Sampai
generasi 2000-an dalam pelajaran sejarah di sekolah, masih banyak tercatat
mengenai total tahun tahun penjajahan yang dilakukan oleh Belanda. 350 tahun,
ini angka yang sering disuguhkan oleh buku-buku sejarah. Angka yang fantastis
ini tentu membuat banyak orang berpikir, seperti apa bangsa Indonesia dahulu
sampai bisa dijajah selama itu. Bahkan sebelum membahas tentang bangsa
Indonesia,
tentu pemberian nama Indonesia teramat baru, yang diberikan dua orang yang beda
zaman hidupnya dan tidak saling mengenal.
Nusantara
adalah nama yang tepat bagi Indonesia.
Tetapi dalam tulisan ini, tidak akan membahas
asal muasal dari nama Indonesia dan Nusantara. Buku “Bukan 350 Tahun Dijajah”
karya G.J. Resink, ia seorang
alumni dari sekolah tinggi hukum Batavia lalu menjadi guru besar Fakultas Hukum
Universitas Indonesia. Buku ini telah terbit sejak 1968 oleh University of
British Columbia.
Buku
ini pembelaan yang dilakukan oleh Penulis atas kehebatan kerajaan yang berada
di Nusantara. Penulis mengkritik dengan keras atas tulisan-tulisan ilmuwan
Belanda yang masih menganggap Indonesia dijajah hingga 350 tahun. Argumen yang
dibangun Penulis sederhana saja, Indonesia ini dijajah secara parsial, tidak
bersifat menyeluruh terlebih yang datang ke Indonesia sebelumnya bukan
pemerintahan Belanda, tetapi kantor dagang yang berasal dari Belanda yang
bernama VOC.
Awal
kedatangan VOC untuk melakukan perdagangan dengan Nusantara dan mendapatkan
langsung komoditas-komoditas paling mahal di Eropa kala itu. Kedatangan VOC di
Sunda Kelapa dan Maluku untuk mendapatkan cengkeh
dan pala. Tetapi
dalam perjalanannya,
mereka ingin melakukan monopoli atas produksinya. Walhasil, menjajah merupakan
cara yang tepat. Memonopoli atas komoditas hanya dilakukan di Sunda Kelapa dan
Ambon. Lalu
dengan hanya memegang monopoli dua daerah tersebut,
apakah sudah termasuk menjajah Indonesia? Padahal era itu, Nusantara terbagi
banyak kerajaan.
Dalam
buku tersebut, metode hukum internasional dan sosio-kultural digunakan untuk
menilai apa yang dilakukan Belanda hanya menguasai Indonesia tidak lebih dari
45 tahun atau bisa jadi lebih kurang dari itu. Selama 300 tahun lebih Belanda
dan VOC berusaha untuk menguasai
wilayah Indonesia dengan berbagai cara termasuk bekerja sama dengan kerajaan
setempat.
Penulisan
sejarah di Indonesia diawali oleh para penulis ilmuwan asal Belanda untuk
memberikan interpretasi atas kondisi Indonesia selama dijajah oleh Belanda.
Kaum terpelajar di Indonesia mau tidak mau mendapatkan informasi dan pelajaran
tentang sejarah Indonesia berasal dari sekolah Belanda, sehingga berkembang
aliran Eropasentris dan Indonesiasentris.
Eropasentris melihat bagaimana Indonesia dari kacamata ilmuwan Eropa yang
mendarat di Indonesia, melihat Indonesia yang kala itu menjadi beberapa bagian
kerajaan dan posisi bangsa Indonesia sebagai wilayah jajahan.
Indonesiasentris melihat
bagaimana perkembangan Indonesia dari kacamata penduduk Indonesia. Indonesia
yang terbagi berbagai macam kerajaan,
tetapi tetap bekerja sama antar-kerajaan yang
membentuk sistem kerajaan yang baik. Sebagian besar penduduk Indonesia −ketika
Belanda sudah menguasai Indonesia− mendapatkan pelajaran dari Belanda
berdasarkan aliran Eropasentris.
