Resensi: Api Republik; Novel Biografi Hamengku Buwono IX

Sultan Hamengkubuwono IX adalah salah satu diantara sekian banyak anak bangsa yang memiliki peran besar dalam membangun republik ini. Hampir seluruh hidupnya digunakan untuk berjuang dan membangun negeri ini. Sejak republik ini lahir, ia adalah satu diantara pejuang yang menghibahkan seluruh waktu, tenaga, dan pikirannya untuk kepentingan bangsa Indonesia. Bahkan, ia tak segan-segan mengorbankan harta pribadinya untuk menyokong perjuangan rakyat di masa perjuangan mempertahankan kemerdekaan.

Meski seorang raja, ia sama sekali tidak merasa ragu saat menyatakan, bahwa Kasultanan Ngayogyakarto Hadiningrat —yang menjadi daerah kekuasaannya— adalah bagian dari Indonesia. Sejarah mencatat, bahwa Hamengkubuwono IX adalah penguasa lokal pertama yang menyatakan tunduk dan mendukung penuh berdirinya negara Indonesia.

Hamengkubuwono IX dilahirkan pada 12 April 1912 dengan menyandang nama Gusti Raden Mas (GRM) Dorodjatun dari pasangan Sultan Hamengkubuwono VIII dan Raden Ayu Kustilah. Pada usia belum genap empat tahun, Dorodjatun harus dijauhkan dengan ibunya dengan suatu alasan keamanan Dorodjatun dan masa depan sang suami. Alasan tersebut diungkap pada bab 17, setelah sejak usia kanak-kanak hingga menyelesaikan pendidikan tinggi di Rijksuniversiteit, Leiden, ia di bawah asuhan para Meneer sahabat ayahnya.

Barangkali hikmah di balik ayat yang menyerukan “Berjalanlah (berpetualanganlah) di muka bumi”, sehingga Dorodjatun mendapatkan insight maupun fakta sejarah tentang nasib rakyat dan bangsa Indonesia di bawah kendali kolonial Belanda dari banyak sumber. Bahkan tuturan dari tokoh-tokoh Belanda sendiri, yang menyentuh dasar nuraninya untuk bangkit dan membela harkat dan martabat bangsa Indonesia.

Pada 18 Maret 1940 ia ditabalkan menjadi penguasa Kasultanan Ngayogyakarto Hadiningrat yang ke-9. Saat dikukuhkan menjadi sultan, ia dianugerahi gelar, “Sampeyan Dalem Ingkang Sinuwun Kanjeng Sultan Hamengkubuwono Senopati Ing Ngalogo Ngabdurrohman Sayidin Panotogomo Kalipatulloh Ingkang Jumeneng Kaping Songo”.

Sebagai seorang pemimpin terpelajar, Hamengkubuwono IX sangat haus akan kemerdekaan. Hal itulah yang kemudian membuatnya selalu merasa jengah dengan sikap Governemen Hindia Belanda yang selalu ingin mencampuri urusan negerinya.

Dari keseluruhan bab (19 bab), hampir semuanya menceritakan jalan pendidikan Dorodjatun dari sejak balita hingga usia 27 tahun. Di sela-selanya, dijelaskan beberapa latar sejarah yang berkaitan dengan nasab keluarganya, perlakuan kaum kolonial, dan aksi kontra para inlander terpelajar kepada kaum kolonial.

Buku ini merupakan seri awal dari kisah hidup dan perjuangan sang sultan secara keseluruhan. Artinya, buku ini hanya mengisahkan kehidupan awal Hamengkubuwono IX sejak lahir hingga ditabalkan menjadi penguasa Kasultanan Ngayogyakarto Hadiningrat. Dan buku sejarah biografi ini bukan seluruhnya hasil riset sejarah murni. Artinya, buku ini ditulis dengan menggunakan bahasa yang populer dan disajikan dalam bentuk novel.

Ada cuplikan percakapan Sinuwun Dalem Sultan Hamengkubuwono VIII dengan sang putra pada halaman 334 yang menarik,

“Ingat selalu, Ngger! Pendidikanmu boleh Eropa, tapi jiwamu harus tetap Jawa! Sekali-kali kamu tidak boleh meninggalkan jati dirimu sebagai orang Jawa!” nasihat sang sultan.

“Sampai kapan pun saya tetap orang Jawa, Romo! Belajar di sekolah-sekolah Belanda tidak akan ernah membuat saya kehilangan jati diri sebagai orang Jawa!”

