangan beliau bersama para sahabat yang saling mengisi dan melengkapi atau kekaguman tiap insan pada mukjizat yang dibawa olehnya, Al-Qur’an. Hikmah istimewa untuk para muallaf yang rela melepas ikatan buhul jahiliyah kembali pada pangkuan Islam dan sentuhan Tarbiyah nampak dengan tulus diikatkan pada bagian akhir bagian ini seperti “Tarbiyah Menyejarah, “Afiliasi”, “Partisipasi”. Bagi penulis, pada “Partisipasi” ini sedikit membuka kenangan indah di SMA, di sebuah majelis menjadi penyeimbang kehidupan remaja SMA sarat dengan hedonisme dan hura-hura.

Bagian Pertama: Kain-kain Rombeng
Bila kita membaca secara urut buku ini. Ada sebuah rancangan yang memang didesain sang penulis untuk menunjukkan urutan kerja amal seorang Muslim. Dari mana ia memulai, sampai kapankah pekerjaan tersebut dimulai, dan hendak ke mana arah amal ini? Tentunya ibda bi nafsik. Itulah yang hendak disampaikan oleh sang penulis, memulai dari diri sendiri dan singkirkan pernak-pernik jahiliyah yang mengikat karena seperti yang pernah ditegaskan oleh kholifah Umar ibn Khoththob, “Sesungguhnya ikatan simpul Islam akan pudar satu persatu, manakala di dalam Islam terdapat orang yang tumbuh tanpa mengenal jahiliyyah.”

Jahiliyah yang tak selalu berarti keterbelakangan atau primitif dan kuno karena ternyata jahiliyah mampu bertranformasi dan menyesuaikan diri menyusup dalam budaya paganisme yang menjelma mata rantai membentang sejarah dan antara satu sama lain dihubungkan dengan satu benang merah:Syirik”! Bentuk serta periode zaman pun bisa berubah seperti bentuk yang berlaku di masa para anbiyya seperti jahiliyahnya penduduk Aikah, kaumnya Bani Syua'ib atau jahiliyyah yang berbentuk penyimpangan seksual kaum Luth dan lain-lain.

Namun ia juga bisa bertransformasi dalam bentuk yang canggih sekali pun serta kerap diselubungi kedok ilmiah dan berbasis empiris namun nyatanya hanya kumpulan utopia yang direkayasa sedetail mungkin agar tetap menjadi justifikasi dalam tataran yang lebih global, tataran atau ranah saat manusia hampir tak memiliki arti dan darah begitu tercecer murah dan di saat yang sama Stalin mempersembahkan pembantaian 20 juta petani kulak Rusia sebagai tafsir karyanya dan ideologi yang diusung olehnya tak lain tak bukan titisan konkrit dan sederet jahiliyah yang dibungkus oleh kesan ilmiah dan sejalan logika dalam bentuk yang lain Jahiliyah bertukar pakaian agar mampu kian tampil elegan di putaran zaman dari hanya saja ada seikit modifikasi di sana-sini seperti yang ditampilkan pada salah satu tulisan di bagian pertama.

Seperti halnya kupu-kupu, ia mampu berubah bentuk berdasarkan proses dari hanya seekor ulat menuju kepompong kemudian dengan sempurna bertransformasi menjadi kupu-kupu. Agar keberadaanya tetap dapat diterima, agar eksistensi jahiliyah yang berakar dari kedunguan tetap bertahan lalu diterima mentah-mentah oleh segelintir golongan yang terpukau olehnya kemudian mencoba mengimplementasikan dalam ajaran-ajaran Islam sebagaimana yang pernah dilakukan oleh Abdulloh ibn Saba seorang Yahudi yang memasukkan kultus individualisme kepada sesosok Ali ibn Abi Tholib hingga sejarah dengan gemilang mengenang Syi’ah simbol dendam politik bernuansa mistisme psikologis bangsa Iran lalu di alamatkan pada sejumlah peristiwa seperti Asyura, Karbala, dan hari-hari besar ummat Syiah lainnya yang memang dibuat beda sebeda mungkin dengan umat Islam umumnya. Walau penyusupan kultus individualisme bukan hal baru terjadi dalam sejarah keagamaan jauh sebelum itu, seperti yang pernah diutarakan oleh Karen Armstrong, Paulus seorang Yahudi, hidup sebagai Yahudi dan bahkan mati pun sebagai seorang Yahudi.