Peranan
buku-buku pelajaran yang berkembang kala itu membentuk generasi muda Indonesia
pasca
kemerdekaan. Generasi muda era 1920-an dan 1930-an merupakan generasi yang akan
memimpin Indonesia setelah merdeka. Walhasil, pidato-pidato mereka akan banyak
terpengaruh oleh buku-buku yang diterbitkan oleh pemerintah kolonial. Salah
satunya pidato Bung Karno untuk membakar semangat Indonesia dengan menyebutkan
Indonesia dijajah Belanda selama 350 tahun.
Ini
berawal dari buku pelajaran sejarah yang digunakan sekolah-sekolah kolonial
yang berdasarkan dua ilmuwan Belanda, Eijkman dan Stapel. Semua sekolah menengah
menggunakan buku ini. Buku
Stapel ini menjadi sumber bagi masyarakat umum untuk menimba pengetahuan
tentang sejarah Nusantara. Buku sejarah tersebut diterbitkan pada masa colonial. Negara-negara Pribumi
telah hilang dari peta Nusantara, kecuali Aceh yang masih merdeka.
Di
Kalimantan, menurut buku tersebut hanya ada kongsi-kongsi Cina yang sebelum
1854 bertindak selayaknya republik mandiri. Di Bali, raja-raja merdeka hanya
ada sebelum 1849. Di Sulawesi Selatan, hanya ada kerajaan Bone, Wajo, dan Luwu
yang merupakan pemerintahan sendiri. Di Sulawesi Tengah ada beberapa negara
kecil yang masih merdeka dan tergabung dalam berbagai bentuk perserikatan.
Sebenarnya
ada semacam pengingkaran keadaan pada abad ke-19 dan awal abad ke-20, dimana
raja-raja dan negeri-negeri dalam berbagai tingkat hubungan dengan Batavia
masih dikenal. Dengan demikian, terciptalah citra Nusantara dijajah lebih dari
tiga ratus tahun. Bahkan dalam edisi ke-6 buku pelajaran yang terbit pada 1930,
tidak lagi terdapat negara-negara kecil di Sulawesi Tengah. Begitu
pula raja-raja Bali,
karena kerajaan-kerajaan itu telah hilang kemerdekaannya.
Dalam
penulisan buku sejarah memang tidak ada masalah untuk di generalisasi, tetapi
tidak untuk di universitas. Kenyataan berkata lain. Beberapa
buku di universitas pun belum berubah sampai tahun 1970-an. Karena
sumber-sumber untuk sekolah berasal dari universitas. Demi perlunya para ilmuwan
sejarah di Indonesia untuk menggali sejarah bangsanya sendiri, tidak bisa lagi
terpaku dari penulisan sejarah kolonial.
Penulisan
para sejarawan Belanda harus mulai ditinggalkan, karena bernuansa generalisasi
yang berdampak mitos-mitos muncul dan syarat kepetingan akan masa kolonial.
Bangsa ini benar-benar harus serius menuliskan sejarahnya. Karena
mitos sejarah yang lahir dari penulisan sejarah di masa lalu dan hidup dalam
penghayatan sejarah masa kini, kelak akan mati dalam penulisan sejarah di masa
depan bersama kebudayaan dan generasi yang mendukungnya.
Butuh
300 tahun lebih bagi Belanda untuk menguasai Indonesia secara utuh. Awal
kedatangan VOC jelas untuk mendapatkan komoditas yang mahal yang dijual Eropa,
namun itu pun hanya di sekitar pelabuhan Sunda Kelapa. Perkataan Gubernur Jenderal B.C. de Jonge
berkata,
“Kami
orang Belanda sudah berada di sini 300 tahun dan kamu akan tinggal 300 tahun
lagi.”