Dan bukti kekesatriaan Dorodjatun ia tunjukkan saat perundingan kontrak politik dengan Gubernur Yogyakarta untuk Hindia Belanda; Dr. Lucien Adam,

“Menjadi Hamengkubuwono IX tidak terlalu penting bagi saya, Tuan. Sebab, yang terpenting bagi saya saat ini adalah bagaimana langkah yang harus saya lakukan untuk membela kepentingan rakyat Yogyakarta melalui kesepakatan kerjasama yang saat ini sedang kita coba untuk merumuskan bersama.” (hal.376-377)

Yang menarik —sekaligus penutup, pada halaman 7, Peter Carey; peneliti Pangeran Diponegoro; memberikan judul pada Kata Pengantarnya untuk sosok Hamengkubuwono IX, “Chevalier sans peur et sans reproche; Seorang kesatria tanpa rasa takut dan tanpa cacat.” Dan beliau pun akhirnya mempertanyakan —dari realitas sejarah, “Mengapa seorang raja dari generasi perintis bisa begitu peka kepada sejarah tapi sekarang elite politik begitu buta?”

 

Resume

Bab: 1. Harapan

• Negeri Mangkubumi (Mataram) dibangun pada 1756.

• Raden Mas Murtedjo atau Sultan Hamengkubuwono VII naik takhta pada 13 Agustus 1877 dengan gelar “Sampeyan Dalem Ingkang Sinuhun Kanjeng Sultan Hamengku Buwono Senopati Ing Ngalogo Abdurrahman Sayidin Panotogomo Kalipatulloh Ingkang Jumeneng Kaping Pitu”.

• Raden Mas Sudjadi; putra ke-23 dari Sultan Hamengkubuwono VII atau Sultan Sugih; lahir pada 3 Maret 1880.

• Raden Ayu Siti Kustilah; putri dari Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Mangkubumi; adalah istri kelima dari RM. Sudjadi.

 

Bab: 2. Mengukir Mimpi

• Kelahiran Dorodjatun pada 12 April 1912 yang kemudian mendapat gelar kebangsawanan Gusti Raden Mas (GRM) Dorodjatun.

• 1914, RM. Sudjadi dinobatkan sebagai calon pengganti Sultan Hamengkubuwono VII dengan gelar “Kanjeng Pangeran Adipati Anom Amangku Negoro Sudibyo Rojoputro Narendro Ing Mataram” (KGPAA Sudjadi) dan Raden Ayu Kustilah menjadi Kanjeng Raden Ayu Adipati Anom Amangku Negoro (KRAA Anom).

 

Bab: 3. Keputusan Sepihak

• Akibat perselisihan antar KGPA Mangkubumi (putra Sultan Hamengkubuwono VI) dengan Sultan Hamengkubuwono VII, Dorodjatun harus hidup dalam asuhan sang ayah atas perintah Sultan Hamengkubuwono VII secara sepihak pada 16 Juni 1915.

 

Bab: 4. Antara Tujuan dan Perasaan

• Dorodjatun kecil (5 tahun) sudah in de kost di rumah Mr. Mulder (seorang guru Belanda) untuk belajar mandiri, disiplin, dan sederhana oleh ayahnya. Termasuk anak-anak Sudjadi dari istri lainnya ke beberapa keluarga Belanda dan diperlakukan layaknya masyarakat umum.

 

Bab: 5. Masuk Sekolah

• Usia 5 tahun, Dorodjatun masuk Frobel School (Taman Kanak-kanak).

• Orangtua asuh Dorodjatun di Frobel School adalah Mr. Mevrouw Mulder; seorang guru Belanda. Dan Dorodjatun diberi nama panggilan Henkie.

• Usia 6 tahun, Dorodjatun masuk Eerste Europese Lagere School B (Sekolah Dasar tingkat rendah). Karena perlakuan teman sinyo-sinyo Belanda terhadap inlander, Dorodjatun sering berkelahi dari sejak kelas 2. Hal tersebut mendapat perhatian sahabatnya; Syarif Abdul Hamid Alkadrie dengan nama panggilan Mozes; seorang ningrat dari Pontianak yang memiliki kepribadian berbeda dari Henkie.

• Dorodjatun bergabung dalam kepanduan Ned Indische Padvinders Club (NIPV) sejak kelas 3. Dan keterampilan memasaknya berawal dari sana.