Karen Armstrong, seperti yang dikutip oleh Salim A. Fillah, mencatat “saya kini mengetahui bahwa surat-surat rosul Paulus merupakan dokumen Kristen yang paling awal yang masih ada dan bahwa Injil, yang semuanya ditulis bertahun-tahun setelah kematian Paulus sendiri, ditulis oleh orang-orang yang telah mengadopsi versi Kristennya Paulus. Hingga Karen Armstrong menyimpulkan “bukannya Paulus menyimpangkan Injil, namun Injil itu sendiri mendapat visi dari Paulus.

Bagian Kedua: Memintal Seutas Benang
Setelah kita berpuas diri menjelajah aspek Jahiliyah dengan segenap fenomena-fenomena di sepanjang peradaban sejarah, tentang Jahiliyah yang tak berhenti dan terpaku pada arti akan keterbelakangan namun ternyata dalam ranah yang lebih kompleks lagi dan canggih ia bertransformasi agar tetap dapat tampil lebih eksotik dan elegan maka rumah pemujanya pun berubah bentuk serta tempat menuju gedung-gedung mall megah dimana disanalah konsumerisme dipuja oleh masyarakat jahiliyah kiwari. Maka pada bagian ini, Salim A. Fillah lebih mencoba secara halus dan masih bersama gaya bahasa yang indah, seperti pada judul yang diberikan pada bagian ke dua ini lebih banyak mengajak para pembaca memulai memintal benang jati dirinya sebagai seorang Muslim. Seorang Muslim yang bila didefinisikan dalam ejaan Melayu untuk hamba yang menyerahkan diri padanya terasa lebih menggetarkan walau akan sama bila kita menemukan terjemahan untuk kata Muslim sebagai who submit to Alloh. Muslim juga tidak selalu berarti berhenti pada lambang serta slogan demi slogan yang tersebar sebagai kaos, emblem, jilbab, sarung, koko, dan lain-lain akan tetapi bukan berarti disini telah ternafikkan segala hal tadi karena dalam tulisan dari Salim A. Fillah ini juga disebutkan bahwa esensinya segala hal tadi tetap perlu bahkan sangat penting. Sebagai pembeda, sebagai penjelas, dan pemisah antara Muslim dan kafir sebagaimana yang dicontohkan Nabi saw.

“Baguskanlah pakaian-pakaianmu dan baguskan kendaraan-kendaraanmu agar kamu menjadi (ibarat) tahi lalat di tengah-tengah manusia.” (HR. Al-Hakim dari Sahl ibn Ar-Robi)

Dalam banyak hal, seperti yang disebutkan dalam buku ini, bahwa seorang Muslim tatkala telah mengikrarkan diri sebagai seorang Muslim maka di sana terletak konsekuensi yang mengikat. Karena demikian adanya tatkala ikrar dikumandangkan maka ada yang dilepas dan ada pula yang dicencang kuat, ada yang bebas dan ada pula yang di kekang termasuk di antaranya tatkala ikrar menuju pembebasan jati diri manusia sesungguhnya hanya menghamba pada Alloh saja.

Walau ada banyak butir-butir sepanjang jalan yang menempa kedewasaan dan keteguhan iman, walau ada banyak duri yang harus disingkirkan, dan saat yang sama mereka segera berpisah selamanya dari kegelapan pikiran menuju pencerahan, dari suramnya kehidupan yang disertai dengan sejuta kesuntukan untuk kembali pada mutiara iman yang membangkitkan gairah dan nafas dari tiap detik kehidupan insan.