Perkataan mengenai “sudah berada di sini 300 tahun” dijelaskan sebagai
menempati wilayah Nusantara harus dikoreksi dengan cermat.
Tahun
1619 ketika VOC pertama kali datang yang dianggap wilayah Nusantara suatu
kesalahan fatal dalam melihat wilayah Nusantara. Apalagi itu hanya sebagaian
wilayah dari Jakarta Utara. Penguasaan wilayah yang amat sulit seperti Aceh,
Minangkabau, Jawa Tengah, dan wilayah Batak membutuhkan hampir lebih 50 tahun
untuk setiap daerah.
Tidak
mudah untuk mendapatkan wilayah tersebut, contoh nyata bagaimana menghadapi
Perang Padri dan Perang Diponegoro. Ketika Perang Diponegoro sedang berlangsung
Perang Padri berusaha diredam, Perang Diponegoro banyak menghabiskan anggaran
dan sumber daya pertahanan.
Dengan
demikian, perlawanan yang tercipta bukan disebut sebagai penjajahan tetapi
perlawanan dari negeri-negeri yang merdeka, karena tidak dipungkiri Perang
Diponegoro diawali karena pelanggaran batas wilayah yang dilakukan Pemerintah
Hindia Belanda. Butuh 300 tahun lebih bagi pemerintah Hindia Belanda untuk bisa
mengusai wilayah Indonesia dengan berbagai cara.
Pengakuan
terhadap negara-negara merdeka ketika terbentuk pemerintahan Hindia Belanda
berulang ketika Belanda mengakui kemerdekaan Indonesia setelah agresi militer
kedua. Pengakuan secara hukum oleh pihak pemerintah Hindia Belanda merupakan
sebuah fakta Nusantara yang menjadi Indonesia adalah negeri yang merdeka.
Bukan
sebuah negeri yang lemah dan dengan mudah untuk dijajah selama 350 tahun. Sudah
seharusnya generasi muda Indonesia mengubah pola pikir dari bangsa yang
dianggap terjajah menjadi yang memang negeri yang merdeka seutuhnya. Indonesia
tetaplah negara yang merdeka, yang dilirik oleh banyak bangsa untuk mendapatkan
potensi besar bagi kebutuhan pasar dunia.
Pengakuan
yang berulang oleh Belanda hanya sekedar ucapan manis belaka untuk menolak
fakta Indonesia adalah negeri yang merdeka sejak awal, bukan sebagai mitos
negeri terjajah selama 350 tahun.
Daftar
Isi
l Historiografi Eropasentris,
Regiosentris, dan Indonesiasentris
l Di antara Mitos: dari
Histroriografi Kolonial Menuju Penulisan Sejarah Nasional
l Passe-Partout
Pembingkai Para Sejarawan Indonesia
l Hukum Bangsa-bangsa di
Makassar Masa Lalu
l Keberimbangan dan
Kepastian dalam Historiografi Indonesia
l Pernyataan-pernyataan
yang Diabaikan
l Raja dan Kerajaan yang
Merdeka di Nusantara (1850-1910)
l Dari Debu Penghancuran
Citra yang Diagungkan
l Irama Colijn
l Abad Hukum
Internasional di Indonesia
l Konflik Hukum di
Negara Hindia Belanda: Latar Hukum Antarbangsa
l Negara-negara Pribumi di
Nusantara bagian Timur 1873-1915
l
Kepulauan Timur dalam Pandangan Joseph Conrad
l Citra yang Hampir
Terbalik
Judul:
Bukan 350 Tahun Dijajah
Penulis:
Gertrudes Johan Resink
Penerjemah: Tim Komunitas Bambu
Tebal:
xxxiv+366
Dimensi: 15,5x24 cm
Cetakan: II, Juli 2013
ISBN: 978-602-9402-06-3
Penerbit:
Komunitas Bambu
0 Komentar