 

Bab: 6. Merancang Peta Impian

• 8 Februari 1921, KGPAA Sudjadi dinobatkan sebagai sultan dengan gelar Sampeyan Dalem Ingkang Sinuwun Kanjeng Sultan Hamengkubuwono Senopati Ing Ngalogo Abdurrohman Sayidin Panotogomo Kalipatulloh Ingkang Jumeneng Kaping Wolu.

• Dorodjatun melanjutkan sekolah di Neutrale Europese Lagere School (Sekolah Dasar tingkat tinggi) sampai usia 16 tahun.

• Orangtua asuh Dorodjatun selama belajar di ELS adalah Mr. Cock.

• Dorodjatun melanjutkan sekolah di Hogere Burgere School (Sekolah Menengah Pertama) di Semarang.

 

Bab: 7. Demi Masa Depan

• Pendidikan merupakan salah satu bentuk politik etis atau balas budi pemerintah Belanda kepada Hindia Belanda dengan kampanye Trias Van Deventer; irigasi, emigrasi, dan edukasi.

• Orangtua asuh Dorodjatun selama di Semarang adalah Mr. Voskuil; seorang Kepala Penjara di Mlaten.

• Karena ketidakcocokan udara Semarang, Dorodjatun ditarik kembali ke keraton dan diproyeksikan belajar di HBS Bandung pada tahun pertama di HBS Semarang.

 

Bab: 8. Memupuk Asa

• Kepindahan sekolah ke HBS Bandung, Dorodjatun ditemani kakak tirinya; Bendoro Raden Mas (BRM) Tinggarto; yang bersekolah di MULO. Dari tahun 1926-1930.

• Orangtua asuh mereka selama di Bandung adalah Mr. De Boer; seorang militer berpangkat Letnan Kolonel.

• Selesai menempuh pendidikan di HBS Bandung dan MULO, Dorodjatun dan Tinggarto melanjutkan sekolah Algemene Middelbare School (setingkat SMA) di Bandung.

• Masuk tahun kedua di AMS, Sultan Hamengkubuwono VIII meminta Dorodjatun dan Tinggarto pindah sekolah di Holland.

 

Bab: 9. Berlayar ke Nederland

• Dorodjatun dan Tinggarto sampai di Nederland pada April 1930 dengan kapal nyaris sebulan lamanya.

• Penjemput mereka di Rotterdam adalah Mr. Hofland; direktur SMA. Darinya, Dorodjatun dan Tinggarto mendapat informasi sejarah VOC dan kooptasi Belanda di Hindia Belanda.

 

Bab: 10. Awal dari Sejuta Impian

• Orangtua asuh mereka berdua selama di Holland adalah Ir. W.C.G.H. Mourik Broekman; direktur SMA; yang memberi pencerahan Dorodjatun akan sosok Raden Mas Suwardi Suryaningrat.

• Empat tahun Henk menyelesaikan pendidikannya di SMA —karena harus turun 2 kelas di awal sekolah.

• Selepas SMA, Dorodjatun melanjutkan di Fakultas Indologi (hukum tata-negara dan ekonomi) di Rijksuniversiteit, Leiden. Sedangkan Tinggarto melanjutkan di Vereenigde Fakulteit (fakultas hukum) Rijksuniversiteit.

 

Bab: 11. Pertemuan Dua Sahabat

• Di masa kuliah ini (1934), Dorodjatun dan Tinggarto tidak diberi rekomendasi orangtua asuh dan mulai berkenalan dengan perkumpulan mahasiswa pergerakan yang kritis dan peduli terhadap nasib bangsanya; Nederlands-Indie.

• Di Holland, Dorodjatun bertemu sahabat lamanya; Syarif Abdul Hamid Alkadrie; yang telah berubah nama panggilan menjadi Max sejak masuk Koninklijke Militaire Academie di Holland.

 

Bab: 12. Antara Fakta dan Realita

• Dua tahun menyelesaikan sarjana muda di Fakultas Indologi, Dorodjatun melanjutkan kuliah untuk mendapat gelar sarjana penuh selama lima tahun. Di tahun ketiga, ia diwajibkan ambil jurusan ekonomi.

 

Bab: 13. Studi dan Perkumpulan

• Selama menempuh kuliah di Holland, beberapa kali Dorodjatun gagal lulus mata kuliah Ekonomi yang ia gemari karena perhatiannya tersita oleh padatnya kegiatan di dua perkumpulan mahasiswa yang notabene didominasi mahasiswa Belanda; Leidse Studentencorps dan Studentsocietiet Minerva.