Perpisahan yang jua terkait dengan perbedaan, bukan diskriminasi bukan pula mendiskriminasikan antara si Muslim dengan non-Muslim namun sejatinya ia memang berbeda bagai bumi dengan langit dan bagai air tanah dengan minyak. Berbeda dalam jalinan aqidah, berbeda dalam zhohir dan makhfi bahkan dalam hal sepele pun perbedaan menjadi urgen karena ia menyangkut identitas dan ia terkait ke arah mana bandul peradaban umat Islam mengarah? Berkiblat pada kemurnian budaya yang dibangun dari kekokohan prinsip Tauhid atau membebek mentah-mentah pada budaya jahiliyah yang berlapis filsafat Yunani dan legenda Romawi atau telah berubah bentuk di era modern menjelma materialisme pemikiran lalu secara jaringan yang melembaga di pelbagai belahan dunia ada Freemansonry, jejak hitam kaum Yahudi pun pernah tercium di negeri kita tercinta ini.

Dan dalam kondisi seperti ini yang diperlukan adalah pembersihan kembali jiwa-jiwa Muslim yang kini entah tengah dibuai segala keuntungan atau dijepit dengan segala kesulitan yang membelenggu karena menjadi seorang Muslim berarti menjadi kain putih lalu Alloh mencelupnya menjadi warna ketegasan, kesejukan, keceriaan, dan cinta; rohmat bagi semesta alam. Aku jadi rinu pada pelangi itu. Pelangi yang memancarkan celupan warna Ilahi. Telah tiba saatnya derai berkilau Islam tak lagi terpisahkan dari pendar menawan seorang Muslim. Dan saksikanlah bahwa aku seorang Muslim.

Bagian 3: Menggelas Benang Lelayang
Pada bagian ketiga yang merupakan kelanjutan dari bagian kedua lebih banyak berbicara tentang hakikat ibadah yang diikat dengan tiga ikatan dan antara satu dengan yang lain mengikat kuat sebagaimana yang pernah diungkapkan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah:
Barangsiapa menyembah Alloh dengan cinta saja maka sunguh ia Zindiq;
Barangsiapa menyembah Alloh dengan harap saja maka ia adalah Murji;
Barangsiapa menyembah Alloh dengan takut saja maka ia Haruri.
Mukmin bertauhid menyembah Alloh dengan ketiganya: Takut, Harap, dan Cinta.

Ibadah yang hakikatnya segala kegiatan manusia dan dialamatkan dalam rangka mencari keridhoan Alloh, tatkala kita mengetahui bahwa kehidupan yang fana ini terlalu sederhana dengan hanya berbagai kehidupan tanpa tujuan yang jelas dan sasaran yang pasti bagai seseorang yang berjalan tanpa arah maka ia hanya melelahkan dirinya sendiri. Seperti yang telah saya jelaskan pada awal-awal tulisan ini bahwa permasalahan ibadah dalam Islam yang tampak bagi kebanyakan orang merupakan hal yang berat dan banyak membutuhkan waktu dengan ringan permasalahan tersebut dibedah dari segi esensi dan ketiga hal tadi yang mendasari mengapa dan karena apa seorang Muslim beribadah dan bukan bagaimana atau mengapa tatkala kita berbincang tentang takut, harap, dan cinta namun luruskanlah dalam wangi surga karena apa kita berkata berkata cinta lalu mengharap amalnya diterima dan tak menjadi buih-buih semata atau takut pada bayangan surge-nerakanya dan berpuncak pada sikap. Sikap yang membuat kita semakin mengerti bahwa Alloh sama sekali tak pernah mengharap apapun dan sekecil apapun jua dari hamba-hambaNya karena Dialah yang Maha Kaya lagi Maha Sempurna.

Beberapa judul memang sangat benar-benar terkait dengan permasalahan ibadah dalam Islam seperti sikap Ihsan yang harus dibangun atas kebersamaan dengan Alloh yang senantiasa menyertai tiap langkah kehidupan manusia “An Ta’budallooha ka’annaka taroohu. Fa in lam takun taroohu, fainnahuu yarooka; hendaknya engkau beribadah kepada Alloh seakan-akan engkau melihatnya bila engkau tak melihatnya maka yakinlah bahwa Alloh melihatmu. Ma’iyah; inilah yang hendak ditekankan oleh sepanjang tulisan yang diberi judul besar “Menggelas Benang Lelayang, kebersamaan bersama kehadiranNya yang senantiasa tak lena mengawasi dan mencatat gerak-gerik kehidupan hamba-hambaNya.

Ternyata tatkala kita berbincang permasalahan ibadah dalam Islam juga tak terbatas pada titik ibadah mahdhoh ritual melainkan pula bagaimana ada dimensi lain dalam ibadah yang tak boleh diabaikan. Bahwa ia lebih luas dan memang universal dari itu semua. Tentang harta misalnya, bagaimana harta yang diperoleh seorang Muslim dengan mudah dialihkan untuk kepentingan umat, secara filosofinya agama Islam bukan hendak menganjurkan umatnya menjauhi harta kekayaan lalu terkonsentrasi pada satu posisi yakni berkutat hanya pada ibadah-ibadah formal melainkan agama Islam mengatur bagaimana agar harta kekayaan atau aset-aset kekayaan yang kita miliki diletakkan pada tempat yang sesuai yakni di dalam genggaman bukan dalam dada apalagi hati kaum Muslimin.

Terlebih lagi bahkan sangat diutamakan adalah bagaimana harta kekayaan tersebut dapat dimanfaatkan seoptimal mungkin bagi kelangsungan dakwah dan jihad. Harta kekayaan tersebut dapat dengan mudah didistribusikan untuk kemaslahatan umat. Sebagaimana yang dicontohkan oleh Baginda Nabi saw, bagaimana fasilitas yang digunakan selama jihad bukan fasilitas bila di zaman sekarang sesuatu yang murahan. Let we see bagaimana peralatan perang yang digunakan oleh Baginda Rosul merupakan peralatan yang berkualitas tinggi, kecepatnnya mengagumkan, dan sangat tangkas seperti duldul keledai beliau hadiah dari Muqoiqus, atau ada pedang komando yang hingga kini masih tersimpan di salah satu museum Turki yang bernama Dzul Lujjain yang tak perlu lagi diragukan kualitas logamnya, tempaannya, serta kehalusan pembuatannya.

Bagian 4: Menenun Jalinan Cinta
Seperti yang telah dibahas pada tulisan sebelumnya tatkala kita berbincang tentang bangunan kepribadian seorang Muslim, rasanya akan ada yang janggal dalam bangunan tersebut. Bangunan yang bermula dari utuhnya integritas keimanan individual seorang Muslim kemudian dilanjutkan pada tataran keluarga hingga masyarakat lalu puncaknya adalah terbentuknya sebuah khilafah Islamiyah yang akan mampu menciptakan masyarakat yang berkeadilan dan sejahtera.

Hingga esensinya, yakni Islam sebagai agama yang rohmatan lil alamiin benar-benar terimplementasikan begitu indah dan menjadi hujjah terkuat yang takkan mampu dibantah oleh siapa pun. Cinta inilah tema tak habis oleh perubahan cuaca, tak lekang oleh pergantian zaman, dan tak usang dilalui beribu-ribu tragedi hingga, kata ustadz Anis Matta dalam tulisan-tulisannya di majalah Tarbawi menulis “maka kekallah Jalaludin Ar-Rumi, Rabindrath Tagore, Chairil Anwar hingga Hasan Al-Banna kerana cinta telah terejawantah yang tidak saja bertebaran dalam puisi mereka.

Disini cinta yang suci akan berpulang kembali pada pangkuannya yang suci pula, yakni Pernikahan. Penulis buku ini, Salim A. Fillah bercerita bagaimana idenya menggelar indahnya pernikahan di usia yang masih belia sebagaimana disini beliau juga adalah pelakunya, mendapat tantangan yang hebat dari sejumlah ikhwah dengan alasan bahwa belum saatnya hal-hal berbau pernikahan dibicarakan sedangkan di sisi yang sama fakta di lapangan kian berkembang pesat bahwa 70% anak kelas 4-6 SD di Jakarta, Surabaya, dan Bandung sudah mengakses materi-materi Pornografi.