• Di tahun-tahun ini pula, Dorodjatun dihadapkan pada pilihan; kecenderungannya untuk terjun di dunia pergerakan kemahasiswaan dengan teman-teman Inlander yang digolongkan terlarang oleh pemerintah Belanda atau memilih jalur aman dengan bergiat di senat mahasiswa yang cenderung menjauhi isu politik.

 

Bab: 14. Pulang

• Akhir 1939, situasi politik Eropa memanas akibat ulah Jerman (Nazi) ingin menginvasi Polandia dan Finlandia pasca Perjanjian Versailles. Ini awal mula terjadinya Perang Dunia II.

• Belanda yang mengambil sikap netral menjadi penyulut amarah Hitler yang kemudian menginvasi kantong-kantong pertahanan Kerajaan Belanda. Terjadi pembersihan etnis Yahudi di Belanda, dan dosen-dosen Rijksuniversiteit dimusnahkan di kamp-kamp konsentrasi.

• Sultan Hamengkubuwono VIII menghendaki keenam anaknya yang sedang belajar di Holland dipulangkan. Dalam kondisi genting, hanya Dorodjatun yang mendapatkan kesempatan pulang ke Nederlands-Indie di tengah penyusunan skripsi.

 

Bab: 15. Kiai Jaka Piturun

• Pelayaran dengan memutar melalui rute Tanjung Harapan menuju Nederlands-Indie, menghabiskan waktu satu bulan (September-Oktober 1939).

• Sesampainya di Batavia, Dorodjatun yang dijemput keluarga besar —termasuk Sultan Hamengkubuwono VIII— tersebut mendapat kejutan dengan diwarisi keris Kiai Joko Piturun oleh sang ayah; pusaka utama Kasultanan Ngayogyakarto Hadiningrat yang diwariskan turun-temurun kepada putra mahkota.

 

Bab: 16. Pralaya

• Medio Oktober 1939 itu, Sultan Hamengkubuwono VIII mangkat sesampainya di Yogya sepulang menjemput Dorodjatun karena diabetes akut yang dideritanya.

 

Bab: 17. Meja Perundingan

• Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat berada di bawah tanggung jawab Gubernur kolonial.

• Dari sang ibu, Dorodjatun mengetahui alasan mengapa beliau dijauhkan dari Dorodjatun dan keraton, yakni sebab sang ibu memiliki darah keturunan Untung Suropati; seorang Pangeran Madura ‘pemberontak’ yang berhasil menjungkalkan Sunan Amangkurat I.

• Dorodjatun terpilih menjadi penanggung jawab Kasultanan yang harus merundingkan nasib Yogyakarta dengan gubernur; Dr. Lucien Adam. Cara yang telah dijalani oleh pendahulunya sejak Sultan Hamengkubuwono I untuk mengendalikan keraton dengan melakukan kontrak perjanjian kerjasama antara keraton dengan Belanda sebelum dinobatkan sebagai penguasa Kasultanan Ngayogyakarto.

• Draft perjanjian dibuat oleh pihak Belanda secara sepihak sedemikian rupa agar mudah mendapat persetujuan tanpa melalui kajian mendalam oleh pihak keraton.

 

Bab: 18. Bisikan Gaib

• Perundingan berjalan alot selama hampir empat bulan dengan tiga pasal yang menjadi krusial bagi kepentingan Belanda yang ingin memperdalam peran kendalinya hingga ke urat keraton.

• Pada akhirnya, ‘bisikan gaib’ didapat Dorodjatun dalam kesamaran tidur di tengah penatnya pikiran untuk menandatangani kontrak politik tersebut.

 

Bab: 19. Naik Takhta

• 18 Maret 1940 —setelah ditandatanganinya kontrak politik, Dorodjatun dinobatkan sebagai Sultan Hamengkubuwono IX dengan gelar Sampeyan Dalem Ingkang Sinuwun Kanjeng Sultan Hamengkubuwono Senopati Ing Ngalogo Ngabdurrohman Sayidin Panotogomo Kalipatulloh Ingkang Jumeneng Kaping Songo sekaligus penobatan sebagai Putra Mahkota Kasultanan Ngayogyakarto dengan gelar Pangeran Adipati Anom Hamengkunegoro Sudibyo Rojo Putro Narendro Ing Mataram.

 

Bibliografi

Judul: Api Republik; Novel Biografi Hamengku Buwono IX

Penulis: Haidar Musyafa

Tebal: 420 hlm.

Genre: Biografi, Sejarah

Cetakan: I, November 2017

ISBN: 978-602-7926-38-7

Penerbit: Pustaka Imania, Tangerang Selatan


Posting Komentar

0 Komentar