Dan memang tatkala hari ini pun sejatinya pernikahan merupakan sebuah tema yang masih sangat relevan. Karena memang cinta yang sejatimya fitrah manusia adalah hal yang janggal bila kita umbar syahwat tanpa batas atas nama cinta maka oleh karena ini Salim A. Fillah dalam bagian ini menekankan bahwa ada garis tipis yang memisahkan cinta murni dan tulus serta bersih dengan nafsu syahwat yang bercampur dengan bisikan setan.

Karena pernikahan pun merupakan manhaji. Sebuah ikhtiar memulai serta membina rumah tangga Muslim sebagai pilar yang integral dan utuh dari keseluruhan jalan panjang menegakkan Islam sampai tegaknya khilafah. Sebagai warisan Alloh pada umat Islam yang telah sekian lama jatuh ke tangan orang yang tak berhak mengelolanya. Demikian Imam Asy-Syahid Hasan Al-Banna menjabarkan dengan jelas pasal tuntutan yang perlu dipenuhi oleh tiap-tiap Muslim.

Karena pernikahan pun tak sekedar bicara masalah cinta dan sejumlah kata-kata puistis yang biasa orang lakukan bila telah bersiap pada pernikahan. Nyatanya ia membutuhkan kesiapan material dan kemantapan niat yang matang, kemampuan menanggung tiap risiko perjalanan rumah tangga, dan yang paling terpenting adalah orientasi. Demikianlah setidaknya yang amat ditekankan oleh Akh Salim Fillah dalam berbagai tulisan-tulisan beliau di bagian keempat ini. Menenun Jalinan Cinta.

Bagian Kelima: Menjahit Pola-pola
Pada bagian ini yang menjadi pemaparan Salim A. Fillah adalah bagaimana sebaik-baiknya interaksi bermuamalah sesama Muslim di tengah-tengah masyarakat. Adakah di sana hak-hak yang harus ditunaikan dan adakah di sana kewajiban yang segera dilaksanakan dan adakah pula ketika seorang Muslim berinteraksi sesama Muslim atau bukan Muslim sudahkah kita perhatikan poin-poin penting atau titik-titik vital yang haris dikuasai seorang Muslim.

Ada beberapa judul tulisan dalam bagian ini yang benar-benar membuat kita terpincut saat membacanya bahkan tak rela rasanya kita segera berganti halaman. Ya, memang demikian adanya walau jujur Salim A. Fillah mengakui ada bagian tertentu berat dijelaskan namun dengan pertimbangan bahwa akan lebih baik manfaatnya diketahui khalayak ramai terutama kader dakwah seperti pada tulisan berjudul “Setampan dan Sewangi Mush’ab”. Atau tulisan yang lain tak sekedar membahas dengan formal seperti pada kebanyakan buku lainnya namun gagasan kemanusian fitrah agama Islam, sebagaimana yang diajarkan oleh siroh Nabawiyah, seperti yang dititahkan Alloh swt dalam kitab suciNya dan Sunnah Nabi saw sebagimana yang tampak pada tulisan Aqobah dan Hilful Fudhul.

Dalam posisi yang lain, juga dibedah sumber dari skill-skill kehidupan agar dalam bahasanya Reza M. Syarief, Life Excellent; kehidupan yang semakin baik dan mempesona jiwa lalu bersinar terang di tengah-tengah kegelapan sumber daya manusia yang pekat. Antara lain yang diangkat oleh beliau adalah tentang budaya membaca dan menulis buku, khutbah Jum’at yang sudah semestinya dikemas ulang dan menarik, penampilan seorang Muslim yang semestinya indah secara zhohir maupun akhlaknya yang membat semua orang tersentuh dan dapat merasakan gairah keimanan karena, yang mampu dinikmati dari keimanan kita adalah buahnya. Buah akhlak yang bersumber sebesar dan sedalam mana keimanan seorang Muslim hidup di tengah-tengah kehidupannya.

Bagian keenam: Menata Busana Bertiara
Inilah bagian terakhir dari keseluruhan bagian dalam buku. Sebuah puncak dari tujuan dakwah dari gerakan dakwah hingga Negara dan bagaimana susunan yang sistematis bermula dari diri pribadi mensibghoh diri dengan nilai-nilai Islam lalu membentuk keluarga Islami dan berlanjut bagaimana membangun suasana berkeluarga yang baik di tengah masyarakat hingga keluarga-keluarga Islami itu bersinergi menjadi sebuah komunitas kecil di suatu masyarakat global merangkak lebih dalam menjadi masyarakat itu sendiri hingga bila dari akar telah tertancap kokoh nilai-nilai Islam lalu berangsur sesuai pergerakan zaman ia melembaga menjadi sebuah masyarakat yang telah hidup, dihidupkan, dan menghidupkan dirinya.

Pada bagian yang terdiri dari 9 tulisan dan kesemuanya bernuansa wacana akan kembalinya khilafah Islamiyah setelah runtuh pada tahun 1924 H, bahkan sejatinya seluruh pergerakan Islam yang kini bekerja lalu mendakwahkan Islam ke seluruh permukaan bumi adalah merupakan satu arah mengembalikan nilai-nilai Islam dalam kehidupan bermasyarakat dan berbangsa.

Agak utopia, memang. Namun ke semua akan selalu utopia karena pandangan dan daya pandang sejak awal pun sudah bernuansa pragmatis sebagaimana yang pernah diungkapkan M. Anis Matta dalam bukunya yang fenomenal “Mencari Pahlawan Indonesia” titik yang mempertemukan garis idealisme yang utopis dengan realita yang pragmatis adalah optimisme.

Ya. Optimis berarti mencoba tak kenal henti karena kita yakin akan tujuan tengah menanti di hadapan walau hari ini ujian berlalu lalang menghadang mulai dari penjegalan RUU yang mengarah pada peraturan bernuansa syariat dan memagari kebebasan yang selama ini terumbar dengan bebasnya seperti RUU Anti Pornografi dan Pornoaksi, hingga RUU Perbankan Syariah yang mempermudah ketentraman masyarakat ketika menyetor uangnya di Bank-bank Syariah, sampai tulisan ini tengah diketik belum juga terdapat sinyal positif ke arah sana.

Menjadi Muslim adalah menjadi kain putih. Lalu Alloh mencelupnya menjadi warna ketegasan, kesejukan, keceriaan, dan cinta rahmat bagi semesta alam. Aku jadi rindu pada pelangi itu, pelangi yang memancarkan celupan warna ilahi.
Telah tiba saatnya, derai berkilau Islam tak lagi terpisahkan dari pendar menawan seorang Muslim. Dan saksikan, bahwa aku seorang Muslim.
“Kau belum tahu yang aku mau. Dan kau tak tahu apa yang Allah mau. Sedang aku melakukan yang ia mau. The show must go on! Baca buku ini agar kau tahu apa yang Allah mau!” (Yoyoh Yusroh (1962-2011), ibu dari 13 putra, Aktivis Dakwah)

“Ini buku yang mencerdaskan dan mencerahkan ditulis dengan bahasa yang halus dan indah. Selain mengajak mencintai Islam, buku ini mengajak pembacanya menjadi Muslim sejati yang cerdas.” (Habiburrahman El Shirazy, Pemerhati Islam & Novelis)

“Renungan-renungan ringan tapi nampol. Setiap kali membaca, kita bakal ngedapetin warna baru dari halaman demi halamannya. Yang jelas, buku ini memberikan kita semangat ‘Gw bangga jadi Muslim! yang gak ketulungan: karena kita Muslim, maka kita bisa meraih prestasi apa saja!” (Shofwan Al-Banna, Mahasiswa Berprestasi Utama Nasional 2006, Dosen Fisip UI)

“Meski belum sempurna, tapi buku ini cukup lumayan untuk menyegarkan komitmen kemusliman kita di tengah berbagai krisis yang telah mendera, termasuk krisis identitas…” (M. Ismail Yusanto, Juru Bicara Hizbut Tahrir Indonesia)

“… Sungguh, buku ini sarat akan perenungan yang kontributif bagi setiap langkah kehidupan.
Selamat menikmati.” (Cahyadi Takariawan, Penulis buku “Yang Tegar di Jalan Dakwah, ketua Wilda DPP PKS)

Buku ini cocok dibaca para aktivis dakwah ketimbang Muslim secara umum, dikarenakan ada istilah-istilah berbahasa Arab yang tidak diberikan artinya sehingga pembaca umum akan kebingungan mengenai apa artinya.

Judul: Saksikan bahwa Aku Seorang Muslim
Penulis: Salim A. Fillah
Tebal: 394 hlm.
Dimensi: 15x21,5 cm
Cetakan: VIII, Juli 2011
ISBN: 979-1061-03-3
Penerbit: Pro-U Media, Yogyakarta

Bingkisan dari Pro-U Media sebagai tanda terima kasih atas sejumlah erata pada judul "Saksikan bahwa Aku Seorang Muslim" cetakan VIII.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Resensi: Sejarah Peradaban Islam

Buku Sejarah Per a daban Islam yang dikarang oleh Dr. Badri Yatim , MA ini membahas sejarah perkembangan atau peradaban Islam mulai zaman klasik (Nabi Muhammad), pertengahan (Khulafaurr o syidin dan tabi’in), dan modern (saat ini). Pada masa klasik, peran b angsa Arab sangat dominan , sebab memang Islam lahir di Arab. Pada masa pertengahan , muncul tiga kerajaan besar yang mewakili tiga kawasan budaya, yaitu Kerajaan ‘ U t smani di Turki, kerajaan S y afawi di Persia, dan kerajaan Mugh o l di India. Pembahasan pada masa pertengahan ini dititikberatkan pada persaingan politik yang terjadi. Pada masa modern , yang dibahas adalah kerajaan Islam di Nusantara (Indonesia). Perlu diketahui bahwa pembahasan kerajaan Islam di Indonesia walaupun mendapat porsi besar di dalam buku ini tetapi sebenarnya Islam di Indonesia belum termasuk dalam satu kesatuan kajian sejarah peradaban Islam. Buku menitikberatkan pada masalah percaturan politik karena politik adalah salah satu ikon penting adan

Resensi: Diplomasi Revolusi Indonesia di Luar Negeri

Negara yang pertama kali mengakui kemerdekaan Indonesia adalah Mesir. Demikian tertulis dalam buku sejarah kemerdekaan Indonesia. Tapi, buku-buku sejarah umumnya tak menjelaskan lebih lanjut, mengapa dan bagaimana Mesir mengakui kemerdekaan Indonesia. Pengakuan dari negara lain, merupakan syarat penting berdirinya sebuah negara. Dan untuk itu, bangsa ini pantas berterima kasih kepada tokoh-tokoh Ikhwanul Muslimin. Sebab, merekalah yang melobi agar pemerintahnya mendukung kemerdekaan Indonesia 17 Agustus 1945. Ikhwanul Muslimin yang saat itu jaringannya telah tersebar, juga menggalang dukungan negara-negara Arab lainnya untuk mendukung kemerdekaan Indonesia. Dan setelah Mesir, negara-negara Timur Tengah lain pun mendukung kemerdekaan Indonesia. Para pemimpin Mesir dan negara-negara Arab saat itu, bahkan membentuk Panitia Pembela Indonesia. Mereka mendorong pembahasan soal isu Indonesia di berbagai lembaga internasional, seperti Perserikatan Bangsa-bangsa dan Liga Arab. Dal